Sedang Membaca
Ketika Gus Dur Menulis Obituari
Zaim Ahya
Penulis Kolom

Tinggal di Batang. Penulis lepas, owner kedai tak selesai, dan pengajar di PonPes TPI al-Hidayah.

Ketika Gus Dur Menulis Obituari

1 A Buku Gus Dur

Membaca teks berulang kali berpotensi memperoleh hal baru yang tak didapati saat pembacaan pertama kali. Hal ini yang tampaknya sedang terjadi dengan penulis dalam membaca tulisan Gus Dur yang berjudul Gila NU, NU Gila.

Di pembacaan sebelumnya, penulis mendapati perihal cara Gus Dur dalam memulai kisah jenaka sebelum memasuki pembicaan serius tentang pluralitas pandangan dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Namun malam ini, dengan pembacaan yang kesekian kali, tulisan Gus Dur tersebut juga bisa dikatakan semacam obituari dari dua sahabatnya.

Sebagaimana ulasan penulis beberapa hari lalu di alif.id yang berjudul Obituari dan Etika Keutamaan, secara singkat, obituari bisa diartikan sebagai kabar atas meninggalnya seseorang dan biasanya disertai dengan biografi singkat. Apa yang ditulis Gus Dur sudah memenuhi dua poin ini. Gus Dur mengkabarkan kewafatan dua sahabatnya, setelah sebelumnya mengisahkan kenangannya bersama kedua sahabatnya dan juga sedikit menjelaskan tentang keistemewaan keduanya.

Dua sahabat yang ditulis obituarinya oleh Gus Dur adalah doktor Fahmi Dja’far Saifudin dan Habib Hamid Sukaraja (Purwokerto). Mula-mula Gus Dur mengisahkan kenangannya bersama doktor Fahmi yang pada suatu malam setelah lewat pukul 01.00 WIB mengajak Gus Dur pergi ke Tanjung Priok, lalu sampai jam 03.00 WIB membincangkan NU.

Baca juga:  Kisah Gus Dur Muda Menjemput Anggota PKI di Pemilu 1955

Dalam tulisannya itu, Gus Dur juga menjelaskan peran doktor Fahmi yang menjadi salah satu konseptor pengambangan kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok. Gelar Master of Public Healt dari Ann Arbor di Michin (AS), yang menjadi bukti pencapaiannnya dalam karir ilmiah, juga dijelaskan oleh Gus Dur. Kata Gus Dur, walaupun demikian, doktor Fahmi tidak kemudian jadi elitis/teknoratis karena beliau masih bisa memahami keinginan dari rakyat dengan cara bekomunikasi langsung.

Gus Dur juga menjelaskan, dokter Fahmi memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap NU sebagaimana ia warisi dari ayah maupun mertuanya. Dokter Fahmi, dalam tulisan Gus Dur itu, digambarkan sebagai seseorang yang memahami NU bukan hanya sebagai intitusi, tapi juga sebagai budaya atau kultur kesantrian.

Begitu juga dengan Habib Hamid, Gus Dur juga mengisahkan kenangan besama beliau dan juga profil sang habib. Bedanya, kalau yang pertama Gus Dur lebih dulu mengisahkan kenangan, tokoh yang satu ini oleh Gus Dur diceritakan profilnya lebih dulu.

Mula-mula Gus Dur menjelaskan tentang Habib Hamid yang menikah di usia yang tak lagi muda lantaran memilih fokus menjaga ibunya. Gus Dur menyebut Habib Hamid sebagai seorang yang wirai (asketik) dan terlihat pada diri beliau keanehan-keanehan.

Baca juga:  Resensi Buku: Maksud Politik Jahat, Bahasa dan Pelupaan Sejarah 1965

Dalam tulisannya itu, Gus Dur menceritakan tentang sang habib yang berkomunikasi bebas hanya dengan istri dan pembantunya yang bernama Hasan atau Kiai Abdul Ghoni. Kata Gus Dur, yang disampaikan beliau hanya kiasan-kiasan atau mengutip dari ayat Al-Qur’an.

Gus Dur sendiri, saat masih menjadi presiden, pernah didatangi beliau di Istana. Namun Habib Hamid tidak berkenan masuk dan hanya bersedia duduk di depan Istana. Habib Hamid, dalam cerita Gus Dur itu, mengutip dua ayat Al-Qur’an yang salah satunya mengisahkan keberanian Nabi Musa menyeberangi laut ketika dikejar oleh Firaun.

Dari dua tokoh tersebut, Gus Dur kemudian menjelaskan pluralitas pandangan dalam NU, yang salah satunya diwakili oleh dokter Fahmi dan Habib Sukaraja yang notabene masih bersaudara. Kata Gus Dur, “Yang satu rasional, yang lain spritual.”

Kenapa Gus Dur tak menyingung tentang tahun kelahiran dan semacamnya? Tentu yang tahu alasannya adalah Gus Dur sendiri. Namun bisa jadi Gus Dur ingin menekankan pentingnya memahami nilai dari sejarah para pendahulu, bukan berhenti pada hapalan tahun kejadian. Tentu bukan berarti Gus Dur tak menganggap penting hal itu, namun, sebagaimana tulisannya yang berjudul Membaca Sejarah Lama, Gus Dur ingin kita memahami sejarah sebagai sebuab proses. Dan mungkin juga memang bukan fungsi obituari untuk menjelaskan hal itu!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top