Hendra Sugiantoro
Penulis Kolom

Juru tulis, pemustaka, pengkliping koran, periset buku lawas, dan penikmat tokoh.

Resensi Buku: Geliat Teh dalam Sejarah

Cover Buku

“Oh, teh! Oh daun-daun yang dipetik dari ranting yang sakral! Oh pokok, hadiah yang diberikan oleh dewa-dewa ajaib! Daerah manakah yang melahirkanmu?”(Pierre Daniel Huet, 1630-1721).

Tak semata cendekiawan Perancis itu yang memuja teh. Ralph Waldo Emerson (1803-1882) pun berucap, “Ada sungguh banyak puisi dan perasaan indah dalam sebuah kotak teh.” Berabad silam, Lu Tung, penyair Tiongkok abad ke-8, meninggalkan kata mutiara, “Aku tak peduli tentang keabadian, hanya dengan rasa teh.”

Teh populer di kalangan masyarakat. Teh lebih kerap dijadikan “senjata” tuan rumah di hadapan para tamu. Menyuguhkan teh dinilai lebih praktis. Dalam setiap hajatan dan di setiap rumah, minuman teh selalu tersedia. Siapa orang tak pernah meneguk teh?

Menelusuri jejak masa silam, teh dibawa Belanda ke negeri ini pada tahun 1700-an. Perkebunan teh terus-menerus dikembangkan sampai akhirnya telantar akibat Perang Dunia II. Dengan dibentuknya Dewan Teh Indonesia, teh digalakkan lagi pada tahun 1980-an.

Namun, mungkin saja orang Indonesia sudah menikmati teh bersama Laksamana Cheng Ho. Antusiasme penjelajahan maritim masa Dinasti Ming ketika itu menakdirkannya singgah di Sumatera dan Jawa. Teh dibawa kemanapun kapalnya berlayar (hlm. 97). Asumsi ini sekiranya tak salah, sebab asal mula teh dari negeri Tiongkok.

Dalam buku ini, Laura C. Martin jeli menelusuri sejarah yang tak dimungkiri bercampur mitos dan legenda. Konon, pada 3000 sebelum Masehi, Shen Nung, salah satu pemimpin Tiga Maharaja, merebus air di bawah pohon teh. Selembar daun jatuh ke teko berisi air panasnya. Shen Nung merasa damai dan tenang ketika meminumnya.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (25): Kitabul Luma’, Hujjah Teologis Imam Abul Hasan Al-Asy’ari

Selain itu, ada catatan klasik soal Bodhidharma yang bertekad bermeditasi 9 tahun tanpa tidur. Namun, setelah 5 tahun, matanya tak tertahan, lantas mengunyah daun dari semak di dekatnya. Ajaibnya, daun dari semak teh itu menyegarkan, menenangkan, dan membuat Bodhidharma selalu terjaga (hlm. 31-32).

Kisah Bodhidharma menciptakan tradisi unik di kalangan para biksu. Teh—bukan kopi—untuk tetap menjaga mata tak redup. Teh dijadikan alat bantu meditasi para biksu di Tiongkok dan Jepang. Gyoki (658-749) bahkan membangun 49 kuil di Jepang dan menanam semak-semak teh di setiap kuil yang dibangunnya (hlm. 54-55).

Menurut Martin, referensi tentang teh pada abad ke-3 setelah Masehi lebih dapat dipercaya. Dalam daftar pustaka buku ini, ia mencantumkan buku The Classic of Tea karya Lu Yu terbitan mutakhir tahun 1974. Ini tanda kesuntukan riset Martin. Judul aslinya adalah Cha’a Ching. Pekerjaan merawat teks yang sungguh menakjubkan, sebab buku itu pertama kali ditulis pada tahun 780.

Buku karya Lu Yu terdiri dari tiga volume dengan sepuluh bagian. Lu Yu bukan penemu teh, tetapi dikenal sebagai “presiden teh”, “bapak teh”, “dewa teh”, dan “tetua teh”. Dengan bukunya yang masih terbit itu, maka tak heran Lu Yu disebut “ahli teh yang hidup selamanya”.

Di Tiongkok, teh pada mulanya dinikmati raja, anggota kerajaan, prajurit, para biksu, dan keluarga berstatus tinggi. Begitu pula ketika memasuki Eropa. Orang Eropa pertama yang menyaksikan keajaiban teh adalah Jasper de Cruz, seorang penginjil yang turut dalam kapal Portugis yang berlabuh di Tiongkok pada tahun 1557 (hlm. 99).

Baca juga:  Membumikan Cerita Sufistik

Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1618, Kaisar Tiongkok pernah menghadiahi teh ke Tsar Alexis. Teh lantas digandrungi kalangan bangsawan dan kelas atas Moskow. Namun demikian, kalangan elite Rusia telat merasakan keajaiban teh. Pasalnya, Belanda pernah melabuhkan teh secara besar-besaran pada tahun 1606 di Amsterdam.

Inggris lebih telat lagi, karena teh memasuki London pada tahun 1657. Di negeri kerajaan itu, teh kian populer ketika Charles II of England dan Catherine of Graganza—keduanya penyuka teh—menikah pada tahun 1662. Teh populer di Eropa karena andil kelas menengah ke atas.

Bagaimana dengan orang Amerika? Teh dibawa ke New Amsterdam (kini New York) oleh Peter Stuyvesant, gubernur Belanda di koloni Amerika, pada tahun 1674. Perlahan tapi pasti, teh kian tenar juga di Amerika. Bahkan, popularitas teh menjadi amat penting sebagai simbol Revolusi Amerika. George Washington ditengarai sebagai penggemar teh. Dan, tidak boleh lupa, tak sedikit miliarder pertama Amerika kaya raya karena perniagaan teh (hlm. 176-178)..

Di zaman lampau, begitu banyak orang berinteraksi dengan teh seperti bercinta dengan kekasih. Teh pun menciptakan bait-bait puisi. Penulis drama Colley Cibber (1671-1757) bersenandung, “Teh! Anda cairan yang lembut, tenang, bijaksana, dan terhormat. Anda membuat wanita bercerita, melembutkan senyuman, membuka hati, mengundang kedipan ramah.” Samuel Johnson (1709-1784) berujar, “dengan teh menyenangkan sore hari, dengan teh menghibur malam hari, dengan teh menyambut pagi hari (hlm. 106).

Baca juga:  5 Karya Habib Umar yang Menarik untuk Kita Baca

Usia teh setua peradaban. Teh pernah memantik perang dan konflik global, bahkan kelaparan dan kemiskinan. Pada abad ke-18, Kaisar Tiongkok memaksa petani menanam teh, bukan padi untuk makanan. Obsesi Inggris terhadap teh pada abad ke-19 berdampak mematikan. Ketika menyadari menukar teh dengan opium lebih memikat ketimbang membeli teh dengan perak, Inggris yang berkuasa di India memaksa petani lokal menanam opium. Di Tiongkok, pencandu opium melesat.

Lewat buku ini, Martin hanya menegaskan, selain teh, belum ada minuman lain yang menyentuh dan mengubah dunia sebegitu rupa. Kini teh bukan lagi produk utama perniagaan, bukan penanda status sosial, bukan pula simbol revolusi dan patriotisme. Namun, semua orang masih menyukai teh. Dalam 20 tahun terakhir, produksi teh secara global meningkat. Pada tahun 2015, menurut data internasional, produksi teh mencapai 5.305 metrik ton.

Bagi kita, teh mungkin sekadar pengusir dahaga. Teh semoga menyentuh jiwa kita sehingga banyak perasaan indah tercipta. “Minum teh Anda dengan pelan dan hormat, seakan teh tersebut adalah sumbu tempat dunia berputar—dengan pelan, tanpa terburu-buru menuju masa depan.”(Thich Nhat Hanh, biksu Budha). Nah!

Judul Buku      : Sejarah Teh

Penulis            : Laura C. Martin

Penerbit           : Elex Media Komputindo

Cetakan           : I, 2020

Tebal               : 226 hlm

ISBN                : 978-623-00-1320-1

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top