Sedang Membaca
Gus Dur Belajar Kepada Imam Kholil al-Farahidi
Zaim Ahya
Penulis Kolom

Tinggal di Batang. Penulis lepas, owner kedai tak selesai, dan pengajar di PonPes TPI al-Hidayah.

Gus Dur Belajar Kepada Imam Kholil al-Farahidi

 

Mungkin kita sering menyaksikan senior dengan kepongahannya memarahi dan meremehkan yuniornya,  namun ia sendiri lupa meningkatan kapasitas dirinya. Kata-kata seperti “pada zamanku dulu seperti ini” sering kita dengar dari para senior yang bangga dengan zamannya, tanpa merasa zaman telah berubah.

Ada juga –mungkin bukan sekedar ada, tapi banyak– fenomena dosen penguji sidang kelulusan mahasiswa,  yang dengan gagahnya menelanjangi karya mahasiswa yang diuji, namun ia sendiri miskin karya.

Sikap seperti di atas jauh berbeda dengan Imam Kholil bin Ahmad al-Farahidi (100-170 H.), inisiator pemberian tanda baca (harakat) dalam bahasa Arab (fathah, kasrah,  dhammah,  sukun). Dikisahkan, Imam Kholil bin Ahmad memiliki murid cerdas yang bernama Amr bin Qumbur,  yang lebih masyhur dengan Imam Sibawaih (137-177 H.). Banyak ulama setelahnya dalam menggambarkan kealiman seseorang atas penguasaan tata bahasa Arab, menggunakan kalimat “laksana Imam Sibawaih pada zamannya”.

Ada cerita yang beredar di kalangan santri,  karena sangat tekun dalam belajar,  sampai istri Imam Sibawaih pun cemburu,  dan membakar kitab-kitab Imam Sibawaih. Apakah kisah ini benar terjadi, atau bersifat  simbolik, tentu masih perlu dikaji lagi. Namun setidaknya kisah tersebut menunjukkan cinta Imam Sibawaih pada ilmu, yang luar biasa.

Baca juga:  RADHAR

Kedalaman ilmu Imam Sibawaih membuat banyak orang tertarik (mengaji) kepada beliau. Sebab itu, Imam Kholil melakukan perjalanan ke tanah haram,  dan meminta kepada Allah untuk diberikan ilmu baru. Lahirlah ilmu arudh melalui Imam Kholil. Ilmu baru itu pun tersebar luas dan orang-orang pun kembali rame menghadap (mengaji) kepada Imam Kholil.

Ilmu arudh adalah ilmu tentang aturan-aturan, yang bisa digunakan untuk mengetahui benar dan rusaknya wazan-wazan syi’ir Arab,  dan perubahannya dari beberapa zihaf dan ‘ilat.

Penamaan arudh dinisbahkan kepada tempat di mana proses kreatif Imam Kholil terjadi, yaitu tempat antara Mekkah dan Thoif, yang disebut arudh. Sebelum Imam Kholil meletakkan dasar-dasar ilmu arudh, para penyair dalam menggubah syi’ir mengikuti jalan pada pendahulunya atau berlandaskan pada bakat (malakah) masing-masing. Fungsi ilmu temuan guru Imam Sibawaih ini, di antaranya  menghindarkan bercampurnya berbagai macam bahar syi’ir, dan pembeda syi’ir dengan saja’.

Kisah kelahiran ilmu arudh penulis kutip dari cerita yang berbentuk nadzam dalam pendahuluan kitab Taqrirat Mandzumah Arudh yang diterbitkan oleh Pesantren Lirboyo Kediri, dengan sedikit improvisasi dari penulis.

Kisah di atas, penulis pahami bukan berati Imam Kholil tidak ingin muridnya menguasai ilmu secara mendalam. Sebagai guru tentu  Imam Kholil selalu mendoakan muridnya diberikan kemudahan dalam menyerap ilmu melakukan kebaikan, dan kelak bisa meneruskan perjuangannya dalam menyebarkan ajaran Islam, sebagaimana kiai mendoakan santrinya yang kita kenal di pesantren. Sikap Imam Kholil yang kompetitif, bahkan sampai dengan muridnya, tampaknya adalah konsekwensi logis atas semangatnya yang luar biasa dalam mempelajari limu pengetahuan.

Baca juga:  Potret Perjuangan Ulama (3): Menahan Haus dan Lapar

Gus Dur pernah bercerita tentang Imam Kholil, sebagai penguat tesisnya tentang kosmopolitan peradaban Islam. Kata Gus Dur, salah satu karya beliau, Qamusul Ain sepenuhnya menggunakan kategorisasi ilmu pengetahuan berdasarkan filsafat Yunani.

Imam Kholil yang kesalehannya berada pada tingkat yang tinggi, juga peminat filsafat Yunani. Keterangan Gus Dur ini menunjukkan bahwa Imam Kholil adalah salah satu sosok ulama yang terbuka dan berani berdialog dengan peradaban lain.

Kalau ditarik kepada skema lebih besar, sikap kompetitif dan  dialektis Imam Kholil menunjukkan iklim ilmiah yang kuat pada masa silam. Pengembangan ilmu, sehingga lahir berbagai ilmu baru, sangat ditekuni ulama-ulama terdahulu. Misalnya kita lihat, bagaimana terobosan Imam Syafi’i (150-204 H.) dalam melakukan riset ilmiah dengan metode induktif berbasis data empiris dalam meneliti darah haid.

Begitulah kira-kira gambaran  suasana Islam masa lampau yang penuh semangat terhadap kajian keilmuan, sehingga lahir banyak karya dalam berbagai bidang ilmu. Nama-nama seperti Imam Syafi’i, Imam Kholil bin Ahmad al-Farahidi, Imam Sibawaih, dikenal sampai generasi kita lantaran karya-karya mereka yang menjadi simbol capaian peradaban Islam pada tingkat yang luar biasa, yang disebut sejarawan Arbold J.Toynbee sebagai Oikumene Islam.

Kata Gus Dur,  Toynbee bahkan memasukkan Oikumene Islam ini sebagai salah satu dari enam belas oikemene yang mengusai dunia. Mengagumkan bukan?

Baca juga:  Edisi Ramadan, Kolom Gus Dur di Majalah Sarinah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top