Sedang Membaca
Ibnu Hazm: Ulama Kaya, Tangguh, dan Temperamental
Kholili Kholil
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan, Jawa Timur.

Ibnu Hazm: Ulama Kaya, Tangguh, dan Temperamental

Siang itu adalah siang yang cerah di Hacienda Montija Hotel di Kota Huelva, sebuah kota di selatan Spanyol yang tak terlalu sepi namun juga tak cukup pantas disebut ramai. Para pelayan sibuk melayani tamu-tamu hotel.

Riuh itu tak sebanding dengan kondisi tempat itu seribu tahun yang lalu, di mana seorang tua renta yang kenyang akan berbagai macam fase kehidupan menghabiskan masa senjanya di kawasan perkebunan yang dia warisi dari moyangnya itu. Ya, di tanah yang kini dibangun hotel itu, entah di mana persisnya, terbaring seorang sarjana multidisiplin ilmu. Lelaki itu bernama asli Ali, dengan nama populer Ibnu Hazm.

Matahari bersinar terang ketika Ibnu Hazm, pria tua berjanggut itu, menengok jendela ke arah perkebunan subur yang luas. Di tempat itu ia menghabiskan masa tuanya mengajar para murid yang nekat menimba ilmunya. Bagaimana tidak nekat, sedang guru yang penuh ilmu itu adalah orang yang dimusuhi seluruh ulama Andalus. Dia adalah pria teguh (untuk tidak mengatakan tempramental) yang kadang memancing “emosi intelektual” lain.

Pria tua itu, Ibnu Hazm, menerawang masa lalu sambil mencuci mata dengan memandang dedaunan rindang di kebun subur yang agak cerah menyingsing namun juga tak panas. Ia ingat betul masa itu, masa di mana ia lahir di istana besar dan hidup bermewahan. Ayahnya adalah politikus elit. Istana ayahnya saja berdampingan dengan istana Al-Hajib Al-Manshur, seorang pengendali de facto Kerajaan Umayyah yang berdiri lagi di Spanyol.

“Aku hidup di antara pembantu-pembantu wanita,” pria tua itu menulis dalam buku romantisnya berjudul Thauq al-Hamamah (Kalung Merpati, sebuah buku yang sangat kontras dengan sifat tempramennya). “Mereka mengajariku Alquran, membacakan syair-syair, serta melatih baca tulis.”

Ia ingat betul bahwa ia belum bergaul dengan pria hingga ia menapak usia remaja. Namun demikian, gelimang harta itu tidak membuat ia lalai. Di tengah para pelayan istana wanita itu ia sanggup menghafalkan Alquran di usia yang bahkan bocah lain masih segan memegang kucing. Dan saat remaja lain duduk di pasar menanti wanita pujaannya lewat, Ibn Hazm muda sudah berangkat ke kuliah yang diampu Abu Husain Al-Farisi. Buaian dunia tak pernah menyentuhnya meski terus mengepungnya.

Baca juga:  Mengenang Prof Merle Ricklefs: Membaca Kesimpulan "Islamisation and Its Opponents"

Pria penuh ilmu itu adalah pria yang sangat tempramental. Ia tidak segan mengatakan ulama besar semacam Imam asy-Syafi’i, Imam Malik, dan ulama besar lain dengan sebutan “bodoh”, “ceroboh”, atau sebutan tak pantas lain.

Namun semua itu dia lakukan demi memegang teguh apa yang dia anggap benar. Ulama sejawatnya tentu sangat berang dengan hal ini. Maka sebagaimana mereka menyerangnya dengan keras, dia juga menyerang mereka dengan keras.

Namun Ibnu Hazm tetap menjadi dirinya sebagaimana adanya. Kemewahan dunia tidak membutakannya. Dia menghapal puluhan ribu hadis dan mulai menulis fikih Mazhab Zhahiri dengan sentuhan khasnya sendiri. Dalam fikih dia dikenal karena penolakannya akan qiyas. Meski demikian, dia adalah ahli logika yang sangat mumpuni. Dia bahkan menulis beberapa koreksi atas logika Aristoteles dalam kitab logikanya: at-Taqrib.

Ibnu Hazm masih duduk di perkebunan itu mengingat masa lalunya. Dia masih ingat betul bagaimana sejak kecil dia dipaksa berhijrah dari satu kota ke kota yang lain. Dia masih ingat betul ketika ayahnya meninggal di tengah pemberontakan yang membara.

Dia masih ingat betul ketika dirinya di penjara karena dituduh makar. Kondisi-kondisi ini membuat dia melakukan safari. Sebagai keluarga kaya yang memiliki banyak rumah, tentu kondisi ini tidak menyulitkannya. Valencia, Xàtiva (Syathiba), Almeria bahkan Kairouan di Tunisia harus ia jelajahi.

Baca juga:  Sawala Kehadiran Cadar di Masyarakat: Polemik di UIN Antasari

Dan di tengah-tengah rihlahnya ia tidak henti mendakwahkan pandangan-pandangannya. Dia tak segan berdiskusi dengan ilmuwan setempat. Tapi begitulah, dia tak sanggup menyembunyikan watak tempramentalnya.

Pria tua yang sedang duduk di perkebunan itu bukanlah pria sembarangan. Pria itu adalah sarjana Islam pertama yang ahli dalam semua bidang ilmu baik naqli maupun aqli. Kajian modern bahkan banyak meneliti tentang kontribusinya dalam bidang sains yang tidak sedikit. Barangkali ketajaman nalar itulah yang membuat Ibnu Arabi, guru para sufi, memilih Zhahiriyah sebagai mazhab beliau.

Dalam permenungannya di perkebunan Huelva itu, dia mengingat kejadian sekitar sepuluh tahun yang lalu: saat itu para intelektual di Andalusia iri dengannya. Mereka menghasud raja Al-Mu’tadhid agar melakukan pembakaran kitab-kitab Ibnu Hazm. Al-Mu’tadhid terpengaruh. Dan jadilah kitab pria tua itu dibakar. Hatinya sama sekali tidak pilu; dibakar atau dikaji orang seluruh dunia pun ia tidak pernah peduli.

فإن تحرقوا القرطاس لا تحرقوا الذي # تضمنه القرطاس وهو في صدري

Silahkan bakar kertas itu! Tapi ingat, kalian tidak akan bisa membakar kandungannya. Ia masih tetap di dadaku.

Dengan adanya kejadian itu Ibnu Hazm justru semakin produktif mengarang buku. Nalarnya yang luar biasa tidak akan bisa diketahui kecuali oleh orang yang mau membuka kitabnya. Kitabnya tersebar hampir ke seluruh tema yang umum dibicarakan masa itu. Yang bisa menandinginya barangkali hanya Ibn Jarir Al-Thabari. Namun kalau mau membandingkan, Ibn Hazm lebih diunggulkan karena dia memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang perbandingan agama, khilaf mazhab fikih kuno, ushul fiqh, serta genealogi (ilmul ansab).

Di akhir hayatnya, setelah melanglang buana, ia pergi ke perkebunan milik keluarganya. Di sana dia membuat gubuk sederhana untuk melanjutkan tugas akhirnya sebagai ulama: mengajar sambil mengamalkan ilmunya dengan berpuasa sunah dan salat malam.

***

Baca juga:  Gus Dur Meminta Tokoh Muhammadiyah Jadi Imam Tarawih

Kini di perkebunan rindang peninggalan moyangnya yang konglomerat itu dia bersimpuh. Dengan ilmu yang sedemikian luas, harta berlimpah yang pernah dia punya, popularitas yang tak pernah ia harapkan, ia tak memiliki tujuan lagi kecuali mencari rida ilahi. Empat hari lagi Ramadan, tapi badannya sudah sedemikian lemas. Bahkan untuk mengajar murid-murid yang menunggu di depan gubuknya saja dia tak sanggup. Badannya sudah tak nyaman sejak beberapa hari yang lalu. Ia mencoba berbaring. Namun sayang, ia tak pernah bangun lagi. Pria berjuluk Panah Dari Barat (manjaniq al-gharbi) itu sudah meninggal. (Tulisan ini disarikan dari Ibnu Hazm: Hayatuhu wa Ara’uhu milik Syaikh Abu Zahroh serta beberapa karya Ibnu Hazm sendiri)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top