Sedang Membaca
Modernisasi Singkong Keju
Moh Naufal Zabidi
Penulis Kolom

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Modernisasi Singkong Keju

Fgtp2i1akael6kv

“Manusia selalu merancang suatu perangkat norma berdasarkan cipta, rasa dan karsa.” Kata Selo Soemardjan. Demikian seorang sosiolog dan tokoh pendidikan itu mengagungkan makna budaya. Baginya, budaya menjadi instrumen yang melekat pada diri masyarakat. Budaya tak menghilang karena waktu, melainkan beranak pinak menghasilkan budaya baru.

Budaya hari ini merupakan hasil kebiasaan yang mencair sekaligus menyatu. Dari sini, Aziz Ahmad mencoba mengulik potret kebudayaan masa kini yang dihasilkan dari perpaduan budaya masa lalu. Di samping itu, Aziz memetakan kebudayaan Islam—terkhusus di desa dan di kota–yang berubah, bahkan tidak lagi dibedakan antara keduanya, lantaran mereka melakukan kebiasaan dan nilai yang sama.

Klasifikasi desa-kota yang dibentuk berdasarkan perbedaan konsekuensi geo-kultural menghilang. Masyarakat modern bisa menikmati kebiasaan tanpa adanya sekat geografis, dibuktikan dengan ciri khas kota yang ditemukan di wilayah desa, layaknya lagu singkong keju yang dulunya menjadi simbol pemisah antara orang kaya dan orang miskin. Kini singkong keju bisa ditemui di pelbagai sudut permukiman desa.

Apalagi saat ini Android telah memanunggalkan kota dan desa. Pengalaman-pengalaman teknologis orang-orang kota bisa dialami oleh orang di desa. Pun sebaliknya, anak-anak muda muslim perkotaan yang begitu bergairah dalam berislam, seperti kalangan Gerakan Tarbiyah, PKS, HTI, dan semacamnya sebagaimana diceritakan Aziz, adalah mereka yang merindukan suasana Islam dalam seluruh laku hidup manusia persis seperti orang-orang di desa.

Baca juga:  Persaingan NU dengan PKI

Meskipun beberapa budaya ini tercampur, Aziz mendedah ciri khas desa yang sifatnya terjaga bahkan permanen. Adapun kebiasaan seperti bercocok tanam, praktik agama, sampai kedermawanan orang desa, menjadi suatu alasan bahwa ciri khas desa tak tergerus sama sekali, melainkan sekatnya saja. Berbeda halnya dengan kota yang selalu rawan melintasi arus perubahan kebudayaan.

Lahirnya dai baru, kajian hijrah, serta narasi digital keislaman adalah bukti mencairnya kebudayaan ini pada pola baru dalam khazanah isu keagamaan, terkhusus di media online. Inilah disrupsi. Sebagaimana perusahaan-perusahaan besar berguguran digeser oleh kehadiran start-up. Seperti jaringan perusahaan Matahari, Hero, dan Gardena yang digeser oleh Lazada, Buka Lapak, dan Tokopedia. (Hal-151)

Dapat dikatakan beberapa dai baru yang viral tidak memiliki latar pendidikan keislaman yang memadai, namun munculnya dai seperti Sugi Nur mampu mencuri hati umat. Oleh sebab itu, para pemimpin agama terutama dari organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah pun dibuat gerah olehnya. Sebab otoritas untuk menyampaikan pesan-pesan Islam dalam konteks keindonesiaan kini dirongrong, digerogoti, dan secara perlahan diambil alih oleh para dai baru ini.

Itulah mengapa, perlu pendidikan kita diajarkan Islam dengan penjabaran ilmu sosial-budaya, sehingga Islam lebih terasa kontekstual, bukannya dogmatis-ideologis. Sudah saatnya pula para ulama turun gunung, hadir menyapa umat di media online sebagaimana dilakukan Gus Ulil dan inisiatif jamaah Gus Baha’ belakangan ini.

Baca juga:  Berfilsafat dengan Cara Sederhana

Aziz ingin berbagi keakraban dengan kita: “Pengetahuan, ide tentang kemajuan, dan gagasan kemodernan yang berada dalam isi kepala saya, tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menilai tradisi, kebiasaan, dan budaya yang hidup di masyarakat.” Tradisi-budaya adalah pengetahuan terbaik yang harus dipelajari seraya menempatkan diri sebagai murid yang ingin tahu, bukan sebagai guru apalagi hakim yang menilai dan menghakimi.

 

Judul Buku: Islam Desa dan Islam Kota

Penulis: Aziz Ahmad

Penerbit: Ircisod

Cetakan: 2022

Tebal: 200 halaman

ISBN: 978-623-5348-36-0

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top