Tahun 1990an, ada pertemuan terbatas para kiai, di Cirebon, di rumah seorang kiai. Pada saat rehat acara karena masuk waktu Magrib, tuan rumah acara mempersilakan seorang kiai menjadi imam salat. Kiai yang tidak banyak dikenal itu maju ke depan, memimpin salat. Penampilannya memang biasa saja; tidak bersorban, tidak mengenakan sarung bagus, tubuhnya pun kurus.
Saat maju ke depan pun, para tetamu sesama kiai berbisik. “Kiai dari mana ini?”
Selesai salat Magrib, di tengah makan malam, seroang kiai menghampiri tuan rumah. “Kiai dari mana itu, baca Fatiheh gak enak di telinga? Kenapa ente suruh jadi imama?” Tanya kiai, sebut saja Kiai Ahmad, kepada tuan rumah. Sang tuan, sebut saja Hamid, rumah tenang saja. Dia memang sudah memperkirakaan akan ada yang protes.
“Jangan remehkan kiai tidak enak baca Fatehah bahkan tidak betul-betul fasih. Yang penting ikhlas dalam berdoa, sehingga doa-doanya tembus ke langit,” kata sang tuan rumah. Kiai yang protes tetap meremehkan,”Ah..!”
“Mari kita buktikan. Saya akan minta dia berdoa agar malam ini hujan,” tuan rumah meyakinkan Kiai Ahmad yang protes itu. Kiai Ahmad tetap tidak yakin.
Kiai Hamid mendekati sang kiai yang mengimami salat Magrib. Kiai Hamid minta doa agar secepatnya turun hujan. Dan bener, 30an menit setelah Kiai Hamid minta doa, berbarengan dengan waktu Isya masuk, hujan lebat datang seketika.