Sedang Membaca
Menziarahi Ibn Kammuna, Filsuf Yahudi yang Menggetarkan Dunia Islam
Munawir Aziz
Penulis Kolom

Kolumnis dan Peneliti, meriset kajian Tionghoa Nusantara dan Antisemitisme di Asia Tenggara. Kini sedang belajar bahasa Ibrani untuk studi lanjutan. Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom.

Menziarahi Ibn Kammuna, Filsuf Yahudi yang Menggetarkan Dunia Islam

Khazanah intelektual abad pertengahan menyimpan pengetahuan gigantik dalam tradisi lintas agama: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dialog pengetahuan, perdebatan sekaligus saling meminjam gagasan di antara ketiga agama ini, menjadi pola peradaban intelektual abad pertengahan yang dapat kita nikmati pada masa kini.

Peradaban Andalusia, Persia dan beberapa kawasan di pinggiran Eropa hingga kawasan Barat Afrika, mewariskan gelombang pengetahuan yang saripatinya belum habis kita gali hingga masa kini.

Meski tradisi pesantren dan muslim Indonesia familiar dengan beberapa intelektual dan filsuf muslim abad pertengahan, tidak semuanya mengenal filsuf-filsuf Yahudi yang mewarnai gerak zaman pada masa itu. Dialog pengetahuan antara sufi-filsuf muslim dengan intelektual Yahudi, memberikan petuah istimewa pada masa kini: perdamaian dan pengetahuan.

Di tengah konflik antaragama, luapan energi kebencian dan fluktuasi hubungan antara Yahudi-Nasrani, dan Islam, upaya meniti jalan dialog di antara ketiga agama menjadi penting. Publik muslim perlu belajar dari khazanah pengetahuan Yahudi dan Nasrani, begitu pula sebaliknya, dialog serta upaya saling menyerap pengetahuan menjadi relevan.

Jagat intelektual Yahudi masih mengagungkan nama Ibn Kammuna. Di antara intelektual-filsuf Yahudi yang warisan gagasannya masih berdenyar hingga kini, Ibn Kammuna memberi sumbangsih besar bagi peradaban Islam.

Ibn Kammuna menjadi seorang filsuf Yahudi yang mewariskan karya penting dalam syarah atas pemikiran Ibn Sina dan Suhrawardi.

Terlahir dengan nama Sa’d ibn Mansur Ibn Kammuna, pada 1215 di Baghdad. Ibn Kammuna lahir dari keluarga penganut Yahudi, namun perjalanan hidupnya membawa kisah unik betapa dirinya mendalami teologi lintas agama: Yahudi, Nasrani dan Islam. Bahkan, Ibn Kammuna dianggap menyampaikan ulasan mendalam tentang teologi Islam serta teori kenabian.

Baca juga:  Kalijaga: Wulung yang Agung

Sikap hidupnya, kesalehan tradisionalnya, serta penghayatan terhadap nilai-nilai sufi menjadikan Ibn Kammuna sering dianggap sebagai sosok muslim daripada Yahudi.

Ibn Kammuna berinteraksi dengan filsuf-sufi muslim, dengan korespondensi berdialog tentang hal-hal subtansial dalam teologi. Di antaranya, dengan Nasiruddin al-Tusi. Dengan al-Tusi, Ibn Kammuna berdiskusi panjang lebar tentang teologi serta memperdebatkan tentang kenabian. Dari diskusi-diskusi ini, terlihat Ibn Kammuna terpengaruh nilai-nilai sufisme, yang kemudian menjadi praktik hidupnya. Beberapa tahun sebelum wafatnya, Ibn Kammuna meninggalkan Baghdad, menetap di kota kecil bernama Hilla.

Persentuhannya dengan sufisme, menjadikan Ibn Kammuna berpandangan luas, tidak hanya terbatas pada teologi Yahudi semata, namun juga menembus nilai-nilai teologis Islam. Ada juga sebagian peneliti yang menganggap Ibn Kammuna konversi ke Islam, memeluk ajaran Nabi Muhammad.

Meski, dalam hal perpindahannya menjadi muslim diperdebatkan di kalangan peneliti Barat, khususnya bagaimana ia secara produktif dan mendalam menulis tentang teologi Islam, serta intensitasnya berdialog dengan kaum sufi.

Sejarawan Moritz Steinschneider (1816-1907) meyakini Ibn Kammuna memeluk Islam pada masa akhir hayatnya. Sedangkan, pendapat ini ditolak oleh sebagian peneliti kajian Yahudi-Arab, di antaranya Reza Pourjavady dan Sabine Schmidtke. Dalam risetnya tentang Yahudi di Baghdad, Sabine Schmidtke meragukan pendapat bahwa Ibn Kammuna memeluk Islam.

Baca juga:  Zainab Istri Rasul yang Dermawan Hingga Akhir Hayat

Menurut Ibn Kammuna, hanya ada satu teori kenabian yang diterima oleh umat Yahudi, Nasrani dan Muslim, yang berkolerasi dengan standar teori-teori filsafat. Ibn Kammuna mengkonstruksi gagasan tentang pandangan atas nilai-nilai Yahudi, dengan mengkombinasi ide-ide Moses ibn Maimoen dan Judah Halevi.

Dalam karya klasiknya, Tanqih, Ibn Kammuna mengulas tentang teori kenabian dalam sudut pandang Yahudi, Nasrani dan Islam.

Ia juga mengambil referensi dari kisah-kisah Buddha, yang terinspirasi dari ketertarikannya tentang peradaban Mongol yang membuatnya penarasan untuk menelaah lebih jauh. Rezim Mongol yang berkuasa ketika Ibn Kammuna beranjak dewasa, membuatnya penasaran untuk meneliti lebih jauh tentang agama Budha dan seluk beluk religiusitasnya.

Karya-karya Ibn Kammuna dieksplorasi oleh dua peneliti pada dekade pertama abad 20, yakni Hellmut Ritter (1892-1971) dan Agha Buzurg al-Tihrani (1876-1970). Sarjana lain yang meneliti tentang Ibn Kammuna pada tahapan selanjutnya adalah David Hartwig Baneth (1893-1973), yang meneliti serta mempublikasi sebuah karya pada tahun 1925.

Baneth meriset karya-karya orisinil tentang Rabbinites dan Karaites, seraya menunjukkan bukti bahwa Ibn Kammuna bertempat tinggal dan berkarya di Baghdad, bukan di Mesir sebagaimana pendapat Moritz Steinscheneider (Pourjavady & Schmidtke, 2006: 3).

Di antara karya penting Ibn Kammuna adalah sebuah komentar (syarh) atas al-Talwihat karya Yahya ibn Habash Suhrawardi (1154-1191). Ibn Kammuna menggali gagasan serta mengomentari paradigma pemikiran Suhrawardi, seraya menyandarkan pada madzhab filsafat Aristotelian.

Karyanya berjudul al-Jadid fil Hikmah, merupakan teks komprehensif yang membahas secara detail tentang dinamika ilmu pengetahuan dan filsafat pada abad 13.

Ibn Kammuna juga bereksperiment dalam gaya penulisan yang berbeda-beda, khususnya dalam pembahasan tentang logika, fisika dan metafisika. Di antara karya ini: al-Jadid, Talkhis, dan Risalah al-Hikmah.

Ibn Kammuna juga menulis komentar yang mendalam atas karya Fakhruddin al-Razi, kitab al-Ma’alim. Dalam komentarnya, Ibn Kammuna mendukung gagasan al-Razi ketika menyerang pemikiran Najmuddin al-Katibi al-Qazwini. Namun, pada spektrum yang lain, Ibn Kammuna juga mengkritik gagasan al-Razi, khususnya terkait dengan teori-teori kenabian.

Baca juga:  Bencana Sesungguhnya: Budaya Saling Menyalahkan

Dalam karya dianggap sui generis dalam kajian literatur abad pertengahan, yakni Tanqih al-abhath fi akhbar al-milal al-thalath, Ibn Kammuna mengkaji tentang teori-teori kenabian. Pada karya ini, Ibn Kammuna menggali diskursus yang bersumber dari gagasan-gagasan filsuf lintas agama: Moshes ibn Maimoen, Judah Halevi, al-Ghazali dan Fakhruddin al-Razi.

Ibn Kammuna juga membahas tentang teori-teori kenabian dari agama Yahudi, Nasrani hingga Islam.

Warisan pengetahuan dan kitab-kitab karya Ibn Kammuna memberi sumbangsih penting pada tradisi intelektual pada masa kini. Tidak hanya pada traktat intelektual Yahudi, namun juga pada fondasi pemikiran filsafat Islam dan pengetahuan Kristen Eropa.

Betapa pentingnya kita membangun jalan dialog antaragama, dengan meniti dialog pengetahuan masa lalu, terutama kekayaan khazanah intelektual abad pertengahan. Begitukah? (atk)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top