Ketika jagat medsos ramai (lagi) membincangkan kemahiran pemimpin negara ber-cas-cis-cus bahasa asing, saya teringat kembali saat pertama kali digodok untuk fasih ngelotok bahasa Jerman dulu. Saat itu ada satu teman kelas dari Panama. Ia cantik. Khas perempuan latin. Usianya jauh lebih muda dari saya. Ia juga pintar.
Selain fasih Bahasa Spanyol sebagai bahasa ibunya, ia juga bercakap dalam bahasa Italia. Suaminya asli dari dan tinggal di Italia. Bahasa Inggrisnya tentu tak perlu dipertanyakan. Rata-rata peserta kursus saat itu para penerima beasiswa studi di Jerman. Salah satu syarat lolos beasiswa melampaui skor TOEFL tertentu.
Saat break kelas saya kerap mendapati ia tengah membaca buku Bahasa Perancis. Dalam obrolan ringan ia pernah bilang membaca novel “Harry Potter” dan “The Little Prince” dalam edisi Perancis. Hasil tes tiap kenaikan level Bahasa Jermannya juga selalu menempati skor tertinggi di kelas.
Saya mengaguminya diam-diam. Cantik. Muda. Pintar dan berbakat. Setidaknya lima bahasa Eropa dikuasainya dengan mudah. Di luar itu mungkin ia masih punya keajaiban lain menguasai bahasa lokal atau gaib lainnya.
Saya kerap membandingkan kemahirannya dengan diri sendiri. Merasa cemburu. Tak hanya kalah muda dan tampilan, level keterampilan cas cis cus saya berbahasa asing kok tak jua bisa se-glowing dirinya?
Padahal kalau dihitung dari usia perjalanan saya mempelajari bahasa asing tentu lebih lama dari si cantik dari Panama itu.
Kemampuan bahasa asing saya sekadar untuk bertahan hidup. Kalaupun ada yang bisa dibanggakan dalam soal ketrampilan berbahasa, saya hanya bisa jumawa dalam soal penguasaan bahasa lokal.
Saya mbrojol dari pasangan berleluhur di Pantura Jawa. Tapi saya tumbuh, sekolah, kuliah, cari makan, menjomblo, usaha mencari jodoh (meski gagal) di Ibu kota tercinta. Komunikasi di rumah Bahasa Indonesia. Saya bercakap logat Betawi.
Tapi saya juga tidak mengalami roaming omongan Jawa. Ngoko atau omongan kasar tentu saja. Bukan kromo inggil macam hendak menghadap Kanjeng Sri Sultan atau dalam rangka menyaingi Romo Magnis menerbitkan buku Filsafat Jawa.
Saya paham dan mampu berbalas pantun guyonan wong Jowo saat nonton ketoprak. Sempat dekat dengan orang Melayu juga membuat saya sedikit mengerti dialek Melayu. Dan semua kemampuan saya menyerap bahasa lokal itu tanpa perlu kursus mengempiskan uang di dompet.
Kemampuan bahasa asing saya coba urut kacang pengalaman saya bersentuhan dengan bahasa yang bukan muhrim saya itu; bahasa asing pertama yang saya pelajari adalah Bahasa Arab. Saya mengenalnya dari balita. Lewat hafalan Juz ‘Amma dan bacaan salat lima waktu. Saat sekolah dasar saya belajar Bahasa Arab lebih serius.
Saya sekolah ganda. Pagi sekolah dasar umum. Siang sampai sore (kadang sambil terkantuk-kantuk) pergi ke madrasah ibtidaiyah. Belajar grammatik dasar. Pelajaran Bahasa Arab formal terus saya geluti hingga kuliah. Hasilnya? Saat ketiban rezeki bisa pergi umrah saya tetap tak mudeng omongan petugas imigrasi di Bandara Jeddah.
Bahasa asing kedua yang cukup lama dan setia saya tekuni hingga rela menghamburkan uang entah berapa juta rupiah tentu bisa ditebak sekerlingan mata: Bahasa Inggris.
Well, saya mulai belajar bahasa ini saat masuk sekolah lanjutan pertama (saya cukup tua untuk bisa ditebak umurnya sekolah dasar saat itu belum ada pelajaran Bahasa Inggris). Saat sekolah saya tak ikut les ini itu selain mengaji. Jadi kesempatan belajar bahasa Inggris didapat seminggu sekali saat pelajaran Bahasa Inggris di sekolah lanjutan.
Kadang dengar lagu berbahasa Inggris. Itu pun bisa dihitung dengan jari. Menonton film berbahasa Inggris apalagi. Kamu perlu tahu, Indonesia pernah mengalami masa nasionalisasi yang gilang gemilang masa Orde Baru. Presidennya tak pernah kedengaran tampil omong Inggris dan tak ada (yang berani) nyinyir soal ini.
Bacaan berbahasa Inggris selain teks buku sekolah nol. Saya hidup dari keluarga yang hanya mampu membeli Koran Poskota dengan lembaran Kisah Doyok sebagai bacaan keluarga.
Internet? Ah, generasi milenial pun perlu paham, saya bagian dari generasi yang masa kecilnya cukup senang dengan mengorek-orek kotak telepon umum berharap ada koin yang jatuh untuk bisa melakukan komunikasi jarak jauh.
Saya mulai serius belajar Bahasa Inggris saat kuliah. Itu pun terpaksa karena saat membuat makalah, banyaknya buku berbahasa Inggris sebagai rujukan menjadi jaminan mutu makalah. Selain ada target lain: mendapat bea siswa ke luar negeri.
Setelah rela menghamburkan uang berjuta-juta kursus bahasa Inggris, termasuk mencoba pedekate “speak-speak” dengan native agar bisa ngelotok cas cis cus nginggris, saya harus memanjatkan sukur dengan skor TOEFL yang angkanya pas berada di syarat minimal yang ditargetkan.
Berdasar pengalaman belajar bahasa asing yang menguras umur itu akhirnya saya mencoba menghibur diri. Pada akhirnya orang-orang yang dianugerahi bakat tertentu itu terpampang nyata adanya.
Ada orang-orang yang entah karena waktu proses pembuatan atau saat dilahirkan pada weton yang pas mereka punya kemampuan ber cas cis cus multilingual mengalir macam Kali Ciliwung setelah mengalami normalisasi. Lancar dan jernih.
Saya bukan tak punya minat dan ikhtiar untuk menambah panjang daftar CV dengan bisa berbahasa asing. Saat beruntung mengikuti kuliah satu semester di Norwegia, saya juga bergenit-genit ikut kursus Bahasa Norwey. Hasil dari kegenitan itu saya hanya tahu ucapan selamat datang dan terima kasih dalam Bahasa Norwey.
Jutaan uang yang rela saya donorkan untuk biaya kursus juga saya lakukan saat saya kebelet ingin bisa dapat beasiswa ke Perancis. Hasilnya? Beasiswa tak digenggam, bahasa Perancis pun hanya tau bagaimana mengucapkan Bonjour, Monsieur!
Ikhtiar yang paling gigih berbahasa asing adalah saat tanpa dinyana saya akhirnya lolos mendapat beasiswa kuliah di Jerman. Setelah menangis tujuh purnama gagal ke Perancis. Jerman tak pernah masuk dalam daftar negara yang saya impikan dan harus dicentang untuk dikunjungi.
Enam bulan pertama di Jerman saya lalui hari-hari yang hanya berisi menghafal kosakata dan gramatik Jerman. Sampai muntaber. Sampai saya bersumpah menyaingi Ratu Kalinyamat: tak akan kembali ke tanah leluhur kalau sampai tak kutaklukkan laki-laki Jerman.
Sumpah yang terbukti manjur. Laki-laki Jerman berhasil jadi teman tidur. Menghasilkan dua bocah yang saat ini tengah mengalami masa pertumbuhan. Punya mertua pun hanya bisa ngomong Jerman. Tapi setelah sewindu menikmati air dan udara negara pimpinan Ibu Merkel ini otak saya masih setara dengan Windows Vista saat harus orasi dalam Bahasa Jerman.
Parahnya, jihad saya memperjuangkan kemenangan Bahasa Jerman membuat Bahasa Inggris saya galau.
Saat saya berada dalam situasi harus berkomunikasi dalam bahasa Inggris otak kadang “blank” teringat dan tanpa sadar terucap kosakata Jerman. Pun sebaliknya, saat saya ingin mengeluarkan ide dalam Bahasa Jerman saya hanya tau istilahnya dalam Bahasa Inggris.
Hikmah dari ketidakjelasan level bahasa asing saya itu membuat saya tak pernah punya minat untuk menilai kehebatan kinerja seseorang dari kemampuannya berdebat dalam bahasa asing. Inti dari komunikasi buat saya adalah saat orang atau makhluk lain yang jadi lawan bicara paham dengan yang kita sampaikan. (atk)