Salah satu gagasan besar Kiai As’ad yang manfaatnya terus bisa dinikmati sampai saat ini adalah lembaga pendidikan tinggi khas pesantren yang ia namai dengan Ma’had Aly atau al-Ma’had al-Aly li al-Ulum al-Islamiyah Qism al-Fiqh. Pendidikan khusus untuk para santri senior itu resmi dibuka menjelang detik-detik akhir kemangkatan Kiai As’ad ke haribaan Allah Swt.
Awalnya, gagasan ini dicetuskan Kiai As’ad sekitar dua tahun sebelum ajal menjemputnya. Pada waktu itu, Kiai As’ad sering merisaukan kenyataan akan langkanya ahli-ahli fikih (fukaha) termasuk dari kalangan pesantren sendiri yang memang mempunyai platform al-Tafaqquh fi al-Din.
Di samping itu, Kiai As’ad selalu terngiang-ngiang wasiat Kiai Hasyim Asy’ari ketika ia mondok di Tebuireng. Pesan dan amanat yang sering disampaikan Kiai Hasyim adalah agar ketika ia pulang dari Tebuireng banyak mencetak ahli fikih.
Untuk merespons itu, Kiai As’ad mulai mewacanakan perlunya lembaga baru yang secara khusus menggembleng kader ahli fikih. Kiai As’ad menggulirkan wacana itu dalam banyak forum dan kesempatan, bahkan setiap menerima tamu penting baik kalangan pejabat atau tokoh masyarakat Kiai As’ad tak bosan mendiskusikan gagasan brilian ini untuk mendapatkan masukan dan saran.
Setelah ide lama mengendap, ide itu menemukan momennya ketika pelaksanaan Haul untuk Kiai Syamsul Arifin pada tahun 1989. Dalam kesempatan itu, Kiai Hasan Basri, salah seorang kepercayaan Kiai As’ad membacakan wasiat Kiai Hasyim Asy’ari: “Kamu As’ad supaya banyak mencetak kader-kader fukaha di akhir zaman.”
Selesai acara Haul, Kiai As’ad mengumpulkan para kiai dan pengasuh pesantren di dhalem-nya untuk merumuskan lebih mendetail pendirian Ma’had Aly. Dari pertemuan itu dibentuklah tim kecil untuk membahas tekhnis-tekhnis Ma’had Aly. Tim itu adalah, 1. Kiai Hasan Basri, Situbondo. 2. Kiai Abd, Wahid Zaini, Paiton Probolinggo. 3. Kiai Nadhir Muhammad, Jember. 4, Kiai Yusuf Muhammad. 5. Kiai Khatib Muhammad, Banyuwangi. 6. Kiai Afifuddin Muhajir, Situbondo.
Kemudian tim itu bertemu kembali untuk membahas langkah-langkah yang lebih kongkret, menyangkut penyusunan draft silabi, tenaga edukatif, dan perangkat dasar lain yang dibutuhkan. Hasil pertemuan itu kemudian dipresentasikan dan diseminarkan secara nasional di hadapan beberapa kiai, seperti Kiai Ali Yafie, Kiai Sahal Mahfudh, Kiai Rodi Soleh, Kiai Talchah Hasan, Kiai Azis Mashuri dan Kiai Hasan al-Dhariy al-Nahdli.
Hasil seminar nasional itu memutuskan bahwa forum menyambut baik ide besar ini. Dan forum merekomendasikan agar pendidikan tinggi khas pesantren ini dipusatkan di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Sebab, dari segi dukungan sarana dan prasarana, pesantren yang diasuh Kiai As’ad ini sangat mungkin untuk mendesain lembaga pendidikan dan asrama santri secara khusus. Lebih dari itu, Kiai As’ad sudah menyiapkan lahan dan beberapa unit bangunan, seperti bangunan asrama santri, ruang kuliah, gedung perkantoran, musala, perpustakaan, dan bangunan untuk pemangku asrama.
Setelah persiapan dianggap sudah memadai, apakah Kiai As’ad langsung membuka lembaga ini?
Ternyata tidak. Selain minta pertimbangan terlebih dahulu kepada Kiai Ali Maksum yang saat itu tidak bisa hadir ke Situbondo karena faktor usia, Kiai As’ad juga mengirim kurir ke tanah suci Mekkah untuk mengesahkan kurikulum yang telah dirumuskan pada kiai di tanah air. Untuk kepentingan ini, Kiai As’ad mengirim Kiai Nadhir Muhammad dan Kiai Yusuf Muhammad untuk menemui tiga ulama suni terkemuka di Mekkah, yaitu Syaikh Yasin ibn Isa al-Fadani, Sayyid Muhammad al-Maliki dan Syaikh Ismail ibn Usman al-Yamani. Ulama-ulama kesohor itu akhirnya memberi restu dan memberi rekomendasi atas kurikulum yang telah dirumuskan. Selain itu, mereka juga menaruh harapan besar atas lembaga pendidikan tinggi pesantren ini.
Legitimisasi dari tiga ulama itu, membuat kiai As’ad yakin dan percaya diri atas pendirian Ma’had Aly. Restu tiga ulama Mekkah juga menepis anggapan miring beberapa kiai yang menuduh ada nuansa politis pada pendirian Ma’had Aly lantaran ada kedekatan antara Kiai As’ad dengan lingkaran istana pada waktu itu. Lebih-lebih menurut mereka, ide Ma’had Aly ini tidak lumrah, cenderung eksklusif, namun dengan dinamika yang amat panjang dan melelahkan hingga restu tiga ulama dunia, lambat laun penilaian miring itu hilang.
Akhirnya, dengan penuh rasa syukur dan mengharap rida Allah, pada tahun 1990 Kiai As’ad resmi membuka Ma’had Aly, persis detik-detik menjelang kewafatannya. Tentu ada yang sangat istimewa dengan pendirian lembaga terakhir ini, sebab sejak itu purna jua amanat Kiai Hasyim Asya’ri. Kiai As’ad sebagai santri merasa tenang dan sudah tidak punya beban karena semua tugasnya selesai. Saking bahagianya, sosok Kiai yang penuh dengan kesederhanaan itu sampai mencucurkan air mata bahagia dan haru. Bahkan ia menjadi Pimpinan langsung dan meminta pengajian para kiai untuk santri Ma’had Aly disambungkan ke kamar pribadinya.
Dari kisah proses pendirian Ma’had Aly di atas, tampak bahwa Kiai As’ad sangat serius dalam mendirikan lembaga ini. Ia menempuh cara yang panjang dan berliku sebelum akhir resmi membuka lembaga keinginannya. Kini Ma’had Aly Situbondo, Ma’had Aly pertama dan Ma’had Aly percontohan itu sudah berusia 30 tahun. Selama kurun tiga dekade ini, para kiai, ustaz dan pengurus Ma’had Aly berdarah-darah untuk terus menjaga dan mengembangkan warisan terakhir Kiai As’ad ini. Tak ada harapan lain, kecuali agar ide dan gagasan Kiai As’ad melalui Ma’had Aly terus menjadi jariyah, pahala yang mengalir dengan memberikan manfaat kepada khalayak luas.
Belakangan, dengan melihat rekam jejak dan perannya, Pemerintah melalui Kementrian Agama memberikan rekognisi, pengakuan terhadap Ma’had Aly Situbondo. Ma’had Aly melalui keputusan Pemerintah disetarakan dengan lembaga pendidikan tinggi negeri lain. Bukan hanya itu, keberadaan Ma’had Aly Situbondo juga mengilhami beberapa pendirian Ma’had Aly baru di beberapa pesantren di Indonesia.
Pengakuan, penyetaraaan pemerintah terhadap Ma’had Aly bukanlah tujuan akan tetapi hanya sarana mencapai tujuan. Karena kita tahu, Ma’had Aly adalah produk zaman yang harus terus beradaptasi dengan perputaran waktu dan keadaan. Kita masuk di mana zaman membutuhkan sesuatu yang formal, melalui ijazah dan lembar administratif lain. Akan tetapi pemformalan ini tidak boleh meruntuhkan spirit awal dari para pendiri, yaitu bahwa tujuan Ma’had Aly adalah untuk melahirkan kader ahli fikih (fukaha), ahli agama yang mumpuni bukan untuk melahirkan orang yang hanya memiliki gelar sebagai bentuk formalitas.
Ruh, spirit, dan tujuan pendirian Ma’had Aly perlu terus dijaga, dirawat dan dipertahankan. Perputaran zaman, perjalanan roda kehidupan atau apapun itu jangan sampai membelokkan tujuan awal ia didirikan. Sebab jika sampai berubah, maka pelakunya telah melakukan sebuah dosa kepada para pendiri, wabil khusus kepada Kiai As’ad Syamsul Arifin.