Dua bagian terakhir dari tujuh tempat yang disebutkan Al-Ghazali dalam Ihya akan menjadi bagian dari tulisan essai kali ini, yaitu tentang musik rindu.
Al-Ghazali menjelaskan tahapan rindu dengan ucapannya berikut ini:
سِمَاعُ الْعُشَّاقِ تَحْرِيْكٌ لِلشَّوْقِ وَتَهْيِيْجًا لِلْعَشْقِ وَتَسْلِيَةً لِلنَّفْسِ: فَاِنْ كَانَ فِي مُشَاهَدَةِ الْمَعْشُوْقِ فَالْغَرَضُ تَأْكِيْدُ اللَّذَّةِ, وَاِنْ كَانَ مَعَ الْمُفَارَقَةِ فَالْغَرَضُ تَهْيِيْجُ الشَّوْقِ, وَالشَّوْقُ وَاِنْ كَانَ اَلِمًا فَفِيْهِ نَوْعُ لَذَّةٍ اِذَا انْضَافَ اِلَيْهِ رَجَاءُ الْوِصَالِ, فَاِنَّ الرَّجَاءَ لَذِيْذٌ, وَالْيَأْس مُؤْلِمٌ, وَقُوَّةُ الرَّجَاءِ بِحَسَبِ قُوَّةِ الْعِشْقِ وَالْحُبِّ لِلشَّيْءِ الْمَرْجُوِّ
Yang kalau diartikan kira-kira seperti ini:
Mendengarkannya para perindu dapat menggerakkan serta menggelorakan rindu dan menenangkan jiwa. Jika mendengarkannya dibarengi dengan melihat yang dirindu maka tujuannya ialah memperkuat rasa nikmat, jika dibarengi dengan adanya perpisahan maka tujuannnya ialah membangkitkan rasa rindu. Rindu itu meskipun sakit tapi ada semacam kenikmatan yang dirasakan jika disandarkan dengan harapan bertemu. Rasa harap adalah sebuah kenikmatan, putus asa adalah penderitaan, dan kekuatan harapan itu (besar-kecilnya) mempertimbangkan kuatnya rasa rindu dan cinta terhadap sesuatu yang diharap.
Rindu atau kangen kerapkali diartikan sebagai perasaan mendalam (keinginan untuk bertemu) dengan seseorang yang lama tidak bertemu.
Rindu merupakan sebuah kata yang wajar diucapkan oleh orang yang sudah lama tidak berjumpa dengan mereka yang dianggap penting dalam hidupnya. Manusiawi jika terkadang orang yang sedang merindu lebih hebat dalam mengungkapkan isi hatinya lewat kata-kata puitis yang keluar dari mulutnya.
Bagaimana jika dalam hal ini, seorang perindu mendengarkan suatu jenis musik yang mungkin dapat membuncahkan rasa rindunya? Al-Ghazali menghukuminya halal, jika memang seseorang yang dirindukan merupakan seseorang yang boleh ia temui, seperti istri atau keluarganya. Ia mendengarkan lagu rindu untuk menambah rasa rindu bertemu dengan seseorang (halal) yang ia cintai.
Konteks tersebut akan berbeda, jika yang ingin ditemui adalah seseorang yang tidak boleh ia temui atau rindukan. Mungkin seperti ia yang sangat menginginkan bertemu seseorang misalnya artis idolanya sehingga ia berkhayal sambil mendengarkan lagu bertemu dengan perempuan atau orang yang tidak halal baginya. Jika konteksnya seperti ini maka hukumnya jelas haram, karena dapat mengarah pada hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh syariat.
Persoalan keharaman ini tidak kembali pada dzat dari mendengarkan musiknya, akan tetapi karena faktor eksternal yang menyebabkannya haram.
Kemudian bagian akhir dari ketujuh tempat musik oleh Al-Ghazali ialah musik sufisme, diterangkannya yang kira-kira artinya seperti ini:
“Mendengarkan musik oleh seseorang yang mencintai Allah dan merindukannya, sehingga ia tidak melihat apapun kecuali yang dilihat ialah Allah, tidak mendengarkan apapun kecuali ia akan merasakan suara tersebut dari-Nya. Mendengarkan musik (tertentu olenya) dijadikan sebagai media untuk menggelorakan rasa rindu, memperkuat rasa cintanya serta menimbulkan suatu keadaan yang oleh kaum sufi dinamakan dengan “wajd” (dzauq; rasa/ekstase)”.
Fase inilah yang oleh Al-Ghazali dikatakan sebagai langkah awal bagi seorang sufi, yang terkadang harus dilaluinya untuk menuju maqom-maqom tertentu makrifat. Oleh karenanya fase ini dinamakan dengan nama “wajd” yang diambil dari kata “wujud wa al-mushadafah”, artinya ada dan menyertai. Fase dimana ia (sufi) akan merasakan sesuatu yang ia tidak rasakan sebelum ia melaluinya (mendengarkannya).
Saya sudah mencantumkan pada tulisan sebelumnya bahwa Allah memiliki sirr, rahasia dibalik beberapa tatanan suara bagi jiwa manusia. Di antara tatanan suara itu ada yang dapat membawa seseorang sampai pada maqom tertentu dalam dunia sufi.
Untuk mengetahui efek yang timbul oleh tatanan suara tersebut maka pembahasannya masuk ke dalam bagian ilmu al-Mukasyafat (keterbukaan). Tentang mukasyafat ini, Al Ghazali telah membahasnya sedikit di bagian awal dalam Ihya.
Banyak qaul yang menjelaskan keadaan yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang tertentu saja. Salah satu yang menjelaskannya secara gamblang ialah Syekh Muhammad bin Ali bin ‘Athiyyah (w 386 H) dalam kitabnya Qut Al-Qulub.
Olehnya, mendengarkan musik dijelaskan menjadi dua. Pertama, Mendengarkan musik yang digunakan sebagai wasilah atau perantara untuk menimbulkan ekstase (rasa) seperti rasa rindu, sedih, takut, ataupun mahabbah untuk menuju Allah.
Yang kedua, mendengarkan musik yang tujuannya ialah syahwat serta hawa nafsu dan lahw, yang masuk dalam kesyubhatan karena mempertimbangkan hal-ihwal jenis musik serta pendengarnya.
Ada beberapa keadaan pendengar musik yang dijelaskan oleh Syekh Muhammad. Saya hanya akan menyebutkan beberapa pendapatnya tanpa menjelaskannya secara detail, karena pemahaman saya yang dangkal tidak mampu mencapainya. Di antaranya ialah ada yang menjadikan mendengarkan musik sebagai kebutuhan pokok, seperti halnya makan. Malah ada juga yang sampai menjadikannya sebagai pengganti makan. Entah, bagaimana.
Muhammad bin Isya bin Khaqan (359) dari riwayat Abi Al-Qasim Al-Junaid (215-298 H), min saadat as-sufiyah (termasuk di antara pembesar para kaum sufi) berkata: “rahmat akan turun pada kelompok ini (sufi) dalam tiga tempat: ketika makan, karena mereka tidak akan makan kecuali dalam keadaan lapar. Ketika mudzakarah, karena pada saat itu mereka akan berkutat pada maqam as-siddiqin dan ahwal an-nabiyyin (kedudukan As- Siddiqin dan keadaan para Nabi). Dan yang terakhir ialah saat mendengar musik, karena mereka mendengarkan musik dengan wajd (dzauq;ekstase) dan menyaksikan hakikat. Wallahu a’lam.
Referensi :
Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Ihya Ulum Ad-Din. 2011. KSA: Daar Al-Minhaj.
Syekh Muhammad bin Ali bin ‘Athiyyah. Qut Al-Qulub fi Mu’amalati al-Mahbub wa wasfi thariq al-Murid ila Maqam at-Tauhid. 2001. Kairo: Maktabah Daar At-Turats.