Dokumen penjatuhan Gus Dur yang beredar di linimasa media sosial mengiringi momen pergantian tahun. Tangkapan layar operasi semut merah itu berasal dari buku “Menjerat Gus Dur”, hasil liputan investigasi mendalam Virdika Rizky Utama. Cetakan pertama Menjerat Gus Dur ludes dibeli orang. Hingga kini, publik dengan sabar menanti cetakan ketiga yang bakal diedar akhir Januari.
Belum cukup 20 tahun, kisah penjatuhan Gus Dur akhirnya terungkap ke publik. Mereka yang terlibat adalah nama-nama pembesar politik yang pernah dan kini masih bercokol di lingkaran utama kekuasaan – atau boleh kita sebut oligarki. Belum ada tanggapan, apalagi sanggahan dari mereka yang terkutip namanya. Tapi, publik sudah terlanjur tahu. Dan memang, Gus Dur pernah mengatakan bahwa cerita itu akan tersingkap oleh bangsa Indonesia sendiri. Biarkan waktu yang menjawab, begitu singkatnya.
Membaca tangkapan layar dokumen itu, benar-benar mempertontonkan bagaimana strategi dan taktik penjatuhan Gus Dur tak ubahnya kombinasi antara Possesion Football dan Gegen Pressing dalam sebuah pertandingan sepak bola di era modern. Possesion Football digunakan untuk memanfaatkan setiap jengkal ruang di atas lapangan demi menciptakan peluang. Bisa dilihat dalam dokumen tersebut, bagaimana setiap ruang digunakan untuk menggembosi kredibilitas Gus Dur, di antaranya penggiringan opini di media, suara intelektual, borong dollar oleh pengusaha, hingga aksi-aksi demonstrasi dari berbagai elemen mahasiswa dan ormas sayap kanan. Pergerakan Gus Dur juga senantiasa terbatas lewat tekanan berlebih atawa gegen pressing para nama yang bercokol di dalam pemerintahan, terutama di balik gedung DPR dan MPR.
Terungkap lewat “VAR”
“Dunia bisa geger, bila semua fakta terungkap ke publik”. Kurang lebih begitu kata Mahbub Junaidi. Tafsiran klausa itu bisa macam-macam. Mungkin saja, Mahbub hendak bilang, beberapa fakta tertentu butuh ruang dan waktu tertentu untuk hadir kepada khalayak. Atau boleh jadi, takdir sejarah memang menginginkan hal tersebut terjadi. Biar perjalanannya tidak semulus jalan tol, sebab semesta punya dinamikanya sendiri.
Di dunia sepak bola, gol tangan Tuhan Maradona adalah puncak kontroversi lapangan hijau di periode abad lalu. Kelakuan wasit paling memuakkan mungkin hadir saat Italia kandas dari Korea Selatan pada babak delapan besar Piala Dunia 2002. Inggris sama sekali tidak akan punya bintang di atas logo FA, andai gol Geoff Hurst dianulis wasit. Atau beragam aksi-aksi diving yang bikin tim-tim saling merugikan dan berbagai keputusan wasit yang seringkali dianggap keliru.
Kehadiran Video Assistant Refferee (VAR) yang didahului Goal Line Technology (GLT) memberi angin segar bagi penikmat sepak bola yang muak akan kontroversi. Goal Line Technology (GLT) lebih dulu digunakan secara resmi pada musim 2013/2014. Sementara itu, VAR akhirnya resmi terpakai di ajang internasional pada Piala Dunia 2018, yang selanjutnnya diikuti oleh La Liga, Serie A, dan fase knockout Liga Champions 2018/2019. Liga Inggris sebagai kompetisi paling kesohor pun mulai menggunakan VAR pada musim ini – meski masih saja menghadirkan beragam drama.
VAR memang tidak akan bisa mengungkap apalagi mengubah kontroversi sejarah yang pernah hadir dalam jagad sepak bola. Tapi setidaknya, ia mampu membantu wasit mengambil keputusan dari berbagai sudut pandang kamera, agar kejadian serupa di masa sebelumnya, tidak terulang lagi. Begitupun dengan buku “Menjerat Gus Dur”. Ibarat VAR, kehadirannya muskyil mengubah masa lalu. Paling tidak, Virdika Rizky Utama sebagai “wasit” telah mengungkapkan bahwa kejatuhan Gus Dur yang berangkat dari pemufakatan “jahat” merupakan sebuah fakta yang pernah di terjadi di masa silam.
Perangkat “teknologi” jurnalisme Virdika menyingkap aksi “diving” para oligarki di kotak penalti perpolitikan tanah air. Ternyata, peragaan taktik dan strategi sederet nama di dokumen tersebut, diakhiri dengan aksi culas di atas lapangan. Pada akhirnya, memang berbuah penalti dan gol yang melengserkan Presiden Gus Dur.
Sayangnya, aksi “diving” itu bak akal-akalan biasa pemain Liga Inggris, yang tidak pantas disandingkan dengan seni diving ala para fantasista dari tanah Italia. Arkian, seorang office boy di kantor Golkar memberi jalan bagi Virdika untuk menerangkannya pada publik, bahwa aksi “diving” itu pernah ada dan bangsa ini bisa belajar untuk lebih baik lagi. (RM)