Sedang Membaca
Meneladani Sifat Tawadhu’ dari Jari Kelingking
Hosiyanto Ilyas
Penulis Kolom

Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Miftahul Ulum Bangkalan. Pernah menimba ilmu di Ponpes Attaroqqi Karongan Sampang. Pegiat Bahtsul Masail LBM NU.

Meneladani Sifat Tawadhu’ dari Jari Kelingking

jari kelingking

Tawadhu’ lahir dari proses kejujuran, keikhlasan, dan keistiqamahan dalam beribadah kepada Allah SWT. Dan orang yang mempunyai sifat tawadhu’ deraratnya akan diangkat oleh Allah SWT.

Dalam sebuah hadis disebutkan:

مَن تواضعَ للهِ رفعَهُ الله

Artinya: “Barangsiapa yang bertawadhu (rendah hati) karena Allah, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)

Sifat tawadhu’ (rendah hati) adalah salah satu sifat yang terpuji. Tawadhu’ atau rendah hati, tidak untuk menjatuhkan harga diri, akan tetapi, merendahkan diri dalam hal pangkat di sisi manusia, dengan tujuan mengharapkan panggkat di sisi Allah SWT. Hal ini tergambar dalam pernyataan seorang sahabat Nabi, yaitu, Ibnu Mas’ud. Beliau menyatakan:

إن من التواضع الرضا بالدون من شرف المجالس

Artinya: “Sesungguhnya sebagian dari tawadlu (rendah hati) ialah rela berada ditempat yang rendah atau hina dari tempat-tempat perkumpulan yang mulia.”

Dalam kitab Al-Bajuri (Juz, 1 Hlm. 171) Syekh Ibrahim Al-Bajuri mengisahkan tentang terpujinya sifat tawadhu’ dikisahkan bahwasannya ketika Nabi Adam AS, oleh Allah SWT, diberi cincin, untuk dipakai disalah satu jarinya, sekita itu, jari-jemari Nabi Adam AS, berebutan untuk bisa memakai cincin tersebut. Terjadilah perdebatan yang sengit dan adu gagasan diantara mereka.

Ibu jari menyatakan, “Cincin itu saya yang lebih berhak memakainya, karena saya jari tunggal” Alasan Ibu jari karena ia lebih besar dan terpisah dari jari yang lainnya. Si telunjuk tidak tinggal diam ia tidak mau kalah dari si Ibu jari, ia menyatakan, “Tentu saya yang lebih hak karena saya dipakai untuk membaca tasybih”

Baca juga:  Mi’raj  dan  Kecerdasan   Profetik

Si telunjuk merasa bangga diri, karena ia dipakai membaca tasybih, sehingga ia digelari ‘AlMusabbahah’ dan telunjuk juga dipakai untuk memberi petunjuk sehingga ia juga digelari ‘AsSyahid’ dan juga ia digunakan untuk mencaci maki sehingga digelari ‘As-Sabbahah‘.

Jari tengah tidak mau kalah juga, ia menyatakan, “Saya yang lebih berhak memakai cincin itu, karena saya lebih panjang dari pada kalian semua” Jari manis juga tidak mau kalah untuk berebut cincin itu, ia menyatakan, “Saya yang lebih berhak dari kalian semua, karena saya adalah titik puncak dari kalian semua.”

Jari kelingking tidak ikut andil untuk berebut cincin itu, ia diam saja, ia merasa putus asa, dan lebih parahnya lagi ia merasa sakit karena terasingkan, ia sadar diri bahwa ia lebih kecil dari pada jari yang lainnya.

Karena merasa rendah dan terhina, ahirnya si jari kelingkinglah yang mendapat cincin itu, Allah memerintahkan kepada Nabi Adam AS, untuk memakai cincin itu di kelingkingnya. Allah mengangkat derajat kelingking karena ketawaduannya, dan si jari kelingking memandang pada dirinya tidak mempunyai hak dan merasa tidak pantas untuk memakai cincin pemberian Allah itu.

Kisah di atas, dapat kita petik hikmahnya, dan kita harus belajar dari si jari kelingking yang mempunyai sifat ridha’ dan tawadhu’. Karena sifat tawadhu’nya si jari kelingking oleh Allah SWT, diangkat derajatnya dan mendapatkan hadiah berupa cincin yang menjadi rebutan diantara jari-jari tangan lainnya.

Baca juga:  Dokter Beragama Nasrani Masuk Islam di Tangan Syekh As-Syibli

Wallahu A’lam Bissawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top