Sedang Membaca
Dakwah dan Pers-delicht: Kisah Haji Abdul Mu’thi dari Muhammadiyah Kudus
Mu'arif
Penulis Kolom

Pengkaji sejarah Muhammadiyah, kini menempuh program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dakwah dan Pers-delicht: Kisah Haji Abdul Mu’thi dari Muhammadiyah Kudus

  • Abdul Mu'thi punya pikiran dan sikap yang sangat tegas menentang kolonialisme. Materi ceramah dan tulisan-tulisannya sangat profokatif membela kemerdekaan bangsanya.

”Dia seorang yang keras sikapnya terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pidatonya sering mendapat teguran dari pihak kepolisian…. Suatu ketika, surat selebarannya dianggap menghina pemerintah dan mengganggu ketentraman. Dia dituntut di hadapan pengadilan…” (Djarnawi Hadikusuma, 1977: 34).

Siapa yang dituntut di hadapan pengadilan karena menyebarkan brosur yang dianggap mengancam stabilitas keamanan sebagaimana diungkapkan Djarnawi Hadikusuma?

Namanya Haji Abdul Mu’thi. Dia bukan ulama terkenal. Posisinya “hanya” ketua cabang Muhammadiyah Kudus. Dia harus berurusan dengan aparat keamanan ketika hendak menyampaikan dakwahnya. Bukan hanya berdakwah di atas mimbar, tetapi ia juga memanfaatkan media cetak dalam bentuk brosur yang disebarkan lewat forum-forum pengajian.  

Abdul Mu’thi

Abdul Mu’thi lahir pada tahun 1889 di Jombang, Jawa Timur, dari keluarga yang taat beragama. Sekalipun dari keluarga muslim yang taat, tampaknya kedua orang tuanya memiliki visi modernis, selain berasal dari kelas sosial priayi. Terbukti, Abdul Mu’thi mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah menengah Belanda.

Selesai mengenyam pendidikan sekuler, ia lalu memperdalam ilmu agama di beberapa pesantren di Jawa Timur, termasuk di pondok Tremas. Pada tahun 1914, dia memutuskan untuk belajar ke Mesir, bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia I.

Nama Abdul Mu’thi memang tidak begitu dikenal dalam sejarah perintisan dan perkembangan Muhammadiyah. Motif yang melatarbelakangi Abdul Mu’thi bergabung dengan Muhammadiyah pun belum banyak diungkap. Tapi namanya mulai diperhitungkan ketika ia menjabat sebagai ketua cabang Muhammadiyah Kudus pada tahun 1923.

Baca juga:  Sadio Mane Membuktikan Bahwa Dakwah Bukan Hanya Jadi Imam Masjid

Mu’thi punya pikiran dan sikap yang sangat tegas menentang kolonialisme. Materi ceramah dan tulisan-tulisannya sangat profokatif membela kemerdekaan bangsanya. Pemerintah kolonial geram dan menerapkan standar pengawasan yang ketat terhadap seluruh aktivitas dakwah Abdul Mu’thi di Kudus dan Madiun.

Salah satu brosur dakwahnya sampai di tangan polisi kolonial dan menjadi bukti atas tuduhan penghinaan terhadap pemerintah dan dinilai mengganggu keamanan serta ketertiban masyarakat. Pasal yang dituduhkan adalah pers-delicht. Maka ia pun ditangkap oleh polisi kolonial.

Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah di Yogyakarta merespon dengan serius kasus yang menimpa Abdul Mu’thi. KH Ibrahim mengutus Haji Fachrodin untuk melakukan pendampingan kasus hingga tuntas. Haji Fachrodin berhasil menyelesaikan kasus ini dengan catatan Abdul Mu’thi harus keluar dari daerah Kudus. HB Muhammadiyah Yogyakarta kemudian mengambil alih kepengurusan cabang Muhammadiyah Kudus.

Atas usul Haji Fachrodin, Abdul Mu’thi diminta tinggal menetap di Yogyakarta. Tetapi sebagian pengurus HB Muhammadiyah keberatan menerima kedatangannya.

Namun, Haji Fachrodin berhasil meyakinkan HB Muhammadiyah Yogyakarta agar mubalig yang telah berjuang ini diterima dengan baik.

Perjuangan

Perjuangan Abdul Mu’thi terus berlanjut memasuki masa pendudukan Jepang. Pada zaman pendudukan Jepang, Abdul Mu’thi terlibat aktif di Masyumi (belum menjadi partai). Ia menjabat sebagai ketua Masyumi di Jakarta.

Baca juga:  Hijrahnya Malcolm X

Menjelang kemerdekaan, dia turut aktif menggerakkan kaum muda lewat laskar-laskar yang dibentuk di bawah koordinasi kepengurusan Masyumi untuk merebut kemerdekaan.

Memasuki zaman kemerdekaan, pada masa Orde Lama, Abdul Mu’thi pernah mendapat tugas dari Wakil Presiden, Mohammad Hatta, untuk mendapatkan obligasi nasional dana pemerintah dan perjuangan.

Semangat juang Abdul Mu’thi tidak hanya menempuh jalur dakwah semata. Ia juga terlibat aktif dalam kemiliteran. Tercatat Abdul Mu’thi pernah masuk dinas militer dan menjadi tentara dengan pangkat Mayor Jenderal. Dia mendapat jabatan sebagai Kepala Kantor Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) di MBAD Yogyakarta.

Namun, sejarah revolusi Indonesia memang tidak selamanya mulus. Revolusi sering memakan anaknya sendiri. Seperti pada kasus Abdul Mu’thi ini, pada masa Orde Lama, ia pernah dipenjara karena diduga terlibat dalam kasus PRRI bersama M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, dan lain-lain.  

Perintis dan penggerak Muhammadiyah Kudus ini di akhir hayatnya mengkhidmatkan diri dalam persyarikatan. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-38 tahun 1971 di Ujung Pandang terpilih empat tokoh yang duduk dalam penasehat struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah: A.R. Sutan Mansur, R.H. Hadjid, Abdul Mu’thi, dan Prof. Dr. Hamka.

Abdul Mu’thi meninggal dunia pada hari Senin tanggal 20 September 1976 di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta dalam usia 78 tahun karena sakit.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top