Al-Zastrouw
Penulis Kolom

Budayawan. Founder Ki Ageng Ganjur. Menyelesaikan S3 di UI. Tinggal di Depok, Jawa Barat

Ki Suryomentaram Mencari Manusia

Ki Ageng Suryomentaraman

Tokoh intelektual yang pemikirannya menarik dikaji, di antaranya adalah Ki Ageng Suryomentaram (KAS). Beberapa kajian mengenai pemikiran KAS  dilakukan oleh Darmanto Djatman, yang melahirkan buku “Psikologi Jawa” (1997), Ryan Sugiharto  yang melahirkan teori “Psikologi Raos” (2015), dan Afthonul Afif yang melahirkan “Ilmu Bahagia” (2012). 

Selain itu terdapat puluhan penelitian lain yang melahirkan berbagai artikel jurnal, tesis, maupun skripsi dengan berbagai perpektif; tasawwuf, filsafat, spiritual, dan lain-lain. Bahkan seoranag sejarawan dari Universitas Paris, Prancis, Marcell Bonneff, menerbitkan buku berjudul Ki Ageng Suryomentaraman; Prince et Philosophe Javannais, berisi tentang pemikiran Suyomentaram dari ceramah-ceramah tentang falsafah dan spiritualitas. Semua ini cukup  menjadi bukti menariknya pemikiran KAS sebagai bahan kajian akademik.

Tidak hanya pemikirannya yang menarik,  jalan hidup KAS pun menarik untuk dijadikan teladan dalam membaca dan menyikapi kenyataan. Jalan hidup yang unik inilah yang melahirkan suatu konstruksi pemikiran dan falsafah yang menarik untuk dikaji. Khususnya yang terkait dengan manusia dan kemanusiaan.

Laku hidup KAS tidak monolitik dan mekanik tetapi variatif, penuh warna, dan unik. Laku hidup KAS juga tidak sekedar digerakkan oleh kebutuhan hidup yang bersifat biologis (mekanis) atau ambisi dan nafsu, tetapi digerakkan oleh daya ingin tahu (curiosity) dan spiritualitas yang melahirkan daya kritis dalam membaca dan memahami kenyataan hidup. Daya inilah yang membuat KAS memiliki kekuatan menjebol sekat-sekat sosial, kultural,  dan ideologis sehingga mampu menjadi manusia bebas dari belenggu sosial dan berbagai identitas yang melingkupinya.

Baca juga:  Ekologi dalam Islam (2): Peran Sentral Pesantren Bagi Lingkungan

Satu laku hidup menarik dari KAS adalah pengembaraannya mencari manusia. Untuk menjalani laku hidup ini, KAS dengan sadar melepas seluruh atribut dan identitas kultural dirinya sebagai manusia ningrat Jawa yang sarat dengan dengan berbagai privilege atau hak istimewa.

KAS adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII dari seorang ibu bernama BRA Retnomandoyo,  putri  Patih  Danurejo  VI . Dari garis ibu maupun bapak, KAS adalah keturunan ningrat. Sebagai seorang pangeran yang tinggal di keraton, kehidupan fisik KAS dipenuhi dengan berbagai kemewahan dan kenikmatan. Ia juga dimuliakan, disanjung, dan dipuja. Pendeknya secara material dan sosial kehidupan KAS sudah sangat sempurna dan mapan.

Namun kehidupan dengan berbagai atribut sosial yang penuh kemuliaan tanpa kekurangan sesuatu apapun itu tidak membuat dirinya bahagia. Sebaliknya dia justru merasa terpenjara dan terasing. Dia merasa kesepian karena merasa tidak pernah ketemu manusia. Yang dihadapi dan ditemui setiap hari itu bukan manusia tetapi topeng-topeng yang menyembunyikan wajah manusia.

Setiap hari KAS menerima sembah dan penghormatan, setiap saat dia bertemu sosok yang ramah dan memukau. Tapi bagi KAS itu semua hanya topeng untuk mengelabui dirinya, bukan manusia dan sosok yang sebenarnya. Perasaan inilah yang membuat KAS keluar dari keraton, melepas seluruh identitas diri yang penuh privilege,  melucuti segala ego dan nafsunya, mengembara menjadi manusia awam biasa (pidak pejarakan) untuk mencari “manusia”.

Baca juga:  Ulama Banjar (3): Tuan Guru Haji Tarus

Dalam perjalanan mencari “manusia” ini KAS menjadi seorang penggali sumur, pekerja kasar dan penjual perkakas keliling. Melalui laku hidup ini dia bisa melihat “wajah-wajah” asli manusia tanpa topeng, tanpa balutan basa-basi yang penuh kepura-puraan. Melalui laku hidup ini KAS bisa merasakan hidup yang sebenarnya, sehingga bisa tumbuh empati.

Dari perjalanan hidup yang “telanjang” ini KAS mampu membentuk kejernihan dan kepekaan batin yang mampu menembus lapisan-lapisan topeng manusia  sehingga menemukan konsep tentang “kaweruh jiwo”, “rasa bahagia”  dan berbagai falsafah hidup yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Laku hidup KAS dalam mencari “manusia” ini merupakan cermin jernih dalam menghadapi kehidupan saat ini. Ketika manusia bersembunyi rapat di balik berbagai jenis topeng untuk menyembunyikan identitas diri yang sebenarnya, maka kita perlu menyibak topeng tersebut agar tidak mudah tertipu.

Kompetisi hidup yang makin ketat dan keras telah membuat manusia menggunakan selubung untuk memenangkan persaingan. Agar tetap terlihat hebat dan menarik manusia bersembunyi di balik kekuasaan sehingga mereka tidak segan-segan membeli kekuasaan dengan segala cara dan berapa pun harganya.

Bahkan manusia tidak segan-segan menggunakan topeng agama untuk menyembunyikan wajah aslinya yang culas dan serakah. Di era sekarang ini, sangat sulit membedakan mana iblis mana malaikat, mana pejuang dan mana pecundang, mana orang suci mana orang nista karena semua memakai topeng malaikat dan pejuang yang terlihat suci.

Baca juga:  Kisah-Kisah Wali (11): Visi Keilmuan Pesantren Kiai As’ad Dapat Dilihat Saat Merancang Ma'had Aly

Dalam kondisi demikian, hanya mereka yang memiliki ketajaman hati dan kepekaan jiwa yang menembus lapisan-lapisan topeng yang digunakan oleh manusia yang semuanya terlihat suci dan mulia. Artinya, hati yang bersih dan jiwa peka yang bisa menemukan “manusia” yang berada di balik topeng.

Berkaca dari  KAS, kemampuan seperti ini hanya bisa diperoleh melalui laku hidup yang tidak terpenjara nafsu, tidak hanyut oleh kenikmatan dunia dan tidak larut dalam kedudukan dan kekuasaan. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top