Bagi Kiai Zuhri, kajian (diskusi) biasanya seringkali hanya berkutat pada keilmuan atau wacana semata, sementara pengajian disamping menekankan pada keilmuan, juga pada pengamalan (amaliyah). Karena pada dasarnya, dalam melakukan suatu amal (ibadah) dibutuhkan ilmu pengetahuan. Dengan ilmu seseorang bisa melakukan ibadah dengan sempurna. Begitu juga sebaliknya, tanpa ilmu tak jarang seseorang akan tersungkur-jatuh pada lobang kesesatan. Jelasnya, dalam melakukan suatu amal ibadah dibutuhkan ilmu pengetahuan.
Namun demikian, ilmu yang tidak di implementasikan dalam bentuk amal (pengamalan), bisa dibilang, ilmu itu tidak berguna. Sebab, menurut Kiai Zuhri, ilmu ada dua macam; pertama ilmu fi al-qalb (hati). Ilmu yang tidak hanya berhenti didalam pikiran (otak), tapi juga merasuk kedalam sanubari hati. Sehingga bisa mempengaruhi kehendak, dorongan dan perasaan-perasaan manusia untuk melakukan amal ibadah. Kategori ilmu ini adalah ilmu yang bermanfaat (nafi’).
Disebut perasaan, karena ilmu yang bersifat pengalaman rohani kata Kiai Zahri, tak bisa diwacanakan dengan kata-kata, melainkan hanya bisa dirasakan. Sama halnya dengan manisnya gula. Sudah pasti, manis gula itu tak bisa dipertanyakan apalagi di bicarakan; misalnya, manis itu apa dan seperti apa? Meskipun dibicarakan beribu kali tetap tak akan paham. Baru akan tahu kalau sudah mencicipinya.
Contoh lain misalnya yang sering disalah pahami konsep “ittihad”, yang dalam bahasa jawa disebut “manunggaling kaulo gusti”. Adalah bersatunya hamba dengan Tuhan (khalik). Konsep ini kalau dipahami secara logika saja, tanpa mengalaminya, maka tidak bisa karena bersifat rohani. Bahkan tak jarang bisa menimbulkan tuduhan-tuduhan sesat atau syirik misalnya. Bagaimana makhluk yang substansinya berbeda dengan Tuhan akan menyatu?
Oleh Kiai Zuhri, yang dimaksud disini bukan persatuan atau manunggalnya (Dzat Tuhan dengan makhluk), melainkan begitu patuhnya seorang hamba akan Tuhannya. Sehingga, seolah-olah hamba (diri) itu sudah sirna (fana). Dan kehendak hamba itu (karena sudah tunduk) sudah patah-putus (tidak punyak hawa nafsu). Pendek kata, kehendak hamba sudah melebur kepada Tuhan, dan apa yang ia inginkan juga menjadi kehendak Tuhan. Sebuah hadits menyatakan: “Allah mempunyai beberapa hamba yang ketika hamba-hamba itu berkehendak, maka Allah akan menghendakinya”.
Ini membuktikan bahwa, ilmu tasawuf tak bisa hanya dengan wacana saja, tapi juga harus di alaminya. Ketika seseorang hendak ingin memahaminya, mau tidak mau, maka ia wajib terjun kedalamnya. Alih-alih memahami tasawuf, zaman sekarang banyak yang hanya menjadi pengamat tasawuf dari luar. Tak sedikit juga dari mereka tidak mengimaninya seperti, para orientalisme dan orang Barat yang membahas tasawuf hanya pada kulitnya (eksoteris), tidak dalamnya (esoteris). Hal semacam inilah yang membuat dan menimbulkan kesesatan lantaran terpaku pada kulitnya.
Faktanya, kalau kita telisik, sepanjang lintasan sejarah perdebatan seputar konsep Tuhan senantiasa tak kenal surut. Nyaris di setiap babakan zaman, topik ini menjadi perbincangan serius, terutama dari sudut pandang filsafat. Para filsuf, dari waktu ke waktu, seakan tak pernah sudi berhenti untuk mengulas tuntas eksistensi Tuhan. Barangkali karena, sebagaimana dikatakan Magnis-Suseno, “menalar Tuhan, sejak permulaannya (sejak kelahiran filsafat) menjadi obsesi filsafat. Menggapai Tuhan melalui pikiran menjadi hasrat tertinggi filsafat.”
Namun, upaya memahami Tuhan dengan nalar seperti itu tentunya bukan tanpa “risiko”. Sistem-sistem pemikiran dan keyakinan yang sudah mapan dan dominan pun kembali dipersoalkan. Konfrontasi diskursif terhadap apa saja yang secara tradisional dianggap benar berlangsung sengit dalam alam filsafat. Tuhan atau para dewa-dewa pun dipertanyakan keberadaannya.
Maka tidak mustahil bahwa kritik teisme (dan agama pada umumnya) bukan baru di zaman modern, sebagaimana dipelopori oleh filsuf kenamaan Jerman abad ke 19 Ludwig Feuerbach, tetapi jauh-jauh hari, sudah sejak kelahirannya di Yunani, 2500 tahun lalu, filsafat sudah mendobrak paham-paham keagamaan. Kritik Feuerbach atas agama mengingatkan kita pada Xenophanes, seorang filsuf kuno yang mempersoalkan antropomorfisme agama Yunani kuno.
Kedua, ilmu fi al-lisan (wacana). Ilmu yang hanya menjadi bahan diskusi (tidak masuk kedalam hati), bahkan bisa hanya menjadi perdebatan-perdebatan saja. Artinya, ilmu ini hanya dibicarakan dan di bahas, sehingga tidak bisa menimbulkan dorongan dan kehendak untuk berbuat baik kepada sesama, terlebih pada diri sendiri. Yang jelas Ilmu ini tidak bermanfaat dan sudah barang tentu akan menjadi beban bagi pemiliknya. Dalam bahasa Kiai Zuhri “ilmu yang menyiksa”.
Orang yang awam (tidak tahu), kemudian melakukan suatu pelanggaran, (mungkin) kalau dia tidak tahu sama sekali, bisa dianggap bukan suatu pelanggaran. Iya, bukan pelanggaran. Karena ia tak mengetahuinya. Atau sebaliknya, dia tahu, tapi ilmunya masih dangkal, (mungkin) dianggap pelanggaran tapi masih di maklum (masih ada ampunan). Artinya, suatu hukum (peraturan) dan undang-undang akan berlaku efektif, apabila sudah diketahui oleh masyarakat yang menjadi sasaran hukum atau aturan itu.
Karena itu, jika peraturan belum diketahui masyarakat, maka peraturan itu masih belum berlaku. Dalam hal ini, peraturan itu harus di umumkan pada khalayak umum masyarakat. Al-Qur’an surah Al-Isra:15 mengatakan;
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
Artinya:“Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra:15).
Sudah jelas, bahwa orang yang betul tidak tahu (mengetahuinya), maka tidak ada beban baginya (tidak mukallaf). Itu sebabnya, mengapa orang gila tidak dianggap mukallaf, karena dia tidak bisa menangkap ilmu pengetahuan. Begitu juga dengan anak-anak kecil, sekalipun dia punyak akal dan bisa mengetahui, tapi akalnya masih belum sempurna.
Syahdan, Ibn Athaillah as-Sakandari mengatakan, seharusnya (wajib) bagi seorang sufi (ahli tasawuf) mengerti ilmu fiqh dan ilmu aqidah. Sebab, pada hakikatnya, tasawuf adalah pengamalan syariah secara utuh dan totalitas. Dengan ini, agama nantinya tidak di pilah-pilih menjadi fiqh, aqidah dan akhlaq.
Siapa sih yang tak kenal dengan Ibn Athaillah pengarang kitab Al-Hikam. Seorang alim, faqih dan sufi itu, ternyata lebih alim dari pada gurunya yaitu, Abu Abbas al-Mursiy, karena sebelum mendalami tasawuf, terlebih dahulu ia mempelajari ilmu fiqh. Secara tak langsung, ini memberikan isyarah, bahwa siapapun yang ingin terjun kedalam dunia tasawuf, maka terlebih dahulu ia harus belajar ilmu fiqh.
Bahwa setiap ibadah selalu melibatkan keduanya, seperti wudlu, shalat tidak akan sah jika tidak ada niatnya. Izzuddin bin Abdus Salam berkata, “Fiqih punya nalar sendiri, dan itu terukur, ilmiah, logis, sisi dhahir, sementara tasawuf atau aqidah boleh jadi tidak terukur, individualis, analogis, tapi jalannya akan tetap sama dengan fiqih.”
Dalam bahasa yang lain, fiqih hanya membahas kerangka dalam suatu ibadah, jika sudah menyangkut terhadap niat atau keikhlasan dalam beribadah itu adalah pembahasan ilmu tasawuf. Maka dari itu fiqih dan tasawuf sangat erat kaitannya. Jelasnya, satu tarikan nafas.
Di sisi lain, tasawuf dapat menjawab kegelisahan umat muslim dalam beribadah. Pun juga memberikan nuansa kebatinan yang dapat membangkitkan suasana batin untuk menyampaikan kepada Allah Swt secara naluriah. Karena sejatinya, dalam Islam, semua aktivitas yang dilakukan oleh umat Islam dengan niat lillahitaala adalah suatu ibadah, dan sufi mengabdikan dirinya kepada Allah SWT dan melaksanakannya secara khusyu’, tulus, dan ikhlas.
Sebagai akhir dari tulisan ini, saya ingin mengutip perkataan Imam Malik:“Barang siapa bertasawuf tanpa fiqih maka akan menjadi zindiq, barang siapa berfiqih tanpa tasawuf maka akan menjadi fasiq, dan barang siapa mengamalkan keduanya maka akan mencapai hakikat”. Wallahu a’lam bisshawab.