Sedang Membaca
Kita dan Tragedi 65 (1): NU, PKI, dan Keterbatasan Analisis Kelas
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Kita dan Tragedi 65 (1): NU, PKI, dan Keterbatasan Analisis Kelas

Whatsapp Image 2020 09 29 At 9.22.18 Pm (1)

Menjelang 30 September, pembicaraan mengenai PKI selalu kembali mengemuka. Tahun ini pemicunya adalah ucapan Gatot Nurmantyo. Dia bilang bahwa dirinya diberhentikan dari jabatannya sebagai Panglima TNI karena menginstruksikan agar masyarakat, setidaknya anggotanya, menonton film “Pengkhianatan G30S/PKI”. Rupanya, dia yakin, instruksi itu membuat sejumlah kalangan tidak suka. Mereka, kata Gatot, adalah PKI gaya baru.

Namun saya tidak akan membahas itu. Saya mau menyajikan satu tema yang juga sudah sering diulang, tetapi tetap relevan, yaitu relasi antara NU dan PKI. Berbagai literatur menyebut keterlibatan sejumlah pemuda NU dalam pembunuhan massal anggota PKI pada 1965-1966, tetapi literatur yang tersedia juga menjelaskan bagaimana mereka sesungguhnya dimanfaatkan oleh tentara. Dalam tulisan berjudul “NU, PKI, dan Kemungkinan Rekonsiliasi” (nu.or.id, 3/5/2016), saya telah membahas panjang lebar tema ini dengan mengatakan bahwa baik NU maupun PKI adalah sama-sama korban. Bertolak dari posisi yang sama ini, kemungkinan rekonsiliasi bangsa yang lebih luas bisa dipikirkan.

Meski demikian, dengan memperlakukan baik NU maupun PKI sebagai sama-sama korban, bukan berarti kita bisa menyetujui begitu saja apa yang mereka lakukan di masa lalu. NU sendiri, setidaknya melalui Gus Dur, sudah meminta terhadap korban kekerasan selama peristiwa 1965-1966. Lalu bagaimana dengan PKI? Jelas sekali partai ini telah terkubur bersama sejarah. Namun bagaimana dengan “analisis kelas” yang dulu pernah diperjuangkannya?

Baca juga:  Semesta Muhammad Iqbal (2): Politik Islam dalam Pandangan Iqbal

Selain dalam rangka rekonsiliasi, analisis kelas perlu ditinjau kembali karena persis inilah yang kita butuhkan sekarang. Bagaimanapun, analisis kelas adalah perangkat teoretis untuk memahami kondisi kita, termasuk NU, sebagai bagian dari masyarakat kapitalis. Pertanyaannya, setelah penghancuran PKI pada 1965-1966, masihkah analisis kelas eksis?

Lepas dari absennya analisis kelas dalam diskursus sosial di Indonesia yang telah banyak dikemukakan oleh para ahli, pendapat Hilmar Farid dalam “The Class Question in Indonesian Social Sciences” (2005) menarik diamati. Menurutnya, bahkan analisis kelas yang dulu pernah diperjuangkan oleh PKI tidak sungguh diolah secara tepat untuk mengkritik kapitalisme, tetapi lebih merupakan strategi politik kekuasaan yang terus berubah. Sebelum 1959, misalnya, PKI menciptakan konsep “borjuis komprador” yang mengacu pada Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) sebagai salah satu dari 6 kelas dalam masyarakat Indonesia. Setelah itu, setelah Masyumi dan PSI dibubarkan, konsep borjuis komprador digantikan oleh “kapitalis birokrat” yang merujuk pada pegawai negeri yang anti-PKI. Pokoknya, siapapun yang dianggap ancaman bagi partai akan dianggap bagian dari kapitalis yang harus dihancurkan, termasuk, kemudian, NU.

Masih menurut Farid, pokok pangkalnya adalah karena analisis kelas yang dikembangkan oleh PKI bersumber dari Marxisme sebagaimana diajarkan oleh Stalin di Uni Soviet. Pemikiran Marx yang berpusat pada kontradiksi di antara relasi-relasi sosial dalam masyarakat diubah menjadi justifikasi teoretis buat akumulasi sosialis dan sentralisasi kekuasaan. Kontradiksinya sendiri tidak pernah diatasi. Para feminis Marxis, misalnya Nancy Fraser (2017) merumuskan kontradiksi itu sebagai pemisahan antara kerja sebagai sarana produksi ekonomi dan kerja sebagai sarana reproduksi sosial.

Baca juga:  Jawaban Kaum Islamis dan Nasionalis tentang Pancasila di Tengah Himpitan Kelompok Intoleran

Pendapat Farid dan Fraser di atas menarik untuk menginterogasi mengapa, terutama sejak 1960-an, hubungan PKI dan NU memburuk, meski sama-sama berada dalam aliansi “Nasionalis-Agama-Komunis” Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno. Dalam situasi yang memburuk inilah Banser didirikan pada 1962 (Fealy, 2003). Menjelang tahun 1964 dan 1965, hubungan yang memburuk itu berbuah konflik kekerasan di pedesaan—suatu pra-kondisi yang menjelaskan mengapa mobilisasi anti-PKI oleh tentara di kalangan NU, terutama di Jawa Timur, sangat berhasil.

Lebih ditegaskan lagi, hubungan antara NU dan PKI memburuk karena adanya keterbatasan dalam memahami analisis kelas pada saat itu (juga berlanjut hingga saat ini)! Alih-alih beraliansi membangun kekuatan politik kelas pekerja (jangan lupa basis sosial NU dan PKI pada dasarnya adalah petani miskin di pedesaan Jawa), keduanya malah mempersengketakan “politik identitas”. Oleh karena ini, tidak heran, setelah penghancuran PKI selama 1965-1966, NU tidak hanya tidak mendapatkan apa-apa, tetapi juga direpresi ruang gerak politik ekonominya.

Jika kita masih mau membicarakan rekonsiliasi, peninjauan ulang terhadap sejarah pemikiran seperti ini mutlak dilakukan. Kambing hitamnya bukan sekadar kedurjanaan moral, tetapi juga kemelesetan analisis kelas yang vulgar. Barangkali dengan menapaki jalan terjal teoretis seperti inilah masa depan bangsa yang lebih baik bisa dipikirkan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top