Sedang Membaca
Sabilus Salikin (11): Mursyid Sebagai Khalifah Rasul
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (11): Mursyid Sebagai Khalifah Rasul

Sabilus Salikin (11): Mursyid Sebagai Khalifah Rasul

Imam-imam Hadis, selain al-Bukhari dan Muslim, meriwayatkan sebuah hadis perpisahan yang di dalamnya antara lain Nabi SAW bersabda:

… عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ….

Kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah al-khulafa al-RAsyidin yang memperoleh petunjuk; berpeganglah kepada sunnah-sunnah itu dan ‘gigitlah’ sunnah-sunnah itu dengan gigi geRAham kalian, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1, halaman: 18, Sunan al-Kubrâ lil Baihaqi, juz 10, halaman:114).

Dalam Hadis itu tampak bahwa sunnah Nabi SAW disandingkan dengan sunnah para khalifah (pengganti) beliau; kedua jenis sunnah ini sama-sama wajib diikuti dan dipegangi secara teguh oleh setiap mukmin. Ini menunjukan bahwa sunnah al-khulafa al-Rasyidun adalah sunnah yang suci sebagaimana Sunnah Nabi SAW sendiri. Tidak mungkin Nabi SAW memerintahkan mengikuti sunnah mereka apabila sunnah itu mengandung cacat atau hal-hal yang bertentangan dengan syaRA.

Siapakah sesungguhnya yang dimaksud dengan al-Khulaf al-Rasyidun itu? Selama ini ungkapan al-Khulafa al-Rasyidun dipahami sebagai pengganti Nabi SAW di bidang politik, yaitu sebagai kepala negara atau pemerintahan Islam yang bertanggung jawab atas semua urusan politik umat. Mereka adalah Abu Bakar al-Shiddiq RA., Umar bin al-Khattab RA., Utsman Ibn Affan RA., dan Ali bin Abi Thalib RA.

Belakangan nama Amirul Mukminin Umar Ibn Abd al-Aziz RA. diposisikan sebagai khalifah kelima dan sekaligus terakhir dari al-Khulafa al-Rasyidun, sehingga secara keseluruhannya al-Khulafa al-Rasyidun dalam pengertian ini hanya berjumlah lima orang. Tetapi di samping pengertian sebagai pengganti Nabi SAW di bidang politik, pengertian al-Khulafa al-Rasyidun juga dapat ditinjau dari segi spiritual, sebab Nabi SAW tidak sekedar sebagai kepala negara atau pemerintahan melainkan juga sebagai Nabi dan Rasul yang membawa misi tauhid dan ubudiah serta penyempurnaan akhlak yang mulia.

Beliau adalah pemimpin spiritual yang oleh Alquran digambarkan memiliki tugas-tugas:

  1. Membacakan kepada umat ayat-ayat Allâh SWT
  2. Menyucikan kalbu mereka.
  3. Mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah
Baca juga:  Membaca Islam di Era Post-Truth

لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ ﴿١٦٤﴾

Sungguh Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (Ali Imrân: 164).

Tugas-tugas seorang khalifah sudah sepatutnya sesuai dengan tugas-tugas Nabi SAW sebagai seorang Rasul, yaitu ta’lim (mengerjakan al-Kitab dan al-Hikmah) dalam kerangka tauhid, ubudiyah, dan penyempurnaan akhlak yang mulia. Dengan pengertian kedua ini, al-Khulafa al-Rasyidin pada dasarnya menunjuk kepada ulama yang oleh Nabi SAW diposisikan sebagai waratsah al-Anbiyâ’ (ahli waris para Nabi), dan satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW atau Nabi-Nabi lainnya tidak mewariskan dinar atau dirham, mereka hanya mewariskan al-Ilm (ilmu) :

وَإنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأنْبِيَاءِ ، وَإنَّ الأنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً وَإنَّمَا وَرَّثُوْا العِلْمَ، (صحيح ابن حبان، ج 1، ص: 289)

Allah Berfirman:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ﴿٣٢﴾

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar, (Fathir, 35:32).

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٤٣﴾

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (al-Nahl, 16:43).

وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَّا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَن فِي الْقُبُورِ ﴿٧﴾

Baca juga:  Kisah Sufi Unik (14): Abu Sulaiman al-Darani, Berdoa dengan Satu Tangan

Kami tiada mengutus Rasul-Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui, (al-Anbiya, 21:7).

Ciri khas mereka adalah bahwa mereka tidak pernah meminta upah atas upaya dakwah mereka karena Nabi SAW juga tidak meminta upah atas dakwah beliau

وَمَا تَسْأَلُهُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ ﴿١٠٤﴾

Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam, (Yusuf, 12: 104).

Dan Allâh SWT memerintahkan agar mengikuti orang-orang yang tidak pernah meminta upah seperti mereka.

اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُم مُّهْتَدُونَ ﴿٢١﴾

Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk, (Yâsin, 36:21).

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلَّا مَنْ شَاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيْلًا ﴿٥٧﴾

Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (menghaRApkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya, (al-Furqân 25:57).

Dengan warisan ciri khas semacam ini mereka layak menyandang gelar khalifah (pengganti) Rasul yang sekaligus sebagai penegak hujjah Allâh, dan jumlah mereka tentu tidak hanya lima orang meskipun juga tidak banyak.

Sebagai hamba-hamba pilihan Tuhan, jumlah mereka memang sedikit sebagaimana ditegaskan oleh sayyidina Ali Ibn Thalib RA. ketika berkata kepada Kuhail ibn Ziyad, Demi Allâh SWT, sungguh bumi ini tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang menegakkan hujjah-hujjah Allâh SWT agar tanda-tanda kebesaran-Nya tidak hilang dan hujjah-Nya tidak terbantahkan. Mereka adalah orang-orang yang jumlahnya sangat sedikit, namun sangat agung dan terhormat di sisi Allâh SWT.

Baca juga:  Mengenal Al-Muhasiby, Sufi Produktif di Abad Ke-3

Bahwa al-Khulafa al-Rasyidin yang dimaksud oleh Nabi SAW lebih terkait dengan khalifah-khalifah spiritual daripada khalifah-khalifah di bidang politik dapat disimak pula dari kenyataan bahwa Umar bin al-Khattab RA. dan beberapa sahabat lainnya ternyata masih diperintahkan oleh Nabi SAW agar menemui dan meminta syafaat kepada Uwais al-Qarni RA., seorang laki-laki dalam Hadis riwayat Imam Muslim disebut sebagai Khayr al-Tabiin, orang terbaik di antara orang-orang yang hidup pada masa sahabat;

عن عمر رضي الله عنه، قَالَ: إنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُوْلُ: إنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: أُوَيْسٌ، وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ، فَمُرُوهُ، فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ، (رياض الصالحين، ج 1، ص: 240، تذكرة الأولياء، ص: 49)

Sesungguhnya tabiin terbaik adalah seseorang yang bernama Uwais; dia hanya punya seorang ibu dan juga punya penyakit kusta; maka mintalah kepadanya agar ia memohonkan ampunan kepada Allâh SWT untuk kalian, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 1, halaman: 240, TadzkiRAt al-Auliyâ’, halaman: 49).

Berkaitan dengan diri Uwais al-Qarni RA. inilah, dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abu Hurairah RA., disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ: إِنِّيْ لَأَجِدُ نَفَسَ الرَّحْمَنِ مِنْ قِبَلِ الْيَمَنِ

Aku mencium nafas tuhan yang Maha Rahman dari arah tanah Yaman, (Syaikh Ismail haqqi bin Musthofa al-Khalwati al-Barsawi, Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl. Libanon: Dar Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 18)

Nafas al-Rahman yang dimaksudkan dalam hadis tersebut adalah Uwais al-Qarni. Dia adalah wali Allâh SWT yang paling besar pada masanya; disembunyikan oleh Allâh SWT di tengah-tengah rakyat jelata sehingga orang-orang tidak mengetahuinya dan bahkan sering mengejeknya. Dia berasal dariku dan aku berasal darinya, kata Rasulullah SAW (al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab, juz 1, halaman:113).

Ungkapan Rasul ini menunjukan kepada hubungan spiritual antara Uwais al-Qarni RA. dan Nabi SAW meskipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.

Katalog Buku Alif.ID
Halaman: 1 2 3
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top