Beberapa tahun terakhir ini keterlibatan perempuan dalam aksi teroris cenderung meningkat. Dilansir dari bnpt.go.id keterlibatan perempuan dalam kasus terorisme mengalami kenaikan selama 10 tahun terakhir. Jika dahulu perempuan hanya berperan sebagai pendukung suami (aktor teroris laki-laki) dari belakang layar, kini peran perempuan mulai bergeser dari pendukung menjadi aktor. Mengapa perempuan dapat menjadi aktor terorisme?
Jika kita runut ke belakang, di era digital ini, media sosial menjadi ruang penting bagi kelompok teroris untuk melakukan penyebaran ajaran-ajaran radikal sekaligus mendapatkan anggota melalui pola rekruitmen secara online. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Asiyah, dkk. (2020) diketahui bahwa beberapa perempuan tertarik untuk belajar jihad melalui internet, hingga kemudian bergabung dengan jaringan teroris.
Pada awalnya para perempuan yang sedang dilanda kegalauan identitas atau masa pencarian jati diri ini berselancar di ruang media sosial untuk mendapatkan peneguhan. Mereka kemudian masuk ke dalam situs-situs jihad online maupun media sosial milik jaringan terorisme dan termotivasi untuk berjihad dengan iming-iming kebahagiaan di akhirat melalui jalan mulia.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), di tahun 2022 masih ditemukan lebih dari 600 situs/akun di berbagai platform media yang berpotensi radikal di antaranya 168 akun Facebook, 156 kontak WhatsApp, 119 Telegram, 54 Instagram, 25 akun Youtube, 14 dari media online dan 85 dari Twitter (cnnindonesia,com). Dari situs-situ itu banyak perempuan yang akhirnya mendapatkan suami dari kelompok radikal. Di dalam keluarga doktrinasi terorisme ini semakin menguat, hingga perempuan kemudian memilih untuk ikut serta menjadi aktor terorisme.
Kesetaraan Gender menjadi Faktor
Lies Marcoes dalam bukunya Seperti Memakai Kacamata yang Salah: Membaca Perempuan dalam Gerakan Radikal mengemukakan bahwa budaya patriarki dan kesetaraan gender menjadi salah satu faktor yang mendorong perempuan ini tertarik bahkan dengan sukarela melibatkan diri dalam terorisme. Selama ini budaya patriarki yang berkembang di masyarakat menempatkan perempuan pada posisi yang rendah, lemah dan hanya menjadi pendukung laki-laki. Budaya patriarki membuat perempuan tidak punya kebebasan dan berdaya dengan potensi yang dimilikinya.
Perempuan kerap mendapat tekanan ketika apa yang dilakukan melanggar norma yang umumnya tidak boleh dilakukan perempuan, seperti berperang di medan tempur. Hingga kemudian perempuan termotivasi untuk membuktikan peran dan potensinya untuk berjihad seperti apa yang dilakukan oleh laki-laki.
Jika sebelumnya perempuan hanya berjihad melalui jalur non-qital (soft-movement) melalui perannya dalam memperbanyak keturunan, menjadi pengikut dan pendamping serta melayani kebutuhan suami, seiring dengan semakin luasnya gerakan radikal, banyak perempuan yang mulai tertarik mengambil langkah gerakan jihad qital (perang). Kini mereka ikut serta berjihad langsung di medan tempur bersama laki-laki bahkan juga membawa serta anak-anaknya. Melalui jalan jihad qital, perempuan berusaha menunjukkan eksistensinya, dengan tekad bahwa mereka juga dapat setara dengan laki-laki.
Kasus di atas dapat menjadi refleksi bersama bahwa kita masih memiliki pekerjaan rumah untuk melakukan upaya deradikalisasi. Lantas, bagaimana agar perempuan tidak terjerumus ke dalam jalan jihad yang salah?
Menyebar Narasi Perdamaian
Masih banyaknya situs dan media sosial yang berpotensi rasikal menunjukkan bahwa kita perlu melawan ruang media yang radikal dengan narasi-narasi alternatif yang damai. Kita dapat membuat konten yang memotivasi perempuan untuk dapat setara dan berdaya dengan cara-cara yang baik. Harapannya melalui konten ini kita mampu memberi pencerahan bagi perempuan yang sedang dilanda kegalauan identitas.
Selain itu kita juga bisa bersuara ketika menemukan konten-konten yang terindikasi berbahaya dan dapat menodai citra Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Kita dapat membuat narasi tanding (kontra narasi) untuk merespon isu-isu yang mengarah pada radikalisme dan terorisme dan menyuarakan gagasan kita tentang pemberdayaan perempuan melalui beragam jalur yang damai.
Perempuan dan Deradikasilasi
Selain melalui narasi di media sosial, deradikalisasi juga dapat dilakukan dengan menampilkan figur yang dapat dijadikan inspirasi di media, salah satunya yakni melalui para eks-teroris. Kisah-kisah mereka penting untuk diceritakan baik melalui lisan dan tulisan. Kisah mereka dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat pada umumnya agar tidak terjerumus ke jurang terorisme, dan juga bagi para aktor yang sedang berada di jaringan teroris untuk segera kembali ke jalan yang benar.
Namun, selama ini suara laki-laki eks-teroris-lah yang masih mendominasi ruang publik untuk menjadi seorang inspirator. Sebut saja Muhammad In’am Amin (pendiri Kafe Gandroeng di Jogja) yang kerap diundang di berbagai media. Sedangkan kisah perempuan-perempuan eks-teroris cenderung dikesampingkan.
Padahal jika digali lebih dalam, perempuan eks-teroris juga memiliki kisah-kisah menarik. Ada Marifah misalnya, eks-teroris dari Semarang yang setelah keluar dari penjara beraktivitas menjadi seorang penjahit dan mencoba untuk terus membaur dengan masyarakat (detik.com). Namun penceritaannya di media hanya sebatas pada aktivitas kehidupan setelah keluar dari penjara. Sedangkan cerita kehidupan yang lebih mendalam, semisal bagaimana mereka memaknai perjalanan hidup menjadi teroris dan menjalani kehidupannya yang baru (sebagai eks-teroris) belum banyak digali.
Jika perempuan diberi ruang bercerita yang lebih lebar di media tentunya kisah-kisah mereka dapat menginspirasi orang-orang, khususnya perempuan, bahwa menjadi setara dengan jalan kekerasan adalah jalan jihad yang salah. Perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berdaya dengan mengembangkan potensi yang dimilikinya dan menebarkan manfaat seluas-luasnya. Perempuan bisa berdaya dengan jalan jihad yang damai.