Sedang Membaca
Pincangnya Nasionalisme Milenial: Memilih Gaya Artis Korea yang Berpakaian Gamis Arab

Santri Al-Kandiyas Yogyakarta. Alumnus UIN Sunan Kalijaga Jurusan Sosiologi Agama. Founder Gesselscaft.ID

Pincangnya Nasionalisme Milenial: Memilih Gaya Artis Korea yang Berpakaian Gamis Arab

Drakor

Para milenial sekarang berbondong-bondong menyukai film serial Korea (Drakor). Mereka rela menghabiskan waktu dan uang hanya sekadar mengikuti setiap episode-nya. Hanya bermodal gadget masing-masing, mereka bebas menonton setiap hari. Efek samping setelah menonton film Korea itu beraneka ragam, ada yang kemudian meniru para artisnya, mulai dari bentuk rambutnya, fashionnya, gaya hidupnya, hingga aksesoris di rumahnya dipenuhi dengan wajah sang idola.

Disisi lain, para milenial yang muslim ada juga yang mengikuti beragam majelis pengajian. Gaya mereka pun beraneka ragam. Mulai dari memakai kostum sebagaimana yang dipakai pendakwahnya, bergamis tebal, balutan surban yang khas, dan sebagainya. Begitu juga yang perempuan. Mulai dari jenis hijab yang menawan hingga yang serba tertutup (bercadar).

Dua fenomena yang terjadi di tengah masyarakat sebagaimana kasus di atas, dibenak penulis lalu muncul pertanyaan terkait nasionalisme. Apakah dengan berpakaian Korea dianggap tidak nasionalis? Pun demikian, para milenial dengan menggunakan pakaian berbau syar’i, apakah mereka juga sama? Dianggap tidak nasionalis. Untuk itu, harus ada indikator yang tepat untuk menjawab dua fenomena tersebut.

Istilah nasionalisme dan nasional secara etimologis berasal dari kata lain nation (kata benda nation berasal dari kata nasci yang berarti dilahirkan) artinya, “bangsa yang dipersatukan karena kelahiran”. Soekarno sebagai intelektual Indonesia yang aktif sejak muda dan sebagai pendiri partai nasional memiliki konsep nasionalisme. Dalam karya yang terkenal “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” Soekarno mengutip pendapat Ernest Renan:

“…suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan ‘bangsa’ itu…Bangsa adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu.”.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa nasionalisme Soekarno adalah suatu terdiri dari rasa ingin bersatu, persatuan perangai dan nasib, serta persatuan antara orang dan tempat.

Baca juga:  Gerak, Gerakan, dan Pergerakan

Konsep padangan tentang nasionalisme menurut KH. Said Aqil Sirodj, Ketua PBNU Periode 2010-2020. Untuk menjaga eksistensi sekaligus memelihara kesinambungan peradaban Indonesia, agama dan nasionalisme tidak boleh dipisahkan karena faktor kunci yang sangat vital.

Apabila pemahaman bahwa agama dan nasionalisme merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan sudah mengakar dalam suatu bangsa maka tidak ada akan perang kekerasan atas nama apapun. Hubungan agama dan nilai-nilai kebangsaan merupakan pondasi untuk menghadapi tantangan bangsa seperti kebodohan, keterbelakangan serta ancaman bangsa.

Dua pendapat itu, saya ingin meringkasnya. Untuk meramu yang tepat dalam menjelaskan definisi nasionalisme. Pertama, nasionalisme berupa ikatan kebangsaan untuk menjadi satu bangsa. Kedua, nasionalisme, paham untuk menciptakan kedaulatan negara dengan mewujudkan satu identitas bersama dalam merawat suatu negara. Ketiga, agama dan bangsa mempunyai hubungan keterkaitan, agama menjadi pilar penguat kebangsaan. Dalam agama ada tatanan nilai yang mengatur kebangsaan. Jika ini dapat dijalankan, saya kira akan terjadi harmonisasi.

Kembali, pertanyaan di atas. Apakah fenomena di atas bisa dikatakan pincangnya nasionalisme anak-anak milenial?

Pertama-pertama, kita harus mengatakan semuanya peristiwa di atas merupakan gejala merosotnya ikatan nasionalisme. Dengan mengadopsi budaya yang tak sesuai dengan budaya kita, ada sebenarnya indikasi penurunan kesadaran paham kebangsaan. Penggerusan ini diambil, ketika lebih banyak memuja budaya Korea pop (K-Pop) hingga melupakan budaya kita sendiri.

Baca juga:  Nadlan: Ilmu Para Maling

Saya sendiri berangkat bahwa asumsi kecintaan terhadap negara bukan hanya teoritis tapi tindakan. Dahulu memang, konsep nasionalisme memang terkait imperialisme dan kolonialisme. Upaya ini gencar dilakukan untuk mendorong kesadaran nasional untuk mencintai Indonesia.

Indikator jelas, mempertahankan Indonesia sesuai jati diri bangsa agar bangsa kita tidak tergerus oleh kebudayan lain.

Lalu, apakah sama dengan budaya arab yang melanda kalangan milenial sekarang ini?

Saya kira, nasionalisme merupakan identitas suatu bangsa. Identitas itu diwujudkan dengan tata nilai, adat istiadat yang sesuai dengan bangsa Indonesia. Itu sebabnya, jika menonjolkan kebudayaan yang kita pegang, bagaimana nasibnya Indonesia kedepan. Jika harus bersifat adil dalam memahami fenomena yang menggerus jati diri bangsa kita. Kita tidak tebang pilih untuk segala fenomena saat ini.

Ini yang perlu kita edukasi bersama. Soal kebangsaan menjadi penting. Telaah tentang kebangsaan perlu ditingkatkan, agar masyarakat milenial menjadi paham dan sadar. Upaya yang harus segera dilakukan untuk menjawab persoalan ini bersama. Bacaan nasionalisme harus terus digali, jangan hanya berhenti pada konsep Ernest Renan, Soekarno, hingga KH. Said Aqil Sirodj yang muktahir.

Persoalan nasionalisme 45-an dengan 2020-an merupakan berbeda. Jika dahulu, kita mengangkat senjata untuk mengusir penjajah dari tanah air, sekarang kita menghadapi beragam budaya-budaya dari luar harus kita tangani dengan baik.

Baca juga:  Pilpres 2024: Akankah Politisasi Agama “Islam” Terulang Kembali?

Cara-cara menghadapinya, pun dengan pendekatan yang humanis dalam meningkatkan nasionalisme bangsa kita. Menjaga ketertiban masyarakat dengan mematuhi aturan yang berlaku, mematuhi dan menaati hukum negara, bersedia mempertahankan dan memajukan negara, melestarikan budaya Indonesia, menggunakan produk dalam negeri, menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan bangsa dan ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

Hemat saya, itu jawaban supaya nasionalisme kita tidak pincang di tengah jalan, tapi terus membumi di bumi pertiwi yang kita cintai. Mudah diucapkan namun sulit dilakukan bukan?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Saya sangat setuju atas artikelnya yang di paparkn sblmnya, namun ada sedikit masalah dalam melihat konteks dukungan akan kebudayaan sendiri, yang saya maksud adalaha dimana pemerintah pun masih kurang dalam memperhatikan tentang kebudayaan daerah terutama pada bahasa, apalagi kalau urusan pakaian apa dengan menggunakan pakaian adat ini menandakan pada faktor utama kecintaan pada bangsa?

Komentari

Scroll To Top