Sedang Membaca
Meninjau Ragam Kitab Tashrif di Nusantara
Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Meninjau Ragam Kitab Tashrif di Nusantara

Tengku Zulkarnain jadi bulan-bulanan warganet. Pasalnya dia keliru men-“tashrif” kata kafara yang merupakan bentuk kata kerja dari kata “kafir”. Kata terakhir memang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan setelah Musywarah Nasional Alim-Ulama atau Munas NU di Banjar yang memutuskan bahwa kata itu tidak tepat disematkan secara politis kepada warga negara non-Muslim dalam kerangka negara bangsa seperti Indonesia. Mereka cukup disebut warga negara.

Sebagian penghuni jagad maya mengatakan, Tengku Zulkarnain belum memiliki ilmu yang cukup untuk pantas mengomentari hasil musyawarah para ulama karena memahami perubahan kata “kafir” saja masih keliru. Sebagian mengusulkan agar Ustaz Zulkarnain mau mengaji kitab di bidang ilmu tashrif lagi. Sesuatu yang sebenarnya merupakan kajian dasar di pesantren.

Kitab yang ditawarkan netizen kepada Ustad Zulkarnain adalah kitab Al-Amtsilatut Tashrifiyah karya KH. M. Ma’shum bin Ali, menantu dari pendiri NU, Hadratussyekh K.H. Hasyim Asyari (Profil Kiai Ma’shum dan Karyanya). Kitab ini memang sangat terkenal dan digunakan luas di pesantren dan madrasah diniyah.

Saya juga mengaji kitab ini ketika mondok di Pesantren al-Itqan Bugen Semarang. Saya masih ingat bagaimana kami para santri harus melagukan “fa’ala-yaf’ulu-fa’lan…” setiap kali kelas di pondok akan dimulai.

Saya merenung dalam pikiran. Kitab ini ditulis belum lama. Memang di sampul kitab ini yang diterbitkan oleh “Penerbit Salim Nabhan Surabaya” tidak terdapat informasi tahun penerbitan. Namun terdapat kata pengantar dari KH. Saifuddin Zuhri yang menunjukkan tahun 1965.

Baca juga:  Menelusuri Penyusun Kitab Tahliyah: Ironi Pesantren

Selain itu, Kiai Ma’shum wafat pada 8 Januari 1933, ketika berusia 46 tahun. Jadi kitab ini mulai beredar paling awal pada permulaan abad ke-20 atau akhir abad ke-19. Maksimal baru sekira seratus tahun.

Pertanyaannya, untuk mengaji ilmu tashrif kitab apa yang digunakan di pesantren–yang sudah ada paling tidak sejak abad ke-16–sebelum kitab ini beredar?Salah satu jawabannya dapat ditemukan dari manuskrip pesantren berikut ini:

 

(foto: penulis)

Ini adalah salah satu manuskrip dari Pondok Pesantren Sumber Anyar, Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, Madura. Saya mendapatkannya dari Zainul Adzfar, dosen UIN Walisongo Semarang, yang melakukan digitalisasi manuskrip di pesantren tersebut pada 2011 yang lalu. Salah satu temuannya yang fenomenal adalah kitab Bahrul Lahut di bidang Tasawuf Ibnu Arabi.

Manuskrip ini ditulis di atas kertas daluwang. Di dalamnya terdapat teks berbahasa Arab yang diikuti terjemahan Pegon-Jawa di antara baris teks Arabnya. Di sekeliling teks utama dipenuhi dengan keterangan santri dari kiai-nya. Ini adalah kitab tashrif yang dikaji di pesantren sebelum kitab Al-Amtsilatut Tashrifiyah karya Kiai Ma’shum beredar.

Pada halaman kiri dari foto di atas Syekh al-Izzi berkata, “Ketahuilah bahwa tashrif secara bahasa adalah perubahan. Sedangkan secara istilah (ilmu bahasa Arab) adalah memindahkan satu bentuk dasar ke bentuk semisalnya yang beragam untuk memperoleh makna yang dituju”.

Kitab ini berjudul Tashriful ‘Izzi. Penulisnya adalah Syekh Abdul Wahab bin Ibrahim az-Zanjani al-Izzi. Beliau lahir di Zanjan, Iran, sebuah kota dekat perbatasan dengan Azerbaijan. Ayahnya adalah seorang ahli fikih Syafi’iyyah. Beliau wafat pada 655 H atau  1257-58 M (Syarh Tashriful Izzi: 2011).

Sejauh tahu saya, belum ada kajian mengenai peredaran kitab ini di Nusantara. Kapan dia mulai beredar? Bagaimana dia bisa masuk ke Nusantara? Atau sekadar apa perbedaannya dengan kitab tashrif karya Kiai Ma’shum bin Ali?

Baca juga:  Islam yang Dianut Quraish Shihab

Jika penelitian serius telah dilakukan terhadap manuskrip ini dan beberapa manuskrip lain yang akan saya sebutkan nanti, maka usia peredaran kitab ini di Nusantara dapat ditemukan. Selanjutnya, masuknya kitab ini ke Nusantara dapat memberi contoh tambahan pengaruh keislaman Persia di negeri kita.

Yang jelas seperti dibuktikan dengan manuskrip ini, kitab ini mulai dikaji di pesantren paling tidak tiga sampai empat abad yang lalu. Selain manuskrip dari Madura di atas, beberapa manuskrip berisi kitab Tashrif al-Izzi dapat ditemukan di koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Misalnya manuskrip berkode A 681-A 682 ini:

(foto: penulis)

Bedanya dengan manuskrip dari Madura di atas yang diberi terjemahan antarbaris dalam bahasa Jawa, manuskrip ini diberi terjemahan dalam bahasa Melayu. Di sini terbukti bahwa peredaran kitab ini tidak hanya di kebudayaan Jawa, namun juga di kebudayaan Melayu.

Bagi saya, kitab Tashrif al-Izzi ini lebih susah daripada kitab Al-Amtsilatut Tashrifiyah karya KH. M. Ma’shum bin Ali. Perubahan bentuk kata dalam kitab Tashrif al-Izzi disusun secara naratif. Dijelaskan melalui kata-kata yang membentuk kalimat. Ini tentu menyulitkan untuk dihafalkan. Berbeda dengan Al-Amtsilatut Tashrifiyah di mana perbuhan kata disusun pada table-tabel:

(foto: penulis)

Kembali ke situasi terkini, memang perlu seorang dai belajar ilmu tashrif. Paling tidak agar tidak keliru mana kata kerja transitif dan mana kata kerja intransitif. Hendaknya dia belajar melalui kitab Al-Amtsilatut Tashrifiyah karya KH. M. Ma’shum bin Ali saja. Kitab Tashrif al-Izzi ini terlalu susah bagi mereka yang memulai belajar.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top