Sedang Membaca
Ka’bah sebagai Kiblat Pemersatu Umat
Fikri Mahzumi
Penulis Kolom

Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Ka’bah sebagai Kiblat Pemersatu Umat

Izuddin Helmi Adnan Jfirqekvo3u Unsplash (1)

Menurut defenisi ulama kiblat  (qiblah) adalah arah menghadap ketika salat dan sujud. Secara istilah kiblat dimaknai arah dimana musholi menghadap ketika melaksankan salat di rumah, tempat ibadah atau di tempat lain baik terbuka maupun tertutup. Adapun kiblat bagi orang Islam ketika salat adalah ka’bah yang berda di dalam Masjid al-Haram, Mekah sebagimana nash al-Quran yang menyebutkan:

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

Dalam sejarah, salat pernah dilakukan Nabi dengan mengambil dua kiblat, yakni arah Bayt al-Maqdis dan Masjid al-Haram. Hal menariknya, perubahan itu dilakukan pada satu waktu salat. Hal ini terjadi perkiraan bulan Rajab atau Sya’ban, dalam tafsir al-Thabari diceritakan, “ketika beliau melaksanakan salat di Madinah, setelah dua rakaat menghadap arah Bayt al-Maqdis, kemudian beliau merubah arah dengan menghadap ke Ka’bah”. Riwayat lain menyebutkan, “ketika itu Nabi pergi mengunjungi Ibunya Basyr bin al-Bara’ bin Ma’ruz dari bani Salamah, maka Nabi dijamu makan olehnya. Dan ketika datang waktu salat dhuhur, Nabi-pun salat bersama para sahabatnya, setelah dua rakaat kemudian Nabi diperintahkan untuk menghadap ke arah Ka’bah, berputarlah Nabi seketika itu ke arah Ka’bah. Tempat itu kemudian didirikan masjid dan dikenal dengan sebutan masjid bani Salamah atau masjid Qiblatayn (dua kiblat). Peristiwa itu terjadi pada hari senin pertengahan bulan Rajab.” (Ibnu Sa’ad, Thobaqat: 1/241)

Baca juga:  Ulil, Somad dan Jiran Kita

Menurut beberapa sumber riwayat ulama’ ada perbedaan terkait waktu Nabi megambil Bayt al-Maqdis sebagai kiblat, sebagian mengatakan dimulai sejak sebelum hijrah ke Madinah, sejak salat lima waktu diperintahkan, yakni ketika isra dan mikraj sampai di hijrah ke Medinah dan turunlah ayat perintah untuk berkiblat ke Ka’bah. Riwayat ini disandarkan kepada Ibnu ‘Abbas. (‘Uyun al-Athar: 1/233, al-Raudh al-Anfas: 1/274). Tetapi sebagian besar ulama’ lebih bersependapat apa yang dinukil at-Thabari dalam tafsirnya dari riwayat Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa salat pada waktu awal dilakukan menghadap Ka’bah, kemudian dialihkan menghadapa Bayt al-Maqdis, maka kaum Anshor melaksankan salat dengan menjadikan Bayt al-Maqdis sebagai kiblat sebelum tiga kali kedatangan mereka untuk menunaikan haji. Kemudian Allah mengalihkan kiblat kembali lagi ke Ka’bah. (Tafsir Thabari: 2/2)

Terlepas dari perbedaan terkait sejarah kiblat salat dalam Islam, bahwa Ka’bah sebagai kiblat salat umat muslim memiliki dimensi intrinsik yang perlu diketahui. Salah satu pembeda karakteristik ibadah salat dalam Islam dari bentuk-bentuk ritual di agama lain adalah perlunya penyeimbangan aspek lahir dan batin dalam stiap pribadi muslim, fokus tujuannya digambarkan sebagai kiblat yang merupakan tempat suci. Ini menjadi nilai intrinsik yang dipahami terkait Ka’bah sebagai kiblat salat oleh kalangan sufi. Ka’bah dipercayai sebagai pusat energi spiritual di dunia bagi sufi. Jika dilihat dari atas, ka’bah kita akan disuguhi pandangan spektakuler dimana para jama’ah atau muthowwif (orang yang berthowaf) melingkar dalam bentuk simetris. Keajaiban ka’bah banyak dikupas oleh banyak penelitian, fakta-fakta tersebut yang dapat ditemukan di banyak literatur dapat disajikan beberapa di antaranya:

Baca juga:  Penegakan Hukum dalam Konteks Pluralisme Hukum

Pertama, ka’bah menjadi tempat peribadatan pertama yang berda di muka bumi. al-Qur’an menegaskan dalam surat Ali Imran: 96-97:

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

 Kedua, ka’bah dalam sejarah pernah akan dihancurkan oleh Abraham dengan pasukan gajah, tetapi digagalkan oleh Allah dengan mengirimkan burung Ababil. Peristiwa ini diabadikan dalam al-Qur’an pada surat al-Fil.

Ketiga, penelitian membuktikan bahwa sekitar ka’bah merupakan zero magnetism area, kompas tidak akan berfungsi apabila digunakan.

Keempat, ka’bah sebagai simbol penunjuk arah, bentuknya yang berbentuk kubus/segi empat dengan sisi yang menghadap ke berbagai jurusan berpangkal pada satu titik pusat, umat Islam ketika melaksanakan ibadah diharuskan menghadap ke titik tersebut yaitu Ka’bah, disebut juga kiblat. Ke enam buah sisi Ka’bah menghadap ke segala arah, artinya Allah menghadap ke berbagai arah dan dapat disimpulkan bahwa Dia menguasai segala sesuatunya, untuk itu bagi makhluk Nya yang meminta hendaknya menghadap ke arahNya.

Baca juga:  Demokrasi dan Kebangsaan ala Gus Dur dan Franz Magnis

Kelima,   ka’bah merupakan simbol monotheisme dan universalitas Allah, Ka’bah adalah bangunan konstan, tetap dan tidak berubah bagaikan sebuah batu yang berada di sungai dikelilingi air sungai yang mengalir, juga seperti matahari yang merupakan pusat dari sistem tata surya ini, dimana seluruh alam semesta berotasi mengelilinginya. (RM)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top