Sufisme, Islam, dan Kesenian

Whatsapp Image 2020 02 14 At 1.34.41 Pm

Mungkin dari sini kita memulai berbicara perihal kesenian, seperti musik atau yang lain dalam dunia Islam yang kita cintai. Betapa saat ini semuanya sudah semakin kabur dan dikaburkan oleh literatur digital yang semakin tak jelas juntrungnya. Informasi dengan munculnya media sosial yang semakin membuat data kian silang sengkarut sekaligus mengacaukan semuanya.

Musik telah menjadi isu penting dalam pemikiran Islam semenjak permulaan Islam itu sendiri. Nabi menyebut beberapa hal yang terkait dengan musik dalam percakapannya dengan orang lain, dan tak lama kemudian kontroversi muncul mengenai peranan musik dalam agama. Sebelum kita menganalisa lebih terperinci mengenai kontroversi ini, mari kita lihat teori-teori dasar musik yang muncul dalam filsafat Islam.

Apakah musik itu halal, makruh, atau haram? Hal ini bergantung pada pendapat mana yang dianggap lebih kuat. Sulit untuk diserukan larangan mutlak atas musik karena ada hadis sahih yang menyebut bahwa Nabi bertanya kepada A’isyah apakah seorang wanita yang telah menikah dengan lelaki kaum Anshor telah memiliki acara hiburan karena orang-orang Anshor gemar hiburan.

Ibn ‘Abbas juga meriwayatkan bahwa ketika A’isyah menyerahkan salah seorang kerabat perempuannya untuk dinikahi oleh seorang lelaki Anshor, Nabi bertanya apakah ada penyanyi, dan ketika Nabi mendengar bahwa penyanyi belum disiapkan, Nabi menyarankan agar hal itu harus segera dilakukan dan bahkan mengutip lagu yang terkenal pada saat itu. Ketika Abu Bakr hendak tidak mempedulikan dua anak perempuan yang sedang bernyanyi dan bermain rebana, Nabi menegurnya karena waktu itu adalah hari Lebaran. Persetujuan terhadap musik yang jelas gamblang ini tidak diikuti oleh mazhab-mazhab besar.

Baca juga:  Sufi dan Seni (7): Jalaluddin Rumi dan Ekstase Cinta

Dalam tradisi sufi, musik umumnya sangat dihormati. Sama’ secara harfiah berarti “mendengarkan” (menyimak) dan dalam tradisi sufi sama’  mengacu pada pendengaran dengan hati, semacam meditasi. Ini adalah merupakan pemusatan perhatian pada melodi agar mendapatkan apa esensi dari kekuatan melodi itu dalam rasa. Di dunia Islam, ada proses panjang tentang tradisi sama’  walaupun ada juga tradisi panjang yang menentang segala bentuk musik dengan berbagai tingkatannya.

Bagi kaum sufi, hanya bisa efektif jika diposisikan pada tempat yang tepat, waktu yang tepat, dan orang-orang yang tepat pula. Waktu yang tepat adalah ketika hati pendengar terbuka dan siap mengapresiasi apa yang mereka dengar sehingga musik bisa ditampilkan setiap waktu. Tempat yang tepat tidak harus tempat yang khusus, tetapi tempat yang memungkinkan seseorang bisa menempatkan dirinya dalam bingkai pikiran yang tepat. Akhirnya, orang-orang yang tepat adalah sangat penting, ketika seseorang perlu ditemani oleh orang-orang yang telah mencapai taraf spiritual yang sama tingginya.

Beberapa orang berpendapat bahwa kondisi seperti ini tidak bersifat mutlak, sebab sama’  sangat membantu siapa pun, betapa pun mereka belum begitu canggih dan siap. Not-not dan gerakan tarian dan musik sufi diciptakan oleh mereka untuk menyerupai dasar realitas dan untuk menyembah Tuhan dengan menggunakan tubuh dengan cara-cara yang berbeda dari gerakan sholat.

Semata-mata menikmati musik dalam diri kaum sufi tidaklah memiliki nilai; musik hanya menjadi kegiatan yang berharga jika ia mempunyai tujuan yang tersembunyi. Keadaan spiritual (hal) yang dihasilkan oleh musik adalah kesadaran estetik yang lahir dari kedalaman metafisis, sedangkan nada-nada mewakili keselarasan ilahiah.

Baca juga:  KH Luqman Hakim: Hajat Manusia Tak Terhitung, Tapi Selalu Allah Cukupi

Syihab Al-Din Al-Suhrawardi membolehkan tarian jika dilakukan untuk motif yang benar karena inna al-a’ mal bi al-niyyat (tindakan itu bergantung pada niatnya). Al Ghazali juga berpendapat bahwa semata-mata karena sebuah tindakan menyerupai tindakan maksiat, orang tidak harus mencelahnya jika tindakan itu dilakukan dengan cara yang benar.

Dalam Al-Qur’an, tidak ada celaan terhadap lahw atau bathil, yang melenakan dan yang sia-sia, asalkan perbuatan itu untuk hiburan ringan yang tidak melenakan kita dari hal yang lebih penting daripada itu. Di sisi lain, perbuatan yang termasuk lahw al-hadist, yang disebut dalam surah Luqman ayat 6 sebagai perbuatan yang sama dengan “omong kosong” sulit untuk dibenarkan. Dari sudut pandang fiqih, kita harus membedakan antara dua kategori yang disebut bathil atau netral (mubah).

Kategori yang dapat ditolak adalah ketika orang menjadi begitu terpesona dengan apa yang seharusnya bukan menjadi tujuan perhatian kita sehingga perhatian kita beralih dari objek yang seharusnya menjadi tujuan perhatian kita. Mungkin tidak ada yang salah dengan hal mubah itu sendiri, tetapi keburukannya berasal dari perannya sebagai pelana, dan musik dapat dengan mudah masuk ke dalam kategori ini. Di sisi lain, relaksasi yang dihasilkan oleh hiburan seperti musik mungkin membuat kita mampu berkonsentrasi lebih baik terhadap hal yang benar-benar penting, yaitu tugas-tugas keagamaan kita.

Dengan demikian, prinsip-prinsip utama sufisme secara metodologis sejalan dengan prinsip-prinsip para penentang sufisme dalam Islam. Kedua kelompok ini percaya bahwa satu-satunya cara membenarkan sebuah kegiatan seperti musik adalah dalam hal konsekuensinya bagi agama. Kebanyakan sufi berpikir bahwa musik memperkuat keimanan, dan dalam banyak lingkungan membantu non-muslim untuk memelik Islam. Di Eropa dan Amerika Serikat misalnya, sufisme menjadi sangat terkenal di kalangan non-muslim, dan bagi beberapa orang menjadi alasan mengapa mereka akhirnya memeluk Islam. 

Baca juga:  Sabilus Salikin (105): Macam-macam Zikir Tarekat Histiyah (3)

Negara dengan populasi muslim terbesar ke empat dunia, Indonesia, awal Islam masuk dan menggiring masyarakatnya menjadi Islam adalah lewat sufisme. Para dai terdahulu yang sekaligus para wali sufi yang lebih diantaranya yang lebih dikenal dengan para Wali Sanga tidak memerintahkan orang Indonesia (Jawa) untuk meninggalkan adat mereka, seperti pertunjukan wayang dengan bentuk yang tidak seperti sekarang. 

Wayang  kemudian diubah menjadi bentuk kulit pipih seperti sekarang ini karena mereka juga mengikuti syar’i. Bentuk wayang itu mungkin terlihat tidak pantas dari sudut pandang Islam, tetapi secara bertahap memperkenalkan karakter Islam ke dalam pertunjukan itu.

Di mata sufi, ini merupakan contoh yang baik dalam menggunakan musik dan media kesenian lainnya untuk lebih mendekatkan orang kepada Islam dan terutama kepada Tuhannya. Pada dirinya sendiri, tidak ada yang merangsang atau tidak terangsang tentang musik itu sendiri, seperti juga semua hal lainnya. Hanya saja, ketika dihubungkan dengan agama, aktivitas seperti itu bersentuhan dengan nilai moral.

Ide tentang otonomi seni dalam Islam hanya mendapatkan sedikit dukungan baik di kalangan pendukung ataupun pencela seni. Dan orang-orang sekarang ini telah kehilangan banyak kemampuan untuk berlama-lama mengamati segala sesuatu, tentang semuanya akhirnya. Wallahu A’lam Bishawab. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top