Di antara semua rukun dalam shalat, yang Allah klaim memposisikan kita ‘sangat dekat’ kepada-Nya adalah sujud. Sujud juga, di sisi lain, salah satu hal yang membuat sebagian orang Quraisy menolak Islam.
Bagi mereka, sujud adalah tindakan yang merendahkan martabat (kesukuan) mereka. Apalagi, kening kita disentuhkan ke debu, ke tanah, ke ‘lantai’. Tetapi QS an-Nazm yang mempesona dan puitik berhasil ‘menyihir’ mereka sehingga tidak sadar ikut sujud bersama kaum Muslim dan kaget sendiri setelahnya.
Sujud secara fiqh dipilari oleh jemari kaki, dua lutut, telapak tangan yang membuka, dan kening yang tidak terhalang, yang menempel ke tempat sujud. Lalu, kita membaca doa: subhana Robbial ‘ala: Maha Suci Allah yang Maha Luhur.
Ketika rukuk, yang juga merupakan penghormatan, kita memuji Allah sebagai Maha Agung. Di sujud, dengan menginsyafi betapa rendah dan bawahnya kita, kita memuji Allah sebagai Maha Luhur ‘tak terjangkau’.
Penghambaan yang total itu—yang dibarengi kesadaran betapa rendah dan hina-dinanya diri kita; betapa lemah dan papanya kita ini—mestinya mampu menghasilkan atsar sujud (bekas sujud). Yang kemudian disederhanakan sebagai dua tanda hitam di jidat, padahal bukan, atau tidak selalu.
Atsar sujud yang dimaksud sebetulnya merujuk pada akhlak. Dengan kata lain: sujud semestinya mensalehkan kita.
Pertama, sujud melatih kita merendahkan diri di hadapan Allah, maka sujud sebetulnya adalah upaya sistematis untuk melatih kerendah-hatian. Apalagi kalau kita ingat tentang penolakan Iblis terhadap sujud yang juga mengindikasi kesombongan dia.
Rendah hati, di sisi lain, adalah salah satu akhlak utama Nabi; salah satu yang membuat Nabi menjadi suritauladan yang ‘sulit’ untuk kita ‘samai’. Karena bahkan ketika beliau sudah dipuji Allah dan seluruh malaikat, beliau biasa-biasa saja saat dicaci-maki seorang Yahudi buta. Kita yang belum jadi apa-apa saja sudah baperan kalau di-bully netizen.
Kedua, sujud juga menjadi ekspresi penghambaan total, sehingga kita diingatkan kembali untuk berusaha lagi sekuat tenaga melaksanakan perintah-Nya menjauhi larangan-Nya secara kaffah. Untuk menjadikan Allah sebagai alasan utama dan tujuan paling akhir. Untuk bisa melaksanakan amanah menjadi khalifah-Nya di muka bumi sebaik mungkin. Untuk menjadi muslim yang toleran dan membuat orang lain merasa aman dan nyaman.
Jika orang-orang bersujud sudah mampu mencerapi dan menginsyafi semangat itu, maka seluruh dunia akan menjadi ‘masjid’ (tempat sujud). Yang Allah menjanjikan: waman dakholahu kaana aamina (siapa yang memasukinya, atau malah tinggal di dalamnya, akan terjamin kemanan dan keselamatannya).
Dalam konteks negara, jika muslimnya adalah orang-orang yang bersujud (secara benar dan bisa mencerapi idealnya), maka negara tersebut mestinya akan menjadi baladan aamina (negeri yang tenteram).
Ingatlah Yastrib yang dipenuhi konfik berubah menjadi Madinah yang aman, toleran, bersatu, dan adil, karena muslim yang hidup adalah muslim yang betulan bersujud. Padahal Islam pada saat itu tidak dijadikan sistem politik dan sistem pemerintahan. Corak kepemimpinan Rasulullah malah cenderung demokratis dengan musyawarah sebagai pendekatan penyelesaian masalah.
Jika kemudian ada Muslim yang gemar bersujud tetapi persekusif atau intoleran dan menghalalkan darah warga tidak berdosa, maka perlu dipertanyakan: janji Allah yang keliru atau mereka yang sujudnya salah kiblat?