Supriansyah
Penulis Kolom

Penggiat isu-isu kedamaian dan sosial di Kindai Institute Banjarmasin

Genosida di India: atas Nama Agama

Kerusuhan Di India Ap 6 Ratio 16x9

Benarkah Agama bisa mengajak pada kekerasan? Mungkin pertanyaan di atas sudah sering terlintas dalam kepala kita masing-masing. Entah sudah berapa kali, bahkan kita sendiri sudah muak, kekerasan berlatar agama atau menyerang pemeluk agama tertentu terjadi di berbagai belahan dunia. Pedih tentu jika kita mengingat polemik keagamaan, terutama yang terjadi di Indonesia, seperti apa yang dialami oleh saudara kita, penyintas dari kalangan Ahmadiyah.

Mereka harus tercerabut dari akar kehidupannya karena kegagalan Negara dalam menghadirkan kedamaian, dalam mengekspresikan ibadah dan hidup sehari-hari. Pengalaman bertahan hidup dari pasca-tragedi kekerasan pernah dituliskan dengan sangat menyayat hati, oleh Immaculee Ilibagiza. Dia adalah salah satu korban selamat dari tragedi genosida di Rwanda yang terjadi sekitar tahun 1996.

Baginya menuliskan pengalamannya adalah bagian dari menyebarkan pelajaran paling berharga yang pernah dipetik, dari kejadian yang menyedihkan tersebut. Immaculee menitikberatkan pada satu kalimat agung “Jangan pernah sepelekan iman”. Dia yakin akan kalimat tersebut karena telah menyaksikan keajaiban saat orang-orang Rwanda memperbarui iman mereka kepada Tuhan, dan luka-luka akibat genosida sembuh melalui sentuhan kasih-Nya.

Kehilangan kepercayaan atau iman kepada Tuhan merupakan dampak yang dirasakan oleh Immaculee. Tidak ada lagi agama atau iman kepadaNya dalam kejadian paling berdarah dalam sejarah Rwanda, bahkan salah satu di dunia. “Di masa kecil kami tidak pernah diajarkan tentang prasangka buruk, ketegangan etnis, dan politik adu domba yang mendorong terpecahnya teman sebangsa kami, bahkan meletakkan dasar dari salah satu sejarah genosida paling berdarah.” Begitu aku Immaculee.

Kekerasan atas orang lain dengan alasan primordial, seperti agama, ras, suku, warna kulit dan lain-lain, tidak akan terjadi tanpa ada proses yang lama dan kelindan dari berbagai masalah-masalah sebelumnya. Teranyar, rasa empati kita kembali dikoyak atas kekerasan yang terjadi pada kelompok Muslim dan pemeluk Kristen.

Baca juga:  Sains, Seni, dan Kemanusiaan

Sebelum lebih jauh meneroka lebih jauh persoalan kekerasan di India, jauh sebelum kejadian terbaru ini kita pernah disuguhi bagaimana kekerasan pada kelompok muslim di sana dalam film “Slumdog Millioner”. Jamal dan saudaranya, Salim, harus melarikan diri karena ada sekelompok orang menyerang perkampungannya. Ibu mereka harus meregang nyawa karena terkena pukulan di kepalanya. Kekerasan yang diterima oleh keluarga Samir saat itu akhirnya menyeretnya pada kehidupan baru, yang terlepas dari relasi keluarga kecuali bersama sang kakak.

Kehilangan Iman dan hubungan keluarga hanya secuil dari sekian dampak buruk kekerasan komunal yang terjadi. Immaculee juga menambahkan bahwa stigma dan bayangan mengerikan yang melekat di kata-kata tertentu, dalam pengalamannya Hutu dan Tutsi. Tak jauh berbeda yang terjadi di India, stigma sebagai “orang pendatang” diikuti dengan narasi pengusiran dari “tanah suci hindu” melekat pada pemeluk agama Islam, Kristen, Zoroaster dan lain-lain.

Selain Hindu, hanya Buddha, Jain dan Sikh yang diperbolehkan menjadi warga negara. Keaslian sebagai pemilik wilayah atau “penduduk asli” dianggap sebagai dalil untuk membatasi hingga mengeksklusi pemeluk agama lain, hanya karena memiliki tanah suci di daerah lain.

Angka kekerasan di India dalam catatan Wikipedia, sepanjang lebih satu dekade terakhir rata-rata ada sekitar tujuh ratus insiden kekerasan. Korban yang jatuh meninggal saja mencapai angka 130 orang setiap tahun. Memang hal ini sangat menyayat hati dan nurani kita sebagai manusia. Bagaimana kita bisa hidup dalam ancaman kekerasan dan ketakutan setiap hari, seperti yang dialami oleh masyarakat India.

Baca juga:  Dongeng (Masih) Berkhasiat

Ada dua poin yang menjadi sorotan saya dalam banyak kekerasan yang terjadi di dunia, termasuk India dan Rwanda, yaitu kesucian dan identitas. Mari kita bahas dari identitas terlebih dahulu. Amartya Sen, pemikir asal India, pernah menuliskan bahwa titik terberat dalam penegasan sebuah identitas adalah terbatas dalam pandangan pihak lain, terlepas bagaimana sebenarnya pandangan dari pemilik identitas tersebut.

Konsekuensinya, kita seringkali gagal atau tidak sadar bagaimana pihak lain mengidentifikasi diri kita, yang bisa berbeda dari pemahaman kita sendiri. Tidak sedikit yang mendapatkan cap jelek dari pihak lain, yang bisa berbuntut pada pelecehan dan biasanya menyulut terjadinya tindak kekerasan terhadap orang yang dicap jelek.

Cap atau julukan yang dinisbahkan kepada orang lain tersebut jelas bisa berbuntut pada dua hal, yaitu penggambaran keliru tentang orang lain yang tergolong dalam kategori yang disasar dan label buruk menjadi satu-satunya ciri yang dialamatkan kepada orang lain tersebut.

Narasi kesucian mungkin bisa dibilang selalu ada dalam setiap agama apalagi agama Abrahamik. Ajaran tentang kesucian adalah salah satu dari bagian paling sakral dalam agama. Islam misalnya menempatkan “Bersuci” adalah bagian paling awal dalam pelajaran agama. Adapun kesucian yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah eliminasi hal-hal yang berbeda dari identitas yang ada.

Diksi kesucian ini mungkin saja adalah kelanjutan dari stigma atau cap jelek kepada suatu kelompok atau seseorang. Mungkin sebagian kita pernah menemui kalimat “Batas Suci”. Kesucian selain memainkan istilah batas untuk menyortir mereka atau sesuatu yang dianggap tidak layak. Imaji tentang batas inilah yang kemudian bisa bertuntut pada genosida seperti di Rwanda, atau kekerasan komunal seperti di India.

Baca juga:  Bahasa: Baku dan Berkuasa

Di Rwanda, kekerasan terhadap suku Tutsi disandarkan pada propaganda lewat tema “Kecoak” yang harus dibasmi sebelum membahayakan suku Hutu. Di atas dijelaskan hal yang sama juga terjadi pada komunitas Muslim dan Kristen di India, mereka harus mendapatkan perlakuan kasar, cacian hingga kekerasan karena persoalan konsumsi sapi. Telah umum diketahui, sapi adalah binatang suci dalam kepercayaan mayoritas masyarakat India, yang memeluk Hindu.

Umat Islam dianggap telah menodai agama mereka dengan mengonsumsi sapi. Polemik tentang sapi, sebagai hewan suci atau komoditas dagang serta konsumsi, telah lama berakar dalam kehidupan masyarakat India. Akan tetapi, persoalan ini kembali mendapat momentum saat kemenangan Bharatiya Janata Party (BJP), partai ultra-nasionalis yang dipimpin oleh Narendra Modi, dalam pemilu beberapa tahun kemarin.

Beberapa elit partai pimpinan Modi tersebut sering memberikan pernyataan atau pidato yang sering menyulut kemarahan kalangan Hindu garis keras, seperti “Gau Rakshaks (Geng pelindung sapi)”. Lebih parahnya, beberapa aksi kekerasan yang mereka lakukan malah terkesan dibiarkan oleh polisi atau aparat keamanan yang mendapat tekanan dari politisi BJP.

Bagaimana dengan Indonesia? mungkin kita seharusnya mulai belajar dari kekerasan seperti di India atau Rwanda. Kekerasan memang sering terjadi karena bagian dari titik didih berbagai hal, seperti stigma atau cap yang serampangan, pengalaman perbedaan hal-hal primordial, dan biasanya dipanas-panasi oleh dinamika politik sesaat.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top