Sedang Membaca
Dialog Pengetahuan Islam-Yahudi: Ibn Rusyd dan Moses bin Maimon
Munawir Aziz
Penulis Kolom

Kolumnis dan Peneliti, meriset kajian Tionghoa Nusantara dan Antisemitisme di Asia Tenggara. Kini sedang belajar bahasa Ibrani untuk studi lanjutan. Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom.

Dialog Pengetahuan Islam-Yahudi: Ibn Rusyd dan Moses bin Maimon

Tradisi penjelajahan ilmu dalam kultur pesantren Nusantara, di antaranya menggali sumber-sumber keilmuan klasik yang menjadi rujukan basis keilmuan. Santri-santri pesantren mengenal bermacam muallif dari penjuru dunia, yang mengabarkan kemegahan peradaban intelektual Islam. Dalam perjalanan panjang menelusuri keagungan peradaban intelektual ini, kita mengenal peradaban Islam Andalusia pada abad pertengahan, sebagai gudang keilmuan yang seakan mewariskan khazanah keilmuan yang demikian kaya.

Nama-nama besar dalam tradisi pengetahuan Andalusia, hingga kini masih menggema sebagai rujukan intelektualitas. Karya-karya Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Hazm, serta intelektual-intelektual besar dari komunitas Yahudi dan Nasrani, mewarnai pergumulan peradaban, silang sejarah pengetahuan dalam tradisi keemasan Andalusia.

Di antara catatan-catatan gemilang itu, kita mengenal saling silang pengetahuan antara filsuf sekaligus intelektual besar dari tradisi Muslim dan Yahudi: Ibnu Rusyd dan Moses bin Maimon. Ibn Rusyd, yang dalam tradisi pemikiran Barat dikenal sebagai Averroes, lahir di Cordoba, Andalusia pada 14 April 1126. Sedangkan, Moses bin Maimon, dikenal sebagai Maimonides, lahir di Cordoba pada 1135.

Keduanya hidup pada zaman yang sama, di bawah payung dinasti al-Muwahidun yang menguasai Andalusia. Keduanya juga pernah menetap di Maroko di bawah kuasa Abu Ya’qub (1163-1184), dan penerusnya, Ya’qub al-Mansur (1184-1199). Kedua intelektual ini, memiliki kesamaan dalam saling silang pendapat, sekaligus berdampak penting dalam tradisi pengetahuan abad-abad setelahnya.

Moses bin Maimon mengakui pentingnya warisan keilmuan dari beberapa filsuf muslim pada abad sebelumnya, yakni al-Farabi (879-950) dan Ibnu Sina/Avicena (980-1037). Ia juga mengakui kerja intelektual dari Ibnu Rusyd, yang meringkas warisan pengetahuan peradaban intelektual Islam dalam kurun 4 abad sebelumnya, dalam karya-karya intelektual yang diserap oleh komunitas muslim dan Yahudi pada abad pertengahan.

Baca juga:  Pesantren dan Wajah Islam Kultural di Nusantara

Mohammed Arkoun, dalam esai ‘Two Mediators of Medieval Thought’ menyebut bahwa Ibnu Rusyd dan Moses bin Maimon sebagai mediator pengetahuan dalam panorama peradaban Islam dan Yahudi pada abad pertengahan. Apa sebabnya? Arkoun mengungkap, bahwa kedua filsuf besar itu, yakni Ibnu Rusyd dan Moses ibn Maimon merupakan filsuf yang merekonsiliasi rasionalitas filsafat dengan nilai-nilai agama. Selain itu, kedua filsuf itu memberi sumbangsih besar dengan mengkreasi bahasa meta-teologi yang memungkinkan dialog antara nilai-nilai tiga agama samawi (Yahudi, Nasrani, Islam).

Meski, dalam kritik Arkoun, beberapa intelektual Yahudi dan Nasrani pada masa sekarang enggan untuk mengakui sumbangsih peradaban Islam pada masa keemasan Andalusia, meski bukti-bukti ‘hutang budi’ intelektual dan budaya ini sangat besar. Misalnya, betapa Moses bin Maimon menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab, yang menjadi bahasa antar komunitas di kawasan Andalusia dan Maroko pada masa keemasan abad pertengahan.

Dalam horizon peradaban pada masa keemasan Andalusia, betapa saling silang pengetahuan dari tradisi Yahudi, Nasrani dan Islam menjadi dialog peradaban yang sungguh nikmat ditelaah. Kita bisa menjelajahi kemegahan pengetahuan ini, dengan segenap unsurnya yang membentang dari filsafat hingga sufisme, yang terwariskan pada masa kini. Karya-karya para pemikir pada abad pertengahan, terutama Moses ibn Maimon dari tradisi Yahudi, bin Rusyd dari Islam, hingga St Thomas Aquinas (1225-1274) yang menjadi filsuf penting yang berangkat tradisi Katolik.

Baca juga:  Merti Dusun, Metode Orang Jawa Berwudu dari Dosa

Dalam karya-karya Ibnu Rusyd, dapat kita jelajahi betapa kesugguhan usaha untuk mengajak komunitas muslim mendalami nilai-nilai rasionalitas, dengan tetap berpegang pada fondasi Islam. Kita perlu meletakkan perdebatan Ibnu Rusyd, dengan al-Ghazali pada konteks ini: bagaimana keduanya justru membangun ruang dialog sekaligus arena perdebatan dengan basis ilmu yang sama-sama kokoh. Keduanya mengajak umat muslim dan komunitas pengetahuan di luar Islam untuk mencerap sebanyak-banyaknya pengetahuan.

Menurut Arkoun, sumbangsih besar Ibn Rusyd dalam bentang karya intelektualnya, yakni mengajak pembaca untuk melihat kembali secara lebih jernih dengan basis intelektual segala problem yang lahir dari perdebatan antara nilai-nilai dari wahyu Alquran dan rasionalitas. Hal inilah yang luput dari pembacaan terhadap Ibnu Rusyd, yang hanya dibaca dari sudut pandang rasionalitas. Padahal, dalam anggapan Arkoun, Ibnu Rusyd sungguhlah seorang filsuf yang tidak bisa lepas kenyataan dirinya seorang muslim.

Mohammed Arkoun menyontohkan kesalahpahaman dalam membaca Ibn Rusyd, di antaranya yang diyakini oleh Ernest Renan (1823-1892), seorang intelektual dan filsuf dari Prancis, yang mendistorsi Ibnu Rusyd hanya dalam konteks pemikiran atas komentarnya terhadap Aristoteles. Distorsi inilah yang menjadikan pembacaan atas denyut nadi pengetahuan dan warisan intelektual dari Ibnu Rusyd tidak sepenuhnya terserap dalam konteks peradaban pengetahuan Islam.

Sementara, Moses bin Maimon dan selanjutnya St. Thomas Aquinas mengadopsi skema intelektual yang diwariskan Ibnu Rusyd. Jelas bahwa, kerja intelktual Ibnu Rusyd sebagai filsuf muslim membawa pengaruh luas dalam panorama pengetahuan Yahudi dan Katolik, yang dikonstruksi oleh Moses bin Maimon dan St. Thomas Aquinas. Pengaruh ini, tampak pada bagaimana Moses ibn Maimon dan Thomas Aquinas menggunakan pendekatan filsafat dan metodologi rasionalitas yang mirip dengan apa yang telah dikerjakan Ibnu Rusyd.

Baca juga:  Anti-semitisme di Indonesia, Mengapa Meningkat? (Bagian 1)

Di antara keberhasilan Ibnu Rusyd dan Moses bin Maimon, yang membuat keduanya mirip dalam penjelajahan pengetahuan, yakni bagaimana keduanya secara seimbang mengintegrasikan pengetahuan rasional dengan hukum-hukum agama. Dalam konteks ini, Syariah dalam spektrum intelektual Ibnu Rusyd dan Taurah serta tradisi rabbi Yahudi, bagi Moses bin Maimon.

Di antara karya bin Maimon yang monumental yakni Mishne Torah (Tafsir Taurat), yang merupakan sebuah karya sistematis antara hukum oral, Mishna dan Talmud. Selain itu, karya pentingnya berjudul Dalalat al-Hairin (Moreh ha Nevukim/the Guide of Perplexed), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani oleh Samuel ibn Tibbon pada 1204 M, juga berdampak panjang dalam tradisi intelektual Yahudi, bahkan hingga masa kini.

Beberapa professor dan peneliti yang menganalisa karya-karya Moses bin Maimon juga berlanjut hingga kini, yang membentangkan studinya di beberapa kampus bergengsi. Di antaranya: Joel L Kraemer, Moshe Halbertal, Micah Goodman, George Y Kohler, Joseph A Buijs, Martin Fox hingga Carlos Fraenkel.

Menjelajahi tradisi intelektual Andalusia pada abad pertengahan, merupakan sebentuk ikhtiar untuk menggali akar peradaban Islam kita, akar pengetahuan pesantren kita. Dalam penjelajahan itu, kita menemukan warisan khazanah pengetahuan yang demikian kaya. Dari Ibn Rusyd dan Moses bin Maimon, kita mengenal persinggungan sekaligus dialog peradaban Islam dan Yahudi, yang berpengaruh hingga kini[]. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top