Sedang Membaca
Ulama Banjar (19): Syekh Achmad Nawawi Panjaratan
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Ulama Banjar (19): Syekh Achmad Nawawi Panjaratan

Syekh Achmad Nawawi Panjaratan

(1901-1967)

Syekh Achmad Nawawi Panjaratan merupakan salah satu tokoh agama yang disegani di Kabupaten Tanah Laut dan sekitarnya. Dari sisi latar bekalang keluarga, Syekh Achmad Nawawi berasal dari keturunan darah biru. Sesepuh beliau adalah pendiri perkampungan yang diberi nama Kampung Keramaian di kawasan Gunung Keramaian (sekarang termasuk Desa Ujung Batu).

Tokoh sentral itu bernama Syekh Abdus Syukur, yang popular dengan gelar Datu Jenang Umar atau Datu Umar. Datu Umar pernah menjabat sebagai Menteri Kerajaan Banjar pada masa Sultan Adam Al-Wasik Billah, yang saat itu menjadi Raja Banjar yang ke-18. Sultan Adam berkuasa mulai tahun 1825 M hingga tahun 1857 M.

Datuk Jenang Umar atau Syekh Abdus Syukur memiliki 5 (lima) orang anak yaitu Mat Shaleh, Sulaiman, Ungguk, Diyang Irang dan Aqam.

Diyang Irang disunting oleh Sultan Saidi yang bergelar Pangeran Kalewang, putera dari Raja Bintoro Makassar. Allah mengaruniai 5 (lima) orang keturunan kepada mereka, yaitu Muhibbah, Sa’diyah, Ratna, Bukhari, dan Batam.

Setelah bersuami Sa’diyah melahirkan 3 (tiga) orang anak, yaitu: Kuyah, Duking dan Nanang Tarif. Kemudian Kuyah diperisteri oleh Nazir, dan dari perkawinan mereka memperoleh 3 (tiga) orang anak, yaitu: Abdul Qadir, Iyang dan Sari. Putera sulung Nazir yang bernama Abdul Qadir kemudian menikah dengan Saibah binti Abdul Jalil, dan dari perkawinan mereka ini lahirlah 3 (tiga) orang anak, yaitu Mariyam, Umi Kasum, dan H. Achmad Nawawi.

Berdasarkan catatan zuriat, Syekh Achmad Nawawi lahir di Kampung Panjaratan, Pelaihari Kabupaten Tanah Laut pada hari Sabtu tanggal 27 Rajab 1311 H, atau sekitar tahun 1901. Kampung Panjaratan ketika itu dikenal sebagai bandar atau pelabuhan tambat menuju Pelaihari dan sekitarnya. Di pelabuhan inilah tempat keluar-masuknya hasil perkebunan, pertanian, peternakan dan hasil hutan dari Tanah Laut menuju Banjarmasin, Pulau Jawa dan daerah-daerah lainnya. Bandar Panjaratan juga merupakan tempat pemberangkatan umat Islam berlabuh bagi orang-orang Tanah laut yang ingin menunaikan ibadah haji.

Achmad merupakan nama panggilan akrab beliau. Sewaktu kecil beliau belajar mengaji Alquran dengan ayahnya sendiri dan seorang guru yang bernama Anang Basar.

Dalam upaya memperdalam ilmu agama beliau menempuh sistem Salafiyah mengaji di Kampung Dalam Pagar Martapura dengan ulama terkenal yang bernama H. Muntaha dan H. Ismail.

Di bidang tarekat ini beliau mengambil talqin zikir tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dengan Syekh Abdurrahman Muda di Martapura. Dalam usia 17 tahun, oleh orang tuanya beliau diberangkatkan ke tanah suci Mekah guna menunaikan ibadah haji dan sekaligus untuk menimba dan memperdalam ilmu pengetahuan agama dengan beberapa ulama terkenal di sana. Di antara guru-buru beliau di Mekkah ini adalah Syekh Ali Maliki, Syekh Mukhtar Batawi dan Syekh Said Yunani (Kakek dari Syekh Zaki Yamani, Menteri Perminyakan kerajaan Saudi Arabia).

Menurut penuturan teman Syekh Achmad Nawawi sewaktu menuntut ilmu di Mekkah, yakni KH. Dahlan, orang Ilung mantan Qadhi dan tokoh NU di Barabai. Ketika di Mekkah, di samping belajar Syekh Achmad Nawawi juga menjadi guru. Beliau mengajar di sekitar Masjidil Haram dengan sistem halaqah, dan banyak mempunyai murid.

Syekh Achmad Nawawi memiliki kawan akrab sewaktu menuntut ilmu di Mekkah, beliau tinggal berdua serumah, yaitu H. Ismail, orang tua dari H. Humaidi yang juga dikenal sebagai salah seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanah Laut. Teman beliau ini zuriyatnya bersambung ke atas dan sampai dengan Datuk Syekh Muhammad Nafis, ulama sufi penyusun kitab ilmu tasawuf terkenal, Ad-Durrun Nafis.

Ketika terjadi konflik perebutan kekuasaan, dari tangan Syarif Husein oleh kelompok Wahabi, Syekh Achmad Nawawi dan K.H. Ismail memutuskan untuk pulang ke Tanah Jawi (Indonesia). Setelah menempuh perjalanan lebih kurang satu tahun, mereka sampai di Bombai, India. Dari Bombai lalu meneruskan perjalanan menuju Jawa dengan menumpang sebuah kapal dan dengan menumpang kapal wakaf menuju Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sesampainya di Banjarmasin beliau langsung ziarah ke makam Syekh Mufti Jamaluddin (Surgi Mufti) di Sungai Jingah, lalu meneruskan perjalanan menuju Kampung Panjaratan Pelaihaihari, Tanah Laut.

Ketika Syekh Achmad Nawawi sudah berada di Kampung Panjaratan, beliau dikunjungi oleh Syekh Hasan Yamani (ayah dari Syekh Zaki Yamani). Kunjungan Syekh Hasan Yamani ke Panjaratan selama lebih kurang 6 (enam) bulan lamanya. Rentang waktu sekitar setengah tahun itu dimanfaatkan oleh Syekh Hasan Yamani untuk berkhalwat dan berguru Tarekat Naqsyabandiyah dengan Syekh Achmad Nawawi. Menurut setengah riwayat sebutan “Nawawi” di belakang nama Syekh Achmad Nawawi adalah atas saran Syekh Hasan Yamani, mengingat selama di Mekah, beliau sangat tekun mempelajari karangan Imam Nawawi. Adapun “Panjaratan”, Pelaihari adalah nama kampung tempat kelahiran beliau.

Baca juga:  Ulama Banjar (130): KH. Muhammad Rosyad

Di Mekkah beliau mempelajari kitab-kitab yang dikarang Imam Nawawi dan Ibnu Majah, yang merupakan kitab masyhur dalam ilmu hadis. Guru-guru beliau ketika itu terdiri dari para ulama yang terkenal pada masa itu. Selain memperdalam hadis-hadis Rasulullah SAW, beliau juga mempelajari ilmu-ilmu tarekat, antara lain mengambil ijazah dan talqin zikir Tarekat Sadzaliyah dari Syekh Yasin Madinah.

Beliau telah berhaji sebanyak 13 kali, 7 kali disertai orang tua, isteri dan anak-anak beliau. Ketika menunaikan ibadah haji ketiga, beliau sekaligus membawa 6 orang murid dengan biaya beliau sendiri, yaitu KH. Abdul Jebar (menantu), Jamal, Mi’raj, Asmawi, Noor Alwi dan Hindustan. Murid-murid ini bukan semata-mata berhaji tapi disuruh menuntut ilmu di Mekkah, di antara mereka ada yang sampai bertahan selama 5 tahun dan ada pula yang lebih hingga tahun 1950.

Awal tahun 1928, Syekh Achmad Nawawi bersama Habib Alwi dari Surabaya diberi kepercayaan untuk mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) di Kalimantan. Dalam tahun 1928 itu pula beliau mendirikan Madrasah Diniyah di sejumlah desa di daerah pesisir pantai, yaitu mulai dari kawasan Bawah Layung, Tabanio (Pagatan Besar), Takisung, Batakan, hingga ke Kotabaru (Pulau laut). Guru-gurunya adalah murid beliau sendiri yang memang sudah dapat diandalkan dan diteladani.

Sebagai pendiri sekaligus aktivis Nahdlatul Ulama (NU), Syekh Achmad Nawawi mengadakan pertemuan warga nahdliyin yang terdiri dari tokoh masyarakat dan ulama di Pelaihari. Pertemuan yang berlangsung dalam tahun 1348 H itu dihadiri oleh warga NU dari berbagai daerah di Kalimantan. Berdasarkan catatan harian yang dibuat beliau sendiri, disebutkan bahwa H. Jafri Muda memberi 2 ekor sapi, dan Habib Sultan memberi 1 ekor sapi untuk konsumsi pertemuan tersebut.

Pada kongres ke-11 NU yang dilaksanakan pada tanggal 19-25 Rabiul Awal 1355 H di Sungai Miai, Banjarmasin, Syekh Achmad Nawawi diminta menjadi pembicara dalam Kongres tersebut. Kongres yang dihadiri para utusan NU dari berbagai daerah di Indonesia itu juga menghadirkan sejumlah nara sumber, yaitu:

  • Kiyai Abdul Wahab dari Surabaya.
  • Abdul Wahab dari Negara
  • Kiyai Mahmud dari Jember.
  • Kiyai Abdul Halim dari Cirebon.
  • Kiyai Dahlan dari Bangil.
  • Abdul Mut’i dari Solo
  • Gusti Muhammad Said dari Distrik Hofd Banjarmasin.
  • Sayyid Muhammad bin Salim Al-Kaff dari Palembang.
  • Abdus Samad dari Amuntai.

Kongres tersebut dibuka secara resmi oleh H. Muhammad Yusuf bin H. Abdul Latif. Dan yang membacakan ayat-ayat suci Alquran ada 4 orang, yaitu: Abdul Muthalib dan Abdul Ghani dari Martapura, H. Hasan dari Barabai, H. Muhammad Thahir dari Surabaya dan sebagai penafsirnya adalah H. Abdur Rahman Sarwani. Di antara para utusan NU yang berhadir saat itu adalah sebagai berikut:

  • Kiyai Abdurrahman mewakili NU Cabang Pasuruan.
  • Kiyai Bashri mewakili NU Cabang Jombang.
  • Kiyai Muhammad Thohir mewakili NU Cabang Surabaya.
  • Muhammad Said Luthfi mewakili NU Cabang Banjarmasin.

Ketika melakukan dakwah keliling tahun 1939 Syekh Achmad Nawawi menyisiri daerah Tanah Laut, di desa Batakan beliau menginap di rumah H. Abdu Samad. Di malam hari beliau bermimpi dalam tidurnya bahwa di seberang kampung Batakan ada sebuah pulau yang disebut Pulau Datu. Di pulau itu ada makam atau kubur Wali yang bernama Syekh Syamsuddin yang bergelar Datu Pamulutan. Makam ini berdampingan dengan makam muridnya yang bernama Muhammad Thaher. Keesokan harinya mimpi ini diceritakan kepada masyarakat, dan sesuai petunjuk melalui mimpi, makam itupun dicari sampai ditemukan batu nisan. Makam ini kemudian ramai diziarahi orang.

Di akhir pemerintahan Belanda tahun 1942, sebagai seorang ulama yang dekat dengan masyarakat, Syekh Achmad Nawawi bersama Said Abdullah dan Ahmad Syairani berpartisipasi aktif dalam pembentukan badan Keamanan Rakyat Indonesia (KRI) di Tanah Laut.

Baca juga:  Mochtar Lubis (2): Manusia Indonesia dan Perbukuan

Di masa Jepang, ketika Jepang sudah mulai tidak bersahabat lagi dengan masyarakat dan malah melakukan tindakan-tindakan yang menyakitkan, bahkan ada yang di luar batas perikemanusiaan. Syekh Achmad Nawawi bersama Ahmad Syairani secara diam-diam menghimpun kekuatan guna menyusun kekuatan melawan Jepang. Gerakan kedua tokoh itu diketahui oleh Jepang, mereka ditangkap dan dijebloskan dalam penjara di Pelaihari selama 6 bulan.

Sejak tahun 1947 hingga 27 Desember 1949, Syekh Achmad Nawawi aktif membantu para gerilyawan yang datang kepada beliau. Mereka minta didoakan, dimandikan dan dirajah supaya kebal terhadap senjata lawan (taguh).

Syekh Achmad Nawawi juga menampung para gerilyawan yang datang dari Banjarmasin. Demikian pula halnya dengan para gerilyawan datang dari Kampung Karang Jawa, Pelaihari. Menurut penuturan salah seorang gerliyawan, bernama Lambri, sewaktu gerilyawan akan diberangkatkan ke Banjarmasin, mereka dimandikan dulu oleh Syekh Achmad Nawawi (beliau ketika itu dikenal dengan sebutan Tuan Guru Lamak). Syekh Achmad Nawawi memandikan para gerilyawan itu di daratan Barung, Kampung Pandawanyi (sekarang Desa Sungai Riam).

Pada tahun 1950, Syekh Achmad Nawawi diundang Presiden Soekarno ke Istana Negara, beliau disambut langsung oleh Presiden sebagai tamu pribadi. Bahkan ketika itu beliau diminta untuk menjadi Khatib Jumat di Masjid Baiturrahim yang berada di lingkungan Istana Kepresidenan. Tujuan Soekarno mengundang secara pribadi itu, dikarenakan sering bermimpi ketemu dengan seorang ulama yang berkhutbah ke mana-mana, dan ulama itu ternyata adalah Syekh Achmad Nawawi sendiri. Dalam pertemuan dengan Presiden RI yang pertama itu, Syekh Achmad Nawawi membaiat Soekarno menjadi muridnya dalam ilmu tarekat. Tak hanya itu, akan tetapi Presiden Soekarno juga diberi cinderamata dari Syekh Achmad Nawawi, yaitu berupa tanduk rusa rampang (cabang) tujuh, sebuah tongkat kecil yang diisi dengan doa dan wafak (cemeti), serta selembar sejadah.

Syekh Achmad Nawawi selalu turun tangan membantu para pejuang kemerdekaan. Bantuan tersebut baik dalam bentuk materi, nasehat atau petuah-petuah agama dan pesan-pesan khusus, maupun berupa amaliah doa, mandi bahalat, rajah serta ilmu kepahlawanan. Pemberian ilmu kepahlawanan kepada para pejuang itu dilatarbelakangi adanya panggilan dari Datu H. Masaid (H. Masaid Wali) di Sungai Tuan, Martapura, yang juga murid Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. H. Masaid Wali menyuruh Syekh Achmad Nawawi agar menemuinya karena mendapat perintah dari salah seorang murid Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari bangsa jin yang bernama Datu Baduk. Pesan Datu Baduk menyatakan: “Sudah saatnya Syekh Achmad Nawawi membantu para pejuang kemerdekaan”.

Pada pertengahan tahun 1950, Syekh Achmad Nawawi menghadiri Kongres Persatuan Pengamal Tarekat Islam (PPTI) di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Usai kongres beliau menyempatkan diri menemui Prof. Dr. H. Jalaluddin di Bukit Tinggi, guna mengambil tarekat. Namun ternyata Prof. Dr. H. Jalaluddin menyarankan agar mengambil langsung kepada guru Syekh H. Jalaluddin yang bernama Syekh Ahmad Said Padang Bubus, Bonjol yang juga dikenal dengan sebutan Syekh Ahmad Said Bonjol. Disinilah Syekh Achmad Nawawi berguru mengambil tarekat serta langsung memasuki prosesi khalwat. Setelah keluar dari khalwat, Syekh Ahmad Said Bonjol memberi tambahan nama “Said” kepada beliau, sehingga namapun berubah menjadi Syekh Achmad Said Nawawi. Sepulang dari mengikuti kongres pengamal tarekat dan mengambil tarekat dengan Syekh Ahmad Said Bonjol itu, Syekh Achmad Nawawi makin giat berdakwah serta menyebarluaskan ilmu tarekat. Sebagai juru dakwah dan ulama tarekat, beliau tidak hanya menyampaikan ilmu agama Islam di kawasan Kalimantan Selatan saja, akan tetapi sampai ke Kalimantan Timur.

Dalam perjalanan pulang dari berceramah di Jorong, kaki Syekh Achmad Nawawi terinjak paku. Hal ini mengakibatkan beliau mengalami kelumpuhan selama lima tahun setengah. Namun dalam kondisi seperti itu beliau masih tetap melayani masyarakat yang ingin minta bantuan, baik siraman rohani dan kegiatan dakwah lainnya. Dalam keadaan lumpuh, beliau masih aktif membimbimbing murid-muridnya menjalankan amaliah tarekat dan khalawat di Pelaihari dan Banjarmasin. Di antara murid beliau yang dipercaya membantu dalam kegiatan khalwat tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Pelaihari adalah Abdul Murad di Karang Jawa dan Guru Darsiun di Asam-asam. Sedangkan KH. Muhammad Syamsuri di Kebun Bunga, dan H. Angah Saberi di Kelayan. Pada waktu itu orang yang mengambil tarekat maupun khalwat dengan beliau datang silih berganti sehingga jumlahnya mencapai ratusan orang. Mereka berdatangan dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan malah ada yang berasal dari daerah Sumatera dan lain sebagainya.

Baca juga:  Syarifah Mudaim: Ibunda Sunan Gunung Jati dan 4 Wejangan yang Relevan di Era Sekarang

Setelah lebih kurang lima tahun setengah menderita kelumpuhan kedua kakinya, kedua kaki beliau itu disembuhkan Allah SWT, sehingga kondisi beliau kembali seperti sedia kala. Kesempatan itu pun tidak disia-siakan beliau untuk berdakwah dan mengembangkan tarekat, membimbing khalwat; baik di Pelaihari maupun di Banjarmasin. Pada waktu Syekh Achmad Nawawi berada di Banjarmasin, tepatnya tanggal 8 Safar 1387 H, beliau dalam keadaan sakit.

Selama sebelas hari menjelang akhir hayatnya KH. Achmad Nawawi berada di pembaringan, beliau selalu sabar dan tabah dalam menghadapi musibah sakit yang menimpanya itu. Beliau menghembuskan nafas terakhir pergi menghadap Allah SWT dengan tenang pada malam senin tanggal 17 Shafar 1387 H/1967 M di Kampung Haur Kuning, tepatnya di samping masjid Jami Nurul Amilin, Kelayan,   Banjarmasin. Keesokan harinya jenazah beliau dibawa ke Pelaihari dan disemayamkan selama satu malam di rumah anak beliau yang bernama Hj. Noor Asliyah, isteri K.H. Abdul Jabbar. Beliau dimakamkan pada hari Selasa di depan langgar “Suluk”, tempat riyadhah amaliyah dan khalwat Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.

Berdasarkan catatan yang ada, isteri KH. Achmad Nawawi semuanya berjumlah 11 (sebelas) orang, yaitu:

  1. Ainun Jariah (Hj. Galuh) binti H. Abdul Gani dari Pelaihari, melahirkan 2 orang anak, yaitu Hj. Asliah dan Hj. Dursihab (cerai waktu masih hidup).
  2. Haminah dari Kampung Melayu Banjarmasin, melahirkan seorang anak yang meninggal di waktu kecil belum sempat diberi nama (cerai waktu masih hidup).
  3. Masmurah dari Pelaihari, melahirkan 7 orang anak, yaitu Wahidah, Hj. Murafi’ah, Zulkurnain, H. Musaffat, Hj. Nur Ainah, Drs. H. Yuhyilhusna, dan Naimah (cerai mati).
  4. Partas Salam dari Jorong, melahirkan 5 orang anak, yaitu H. Fadliyah, Iskandar, Aisah, Saudah dan Fuadi (cerai mati).
  5. Fatimah dari Banjarmasin, melahirkan 5 orang anak, yaitu Muhammad Athaillah, M. Nor Maki, Hj. Norsehat, Hj. Noor Shabah, Akhmad Faruk (cerai mati).
  6. Safiah dari Jember, Jawa Timur, melahirkan 1 orang anak, yaitu Hj. Audah (cerai waktu masih hidup).
  7. Hafiah dari Sungai Jingah yang bermukim di Mekkah tidak melahirkan keturunan (cerai mati).
  8. Saniah dari Tabanio, melahirkan 3 orang anak, yaitu Wilayah, Mulsinah, dan Bahauddin (cerai mati).
  9. Mastiah dari Samarinda, Kalimantan Timur, tidak melahirkan keturunan (cerai mati).
  10. Nor Sehan dari Jorong, tidak melahirkan keturunan (cerai waktu masih hidup).
  11. Haniah dari Panjaratan melahirkan 1 orang anak, yaitu Rosida (cerai mati).

Berdasarkan catatan yang dibuat pada tahun 2003, dari anak-anak keturunan beliau tersebut, KH. Achmad Nawawi mempunyai cucu sebanyak 85 orang, dan buyut yang berjumlah 170 orang.

Terkait karya tulis, KH. Achmad Nawawi juga cukup kreatif menggarap bidang ini, hanya saja ketika itu belum ditunjang fasilitas percetakan seperti sekarang. Oleh sebab itu berbagai tulisan yang beliau buat tidak terdokumentasikan dengan baik. Kesibukan beliau dalam bidang dakwah bil lisan dan bil hal cukup banyak menyita waktu. Dengan demikian untuk dakwah bil kitabah ini tidak dapat dilakukan secara lebih terkonsentrasi. Meski pun demikian, masih dapat disebutkan di sini beberapa karya tulis beliau, yaitu sebagai berikut:

  1. Risalah Tauhid, yang membahas tentang sifat-sifat Allah SWT, disusun dalam bahasa Melayu.
  2. Risalah Ilmu Tasawuf dan Tarekat, membahas tentang akhlakul karimah dan pendekatan-pendekatan khusus kepada Allah, ada yang disusun dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu.
  3. Risalah yang membahas hukum-hukum fikih atau syariat yang merupakan hasil Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama (NU).

Di antara penerus KH. Achmad Nawawi tersebut yang masih eksis hingga sekarang, dapat dikemukakan antara lain: Ustadzah Hj. Noor Shabah di Pelaihari (anak), K.H. Fadhliyah di Sungai Danau (anak), KH. Abdul Jebbar di Pelaihari (keponakan), KH. Syamsuri di Kebun Bunga Banjarmasin (murid), Guru Darsiun di Asam-asam (murid), Guru Saberi di Kelayan Banjarmasin (murid), dan Guru Darkasi di Kelayan Banjarmasin (sahabat dan murid).

Sumber Naskah: Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top