Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Ekspresi Sufistik dalam Puisi Tradisional Jawa (4): Suluk Daqa-Adab dalam Sembah

Whatsapp Image 2020 07 07 At 11.24.36 Pm

Seorang masih ingat ketika duduk di sekolah dasar. Guru agama mengajari rupa tata-cara ibadah. Mendekat kepada Tuhan perlu tuntunan. Guru agama laksana suluh bagi penempuh jalan yang masih belia. Penuh canda-tawa anak belum terdidik, guru agama harus tabah. Sesekali marah tak mengapa, anak perlu diberi cegah.

Saat saya di sekolah dasar, Pak Rifa’i adalah guru agamaku. Menyebut namanya, ingatan melompat ke beragam situasi di mana kami pernah bersama. Di salah satu memori ada satu pelajaran akan ibadah paling penting dalam kehidupan Muslim. Pelajaran itu disebut “praktek salat”.

Di Masjid Darul Iman di samping sekolah, anak-anak di masa canda harus serius. Rupa-rupa bacaan salat harus dihafal. Mulai dari surat pembuka yang cukup mudah, hingga bacaan di saat tahiyat akhir yang selalu membuat kami tertawa. Terutama di bagian awal dari bacaan itu. pada bagian shalawatut, anak-anak sering membuat canda.

Untung saja bacaan Arab sudah dilatih. Pembedaan harus dibuat antara ta’ dan tho’, antara tsa’, sin, dan shad. Di sekolah ngaji sore bersama Bu Nyai Kasemik, saya sudah latihan membaca. Huruf- huruf yang seperti kapal, angka nol, dan ulat yang menggeliat itu ternyata punya suara. Penyambung pertama anak-anak dengan kalam Tuhan adalah proses mengaji di waktu senja.

Lebih dari gerakan, anak-anak penting pula mengetahui sujud dan rukuk. “Jangan sampai tertukar”, wekas Pak Rifa’i. Semua harus runtut dilakukan. Mulai dari takbirotul ihram, rukuk, sujud, duduk di antara dua sujud, hingga tahiyat akhir serta salam. Pertemuan dengan Tuhan ada tatacaranya. Anak- anak sekolah dasar harus tuntas dalam hal itu.

Praktek salat mengajarkan struktur dari kegiatan sehari-hari anak-anak bersama ayah dan ibunya, serta permainan bersama anak-anak lain di masjid atau musala. Ia mengajarkan bahwa gerakan mulut orang tua mereka bukanlah gerakan asal-asalan. Itu adalah gerakan untuk mengucap rupa-rupa bacaan dalam bahasa Arab. Gerakan rukuk dan sujud juga bukanlah gerakan olahraga. Itu adalah rupa sembah kepada Yang Maha Kuasa.

Baca juga:  Memahami Pemikiran Al-Ghazali (8): Ilmu Pengetahuan Menurut Imam Al-Ghazal (Part 2)

Praktek salat di masa itu adalah dasar. Sebuah fondasi untuk menjadi penyembah Tuhan yang baik. Beragam persiapan harus dilakukan. Mulai berwudlu, memakai peci, sarung, dan utamanya keseriusan. Beragam gerakan juga harus diikuti. Lebih-lebih lagi, meski sulit, rupa-rupa bacaan jangan sampai lupa.

Sembahyang bagi anak-anak adalah sebuah pelajaran dari guru. Kesepakatan antara guru, orang tua, dan masyarakat untuk laku rupa-rupa gerakan dan rapal aneka bacaan. Belum terbayangkan sebuah komunikasi batin dengan Tuhan.

***

Tumbuh dewasa membawa kesadaran bagi para penempuh jalan. Sembahyang bukan hanya bacaan dan gerakan. Kesadaran dan penghayatan adalah aspek penting lain dalam salat. Pertanyaan tentang bagi siapa sembah dilakukan, dan mengapa Dia disembah tidak muncul dari anak-anak. Kegelisahan yang dialami bagi remaja untuk menjadi dewasa. Pertemuan dengan beragam masalah sosial maupun personal membawa seorang perlu dekat kepada-Nya. Sebuah lingkaran proses yang berulang dalam kehidupan manusia.

Sebuah ingatan akan pelajaran sembahyang yang lebih matang mendorong santri untuk menuliskan tembang macapat. Suluk Daqa mengurai kembali dalam sebuah ekspresi puitik akan arti batin dari sembahyang yang diajarkan sebuah kitab berjudul Daqa (mungkin ad-Daqaiq wal Haqaiq). Suluk menjadi saksi akan usaha pembelajaran pada pemaknaan salat masyarakat yang sudah berlangsung sejak lama. Suluk dimacapatkan seperti lagu di masa kini dinyanyikan. Suluk adalah usaha mempopulerkan sebuah ajaran sufi. Dia seperti lagu-lagu religius yang tidak hanya muncul di bulan Ramadhan.

Penekanan suluk bukan pada penyanyi yang membawakan. Bukan pula pada penyair yang menuliskan. Namun pada sumber dari sebuah ajaran. Juga pada isi ajaran yang disampaikan. Penekanan khusus ada pada pemaknaan religius yang di masa kini mulai memudar. Di masa lalu, lagu sudah otomatis adalah religius dalam maknanya yang sangat luas.

Barangkali tembang-tembang yang amat populer di masa itu, seperti lagu-lagu Lord Didi di masa kini. Dinyanyikan oleh anak-anak hingga orang tua. Seperti setiap lagu the Godfather yang punya “fungsi” bagi mereka yang (pernah) patah hati, setiap tembang punya fungsi sendiri pula. Doa bagi kehamilan tujuh bulan, kelahiran, mulai berjalan, hingga perkawinan serta kematian.

Baca juga:  Mengenal Al-Muhasiby, Sufi Produktif di Abad Ke-3

lamun anembah amuji

“Pujiné katuring sapa

Yén katuring pengérané

Mapan ora warna rupa

Lamun ora katura

Tampa gawé sembahipun

Angur aja amujiya”

“Apabila engkau sembah dan puji

Pujian itu untuk siapa?

Apabila kepada Tuhan

Bukankah Dia tidak berbentuk tidak berupa

Apabila tidak ditujukan kepada-Nya

Tak bergunalah sembahyangnya

Biarkan saja tak perlu menyembah”

Bait pembuka bersaksi bahwa pujian kepada-Nya harus disadari tidak pernah sama seperti yang layak Dia terima. Puisi didasarkan pada sebuah ucapan yang diajarkan Nabi saw.

“Kami tidak membatasi pujian atas-Mu. Pujian bagi-Mu hanyalah sepadan seperti puji-Mu kepada Diri-Mu sendiri.”

Makna surah pujian (al-Fatihah) dijelaskan. Bahwa hamba tidak mampu memuji. Tidaklah pujian seorang kecuali dengan kesadaran akan keterbatasan. Pujian itu jauh dari hakikat-Nya. Pujian itu hanyalah adab kepada-Nya. Pujian itu adalah tanda lemah diri manusia.

Lamun ngaturaken puji

Maring Allah sumantana

Mapan dudu papadané

Mapan Allah kang amurba

Kang misésa ing sira

Den weruh kawitanipun

Apabila mengungkapkan puji

Kepada Allah semata

Pujian itu masih bukan yang semestinya

Allah lah Dzat Yang Mencipta

Dan Dzat Yang Menjaga Kamu

Diketahui oleh-Nya awal segala sesuatu”

Lebih dari sekedar bacaan, al-Fatihah adalah ketundukan. Sebuah pengakuan akan Pencipta dan kemahakuasaan-Nya. Ketundukan dilekatkan pada diri yang sedang memuji. Manusia adalah ciptaan. Penghayatan akan Pencipta itu yang diajarkan Suluk Daqa. Terlebih dalam sembah seseorang. Makrifah akan sifat-sifat-Nya.

“Pundi ingkang aran puji

Tegesé puji punika

Pannugrahan sajatiné

Kang tumiba ing kawula

Tegesé kanugrahan

Iya urip tegesipun”

“Mana yang disebut Puji

Maksud dari puji adalah anugerah yang sejati.

Yang diturunkan kepada hamba Itulah arti anugerah

Itulah kehidupan artinya”

Lebih lanjut penyair yang menggubah Suluk Daqa memberikan makna positif akan kehidupan. Dia adalah anugerah yang diberikan Tuhan. Bukan hukuman karena kesalahan. Bukan hukuman karena memakan buah yang dilarang. Turun ke bumi dan memiliki kehidupan adalah hembusan semilir nafas dari kasih dan sayang-Nya (nafasurrahman) ketika Tuhan mengucapkan “kun”. Dan sembahyang manusia adalah proses untuk kembali mengingat prosesi azali tersebut.

Baca juga:  Bisyr dan Kisah Mistik di Balik Kaki Telanjangnya

Sembahyang semacam ini memang perlu latihan. Seorang perlu berlatih untuk mengingat Tuhan dalam sembahyang. Jika tidak, mungkin sembah seorang masih seperti anak-anak. Hanya memperhatikan bacaan tanpa makna. Hanya mengawasi gerak tubuh tanpa jiwa.

“Angél jenenging sholat

Manawa kaliru

Dén dalih atinggal pisan

Ambasané atinggal sholat sejati

Wajibé kang linakonan

Lamun tinggal sholat pan kafir

Ora esah mayoté dinusan

Wong mati bangka hukumé

Lawan tumulihipun

Ora kena atinggal bakti

Ing kang atinggal sholat

Mapan jangjinipun

Lan malihé ora esah anumbeléh

Lan angruksak kalimah kaléh

Wongkang atinggal asholat” 

Sulit melaksanakan salat paripurna

Apabila salah

Tertuduh tinggal salat

Kemudian sungguh-sungguh tinggal salat sejati

Salat wajib yang dilakukan

Tinggal salat menyebabkan kafir

Tidak sah mayatnya dimandikan

Mati sebagai bangkai

Juga ketika bepergian

Tidak boleh seorang meninggalkan ketaatan

Pada meninggalkan salat

Meskipun karena janji

Dan tidak sah pula melakukan penyembelihan

Dan telah merusak dua kalimat syahadat

Orang yang meninggalkan salat”

Sembahyang dan panduannya telah dilakukan di masa lalu hingga sekarang. Memori-memori yang berasal dari masa di mana tembang masih populer dilantunkan. Seorang merasakan panduan untuk menyembah dengan penuh keseriusan. Hingga masa di mana panduan salat diberikan lebih runtut dalam sebuah narasi panjang, seperti dalam kitab karya Kiai Sholeh Darat dan Kiai Asnawi Kudus. Di Jawa ajaran turun-temurun ini membentuk tradisi fasalatan, yaitu kitab tata cara sembah. Tradisi pemaknaan sembahyang menunjukkan masyarakat ini tidak main-main dalam berislam. Sejak dahulu.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top