Sedang Membaca
Apa Faktor yang Menyebabkan Perdebatan Alquran di India?
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Apa Faktor yang Menyebabkan Perdebatan Alquran di India?

Dorongan dasar –kembali kepada Islam dalam bentuk murninya –adalah sama bagi kedua kelompok. Ahli Alquran hanya mengganti kriteria yang berbeda untuk mendefiniskan Islam “yang murni”.

Mereka membalikkan argumen dasar Ahli Hadis, bahwa beberapa hal lebih tidak fleksibel dan dogmatis tinimbang dengan tradisi klasik yang mereka protes, seperti yang sudah saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya (Sejarah Perdebatan Alquran di India)

Kita menyaksikan dalam uraian ihwal mereka yang menjadi penyangkal hadis, bukti bahwa dengan memfokuskan perhatian kepada literatur hadis dan dengan bersikeras secara dogmatis menerima segala yang dianggap andal oleh para tradisionalis kuno, Ahli Hadis menyebabkan krisis.

Setiap penyangkal hadis, dalam menggambarkan perbuatannya, menegaskan bahwa ia pernah berpegang pada kewenangan hadis, tetapi bahwa studi mengenai literatur hadis menghadapkan ia pada hadis yang diduga sahih tetapi tidak bisa ia terima.

Nah, Ahli Alquran dapat dipandang sebagai produk konflik di dalam Ahli Hadis antara dorongan yang pada hakikatnya radikal yang menyebabkan gerakan itu, dan konservatisme yang terlihat dalam perlakuannya terhadap hadis.

Sewaktu gagasan ini menyebar di Lahore dan Amritsar, argumen serupa tampil mengejutkan di Mesir. Pada 1906, tahun Chakralawi mempublikasikan karya pentingnya yang perdana, Muhammad Taufiq Shidqi, rekan Rasyid Ridha, penulis tetap di Al-Manar dan seorang apologis muslim yang aktif, menerbitkan sebuah artikel di Al-Manar yang memperkenalkan gagasan yang serupa dengan ajaran yang disebarkan Ahli Alquran India. Tulisan Shidqi ini memicu perdebatan di Al-Manar yang berlangsung empat tahun! Majalah Al-Manar ini majalah inti di kalangan Islam awal abad 20. Pengaruhnya menjalar ke negeri-negeri muslim termasuk Indonesia. Al-Manar melanjutkan terbitan al-Urwah al-Wusqa yang didirikan pendahulu Ridha: Jamalauddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.

Baca juga:  Bagaimana Umat Islam di India Menjalankan Ritual Kurban?

Shidqi berpendapat bahwa pelbagai detail perilaku Nabi Muhammad tidak pernah dimaksudkan untuk ditiru dalam setiap perinciannya. Oleh sebab itu, umat muslim seharusnya hanyaa berpedoman kepada Alquran. Motivasi Shidqi sendiri, yang tertulis secara eksplisit dalam artikel itu, secara langsung berkelindan dengan ajaran sentral Salafiyyah –penolakan terhadap ketaklidan dan pencarian keutentikan.

Shidqi hanya memperluas prinsip-prinsip ini selangkah lebih jauh dibandingkan dengan langkah terdahulu yang pernah diambil. Namun jelas, bahwa pandangannya tidak melukiskan perpecahan yang tajam dengan ideologi Salafi. Penolakan hadis sebagai sumber kewenangan hanyalah variasi baru dari tema lama Salafi.

Shidqi dan kontroversi yang diciptakannya juga penting karena mengungkapkan pula ihwal sikap Rasyid Ridha terhadap masalah sunah dan keautentikan hadis. Mengapa Ridha, yang mengambil sikap bertentangan dengan perspektif Shidqi dan memaksa dia mengakui kesalahan, membiarkan artikel itu muncul?

Menurut Bruce Lawrence dalam bukunya, The Quran: a Biography (2013), tinjauan retrospektif Ridha atas karya Shidqi, pasca kematian Shidqi, menyebutkan bahwa Ridha dimotivasi terutama oleh keinginan untuk mengguncang kemapanan Al-Azhar; dia ingin membangkitkan mereka untuk mempertahankan pandangan mereka mengenai sunnah.

Dengan kata lain, motif Ridha membiarkan tantangan radikal terhadap sunnah dipublikasikan, meskipun dia sendiri tidak sepakat dengannya, berhubungan dengan penentangan umumnya terhadap taklid dan kemuakannya terhadap kepasifan ulama.

Baca juga:  Tafsir Gus Baha dan Gitar Gus Alip Ponorogo

Pemikiran Ridha sendiri mengenai sunnah terekspresikan secara mendetail hanya setelah munculnya artikel Shidqi dan pendekatannya dapat dianggap sebagai kompromi antara penolakan sepenuhnya terhadap sunnah dan ketaatan terhadap gagasan klasik perihal hadis.

Di satu sisi, Ridha tidak akan menyetujui penolakan besar-besaran terhadap kewenangan Nabi saw. Di sisi lain, dia merasa berhak untuk meninjau dan menilai kembali sumber sunah (yaitu hadis) berdasarkan ijtihadnya sendiri.

Satu-satunya sumber sunah yang tidak diperselisihkan bagi Ridha adalah sunnah ‘amaliyyah (perbuatan/perilaku) yang dipraktikkan oleh setiap generasi muslim dalam cara yang mutawatir. Hal ihwal ini termasuk, misalnya, ibadah sembahyang dan detail cara peribadahan penting lainnya.

Akan tetapi, hadis yang disampaikan secara verbal melalui satu garis tunggal perawi, yang disebut hadis Ahad, harus diuji kembali menurut kriteria anyar. Pengujian kembali itu harus mencakup hadis dalam himpunan hadis sahih.

Jelaslah bahwa motivasi Ridha dan Shidqi dalam memperlakukan permasalahan sunah pada hakikatnya sama. Keduanya dimotivasi terutama oleh keinginan untuk meruntuhkan belenggu taklid dan menegaskan hak untuk kembali kepada sumber dan menemukan kembali Islam autentik untuk diri mereka sendiri.

Kita bisa meyimpulkan bahwa latar belakang yang mendasar bagi kemunculan tantangan terhadap hadis di Mesir sama dengan gagasan serupa di Subbenua India. Di kedua lingkungan itu, gagasan anti-hadis tumbuh di dalam kelompok yang menolak autoritas yang telah diterima dan mencari keautentikan titik-titik pokok dalam ajaran mereka.

Walaupun terdapat kesamaan dalam akarnya, gagasan-gagasan ini berevolusi dalam bentuk yang sangat berbeda. Di Subbenua India, sentimen antihadis berkembang dalam bentuk sektarian yang kuat dan pembahasan mengenai sunnah terjadi dalam bentuk spekulatif, terfokus pada isu-isu teoretis laiknya hakikat wahyu dan kenabian.

Baca juga:  Sufi Perempuan: Kurdiyah dari Bashrah

Di Mesir, gagasan antihadis menjadi bidang wewenang sejumlah kecil penulis yang terisolasi, dan mereka tidak pernah menemukan tanah yang subur atau mengembangkan basis intitusional. Selain itu, kritikus hadis dari Mesir pun nyaris tidak melakukan spekulasi teologis, membatasi argumen mereka kebanyakan pada sejarah dan masalah-masalah teknis.

Pandangan antihadis, seperti pandangan Ahli Alquran dan Shidqi, tidak pernah menarik banyak pengikut. Akan tetapi, pada abad kedua puluh, terdapat sejumlah penulis penting, yang paling terkemuka adalah Ghulam Ahmad Parvez dari Pakistan dan Mahmud Abu Rayyah dari Mesir. Mereka mengembangkan argumen canggih untuk mempertahankan pandangan antihadis.

Meskipun pandangan yang direvisi secara radikal mengenai kewenangan keagamaan yang dikemukakan oleh para penulis itu tidak diterima secara luas, mereka memiliki pengaruh penting sebagai katalis yang mencetuskan kontroversi dan membentuk agenda bagi pembahasan modern mengenai otoritas Rasulullah saw.

Pelbagai masalah yang dicuatkan oleh para penyangkal hadis ini –hakikat wahyu, ruang lingkup kewenangan Nabi Muhammad, keandalan literatur hadis –menjadi perhatian utama dalam krisis modern kewenangan keagamaan.

Arkian, sebenarnya, debat tentang autoritas sunah ini ialah perebutan hak untuk menafsirkan norma-norma islami. Perdebatan perihal sunnah harus dimafhumi sebagai upaya mendapatkan hak untuk menginterpretasikan hadis yang sama.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top