1945: tahun bersejarah di Indonesia. Orang-orang lekas mengingat Soekarno dan Mohammad Hatta. Ada sederet nama wajib teringat agar sejarah makin meriah. Orang-orang berhak menambahi ingatan tentang Fatmawati, SK Trimurti, Sukarni, Sajuti Melik, BM Diah, dan lain-lain. Mereka memiliki biografi turut membentuk dan menggerakkan Indonesia, tak cuma pada 1945.
BM Diah (1981) menilai Soekarno: “Wajah Bung Karno dilihat dari sudut politis adalah wajah Indonesia. Ia nyata hidup dan mati untuk persatuan Indonesia, betapa pun liku-liku perjalanannya itu. Ia telah beramal besar pada bangsa kita. Di mata dan hati kita, menelusuri pikiran-pikirannya, dinamikanya, kerevolusionerannya, yang menutup kekurangannya sebagai manusia biasa, ia manusia besar, patriot besar yang muncul di abad kita, dengan ciptaannya (bersama kawan-kawan seperjuangannya) berbentuk negara Indonesia merdeka.
Kata-kata penuh pujian. Kita mengira BM Diah memiliki kedekatan dengan Soekarno. Penilaian tak sembarang. BM Diah pasti sudah melakukan pengamatan dan mengolah beragam pengisahan orang-orang atas sosok Soekarno. Kedekatan pernah dialami BM Diah dengan Soekarno berlatar 1945. Kini, kita ingin mengingat bentuk kedekatan sambil mengenang masa lalu.
1945, tahun mengandung cerita dua tokoh dan terbitan pers. Soekarno sering mengucap seruan atau memberi pekik: “Merdeka!” Soekarno terbiasa mengedarkan tanda seru agar orang-orang memuliakan Indonesia. Pekik itu menggerakkan dan menggairahkan dalam mewujudkan misi Indonesia. Seruan merdeka itu telah terucap dan tertulis sebelum 1945. Kita memiliki ingatan kokoh bila merdeka itu berlatar 1945.
Merdeka, seruan menghubungkan Soekarno dan BM Diah. Kita membuka buku berjudul Butir-Butir Padi BM Diah: Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman (1992). Di situ, kita membaca pengakuan: “Bagi saya, proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, tidak dapat dipisahkan dengan surat kabar Merdeka yang saya dirikan pada tanggal 1 Oktober 1945, hanya satu setengah setengah bulan setelah terjadinya peristiwa bersejarah itu.” Kita diminta mengingat 1945 itu pembacaan teks proklamasi mengartikan Indonesia merdeka dan penerbitan pers bernama Merdeka.
Dalih BM Diah: “Saya ingin mengambil nama ini sesuai dengan salam bangsa Indonesia saat itu, yaitu ‘merdeka’. Saya ingin menunjukkan kepada bangsa Indonesia bahwa kita harus mengisi, mempertahankan, dan menyempurnakan kemerdekaan.” Dalih terbenarkan bila merunut sejarah. Pada 1 September 1945, Soekarno menetapkan pekik kebangsaan: “merdeka”. Pekik atau salam itu makin menguatkan kemauan memuliakan Indonesia meski masih terus mendapat rongrongan.
Sejarah itu ditulis dan diingat. Kita mungkin jarang menganggap penting bila sekian peristiwa dan tokoh membuat 1945 sebagai tahun meriah sejarah. BM Diah ada di situ dengan perwujudan pers. Sekian teks bermunculan pada 1945. Orang-orang pun disuguhi surat kabar. Kita belum mengetahui berita atau artikel dimuat dalam edisi perdana: 1 Oktober 1945. Terbitan itu menjadikan merdeka bergerak dari pembiasaan ucapan (pekik atau salam) menjadi bacaan. Merdeka itu teks.
Tahun-tahun berganti, Merdeka terbit dengan pujian dan kritik. Jalan sejarah sedang ditempuhi dengan pelbagai perkara harus diselesaikan: berhasil atau gagal. Merdeka menjadi bacaan di Indonesia, membawakan beragam “menu” untuk “disantap” sidang pembaca.
Situasi politik berubah pada masa 1960-an. Merdeka harus bersikap dalam gonjang-ganjing politik dan konflik-konflik berpusat kekuasaan. Di buku berjudul Polemik HR dan Merdeka (1965), kita membaca penjelasan sikap: “Merdeka berdiri atas dasar Pantjasila sebagai falsafah negara, mempergunakan adjaran-adjaran Bung Karno, jang kami namakan ‘Soekarnoisme’ sebagai pedoman perdjuangan. Lawan polemik, Harian Rakjat, djelas berdiri atas paham Marxis-Leninisme, ideologi komunis.” Pada tahun bersejarah, 1965, buku mendokumentasi perseteruan itu membuktikan langkah-langkah Merdeka untuk menjelaskan Indonesia masa 1960-an.
Argumentasi disampaikan berkaitan polemik: “Bagi surat kabar Merdeka, Soekarnoisme adalah pembimbing perdjuangannja menggalang persatuan dan kekuatan antara sesama golongan revolusioner progresif. Sebab, persatuan jang kokoh bulat ini mendjadi tudjuan setiap putra Indonesia jang revolusioner progresif.” Indonesia bergolak, sejarah dalam babak menegangkan saat para tokoh bersuara demi Indonesia tapi bentrok ideologi.
Di buku berjudul BM Diah Meluruskan Sejarah (1987), kita membaca sejarah disikapi pada masa berbeda. Pengalaman dan sikap masa lalu dimunculkan untuk menggugah sejarah. BM Diah mengungkapkan: “Perlu kiranya diluruskan sejarah dalam menilai sikap Presiden Soekarno terhadap tujuan revolusi Indonesia yang dimuali bulan Agustus 1945 itu. Revolusi ialah pengejawantahan kesadaran budi dan hati nurani sosial manusia.” Sejarah memang rumit dan sering mendapat ralat. Kita makin mengetahui persoalan Merdeka dalam babak-babak sejarah Indonesia.
Kita tak mudah bersikap dalam sejarah. Kita mungkin meragu untuk berpihak. Sejarah memang “ini” dan “itu”. Sejarah bila diurusi dengan “bengkok” dan “lurus” menimbulkan kerumitan-kerumitan memerlukan setumpuk bukti dan sekarung argumentasi.
Kita bermaksud mengenang Merdeka. Kita berhak membuka halaman-halaman Merdeka untuk pengandaian sebagai pembaca pada masa lalu. Kita membuka Merdeka edisi 28 Agustus 1954. Di susunan redaksi, kita membaca nama pemimpin redaksi: Herawati Diah. Nama penting dalam sejarah. Herawati Diah itu istri BM Diah.
Di kulit muka, ada foto Megawati menari. Kita simak keterangan: “Pesta Taman dengan Malam Kesenian jang diadakan di Istana Negara pada tanggal 17 Agustus jang silam bukan sadja memperlihatkan tari-tarian jang beraneka warna dari berbagai suku bangsa dan daerah Indonesia, tetapi djuga memperlihatkan adanja tendensi-tendensi jang hendak mentjiptakan tari-tarian jang dapat dinikmati oleh seluruh masjarakat Indonesia. Puteri Bung Karno, Megawati, adalah lukisan dari puteri Indonesia jang dapat menerima dan meiramakan salah satu seni tari Djawa, Serimpi, dengan gerak tangan-kaki dan wadjah mukanja jang lemah gemulai.”
Di Merdeka, para pembaca mungkin ingin membaca berita-berita panas nasional dan internasional. Kita justru ingin mengingat foto di kulit muka. Sosok itu menjadi pemimpin besar di Indonesia. Ia meneruskan seruan-seruan Soekarno untuk memuliakan Soekarno. Pada saat masih kecil, Megawati adalah penari. Pada masa berbeda, ia menjadi presiden.
Kita berlanjut membaca berita berjudul “Kenangan Malam Kesenian di Istana”. Hal terpenting dalam berita: “Simbol negara jang melukiskan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanja tersimpan dalam kesatuan politik dan pemerintah, tapi djuga dalam kesenian dan irama.” Kita mengerti sejarah Indonesia tak melulu politik. Sejarah pun teringat dengan pengabdian dan persembahan seni.
Kini, kita telah sejenak mengingat 1945 bertokoh Soekarno dan BM Diah. Kita mengetahui pekik merdeka dan surat kabar Merdeka. Pada masa berbeda, kita mengingat secuil bentrok ideologi dan peran pers masa 1960-an. Kita pun mengingat sosok penting dalam sejarah Indonesia: Megawati Soekarnoputri. Dulu, ia penari sebelum menempuhi jalan politik berpuncak menjadi presiden. Masa lalu itu teringat dan terbaca. Begitu.