Dalam Serat Pustaka Raja Purwa gubahan Ronggawarsita, Semar adalah keturunan ke-7 dari Nabi Adam. Ia berasal dari galur pangiwa: Nabi Adam (Sang Hyang Adhama), Nabi Syits (Sang Hyang Sita), Sayyid Anwar (Sang Hyang Nurcahya) dan Sayyid Anwas (Ainusy), Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang, dan Sang Hyang Ismaya. Galur pangiwa dan panengen dalam tradisi wayang bermula dari anak-anak Nabi Syits atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama Sang Hyang Sita: Sayyid Anwar dan Sayyid Anwas.
Sayyid Anwar kelak disebut sebagai Sang Hyang Nurcahya yang menurunkan galur pangiwa: Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang, tiga serangkai Sang Hyang Antaga-Sang Hyang Ismaya-Sang Hyang Manikmaya. Galur ini menurunkan 9 dewa, dua di antaranya menjadi besan, yakni Sang Hyang Brama dan Sang Hyang Wisnu.
Sang Hyang Brama menurunkan Bambang Bremani dan Sang Hyang Wisnu menurunkan Sri Unon, Parikenan, Rsi Manumayasa, Sakutrem, Sakri, Begawan Palasara, Abiyasa, Pandudewanata, Pandawa, Abimanyu, Parikesit, Bambang Yudayana, Gendrayana, Janamejaya (akhir wayang purwa), Sri Aji Jayabaya di Kediri (awal wayang madya), zaman walisongo (wayang wasana), terus sampai ke raja-raja Jawa sekarang.
Adapun Sayyid Anwas (Ainusy) menurunkan galur panengen, yakni para nabi dan rasul di jazirah Arab sampai Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad serta para keturunannya. Seandainya mendasarkan diri pada Serat Pustaka Raja Purwa, maka orang-orang nusantara adalah lebih tua daripada orang-orang Arab (galur panengen). Sebab, Sayyid Anwar atau Sang Hyang Nurcahya adalah kakak dari Sayyid Anwas (Ainusy), penurun para nabi dan rasul di jazirah Arab. Wallahu alam bisshowab.
Dengan demikian, tepatlah pendapat yang mengatakan bahwa istilah wayang di hari ini berasal dari kata “ma hyang”, ma merupakan kata kerja aktif dan hyang berarti leluhur. Dalam perspektif ini, orang yang sedang nanggap dan menonton pertunjukan wayang sama dengan muri leluhur atau tak sekadar mengenang para leluhurnya (khol atau nguri leluhur), tapi menghidupi kembali atau hidup bersama leluhur.
Konsep hyang atau eyang dalam bahasa sekarang, secara antropologis, pada akhirnya melahirkan konsep da hyang atau danyang, pemilik dan penunggu spiritual sebuah wilayah.
Dari konsep da hyang ini, Semar pun dapat dikenali jejer atau peran serta fungsinya. Sebab, ia kerap pula disebut sebagai Sang Hyang Ismaya atau Da Hyang Semar, yang barangkali pada masa walisongo dimaknai sebagai “ismarun” yang berarti paku.
Beranjak dari figur dan filosofi Semar inilah saya kira konsep autochthony acap dilupakan, ketika orang ingin membangun atau menerapkan berbagai pemikiran serta kebijakan terkait dengan hajat hidup orang banyak, entah pada bidang politik, ekonomi maupun agama. Ketika pemikiran dan kebijakan itu ditempuh, alhasil akan mendapatkan reaksi keras, karena masyarakat asing dengan semua itu.
Reaksi yang berlebihan atas sebuah pemikiran/kebijakan terjadi karena masyarakat asing dengan segala pengetahuan tersebut. Maka itu kita perlu mengetahui tentang konsep autochthony agar berbagai pemikiran/kebijakan tak “masturbasif” atau mental tertolak karena tak membumi.
Kisah-kisah sejarah tentang gagalnya paham komunisme, liberalisme, dan Islam radikal di nusantara adalah contoh bagus perihal konsep autochthony yang kerap dilupakan. Karena, paham-paham itu tak memiliki akar sejarah dan kultural di nusantara.
Sekalipun seandainya pemikiran dan kebijakan itu berhasil diterapkan pada sebuah masyarakat, maka dapat dipastikan bahwa umurnya tak akan lama. Ibarat membangun rumah tanpa fondasi, angina tau badai akan mudahnya menggoyahkan dan merubuhkannya.
Itulah mengapa berkali-kali Pancasila tak mudah untuk dirubuhkan, karena ia adalah bagian dari autochthony bangsa nusantara. Saya tak melihat Pancasila sebagai suatu ideologi dalam konteks ini, sebab ia hanya contoh dari konsep autochthony.
Taruhlah sila satu Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa.” Prinsip ini secara kultural adalah prinsip yang lahir dari rahim kebudayaan nusantara sendiri. Tanpa, katakanlah, orang Islam mengenalkan konsep tauhid, atau orang Hindu dan Katolik mengenalkan konsep Trimurti dan Trinitas, secara kultural orang-orang nusantara sudah hidup dengan prinsip tersebut.
Bukankah kebudayaan-kebudayaan warisan masa silam kental dengan nuansa dan suasana keesaan itu: bangunan-bangunan candi yang bentuk arsitekturalnya mengerucut laiknya tumpeng, keris, konsep jagat gedhe (makrokosmos) yang merupakan cerminan jagat cilik (manusia) yang mendasari pola bebrayan (kehidupan bermasyarakat). Juga pola pertanian tradisional, labuhan, seni wayang, karawitan, konsep dan praktik pengantin serta pernikahan tradisional, dst?
Karena itulah, ketika autochthony ini berusaha dilenyapkan (dihakimi sebagai sebentuk TBC (takhayul, bid’ah, churafat), dinilai sebagai warisan feodalisme oleh penganut marxisme, dan dituding sebagai sebentuk konservatisme oleh kaum liberal), maka bisa mendapatkan reaksi sangat keras. Paham-paham yang berasal dari luar tersebut bahkan hanya sanggup hidup seumur jagung dan tak mudah untuk berkembang-biak.
Ibarat tanaman yang lazim tumbuh di padang pasir atau tanah bersalju, ia tak akan tumbuh secara sempurna sekalipun bisa ditanam di tanah nusantara, karena bukan habitat aslinya berpijak. Maka itu terdapat berbagai ungkapan keseharian yang menyiratkan ketakserasian antara sesuatu dan tempatnya: “londo Jawa” untuk menyebut orang-orang lokal yang berambut pirang, “yamadipati” untuk menyebut orang-orang lokal yang berbusana dan bertampang seperti orang Yaman, dst.
Autochthony pada dasarnya berhubungan dengan sesuatu yang sesuai/serasi dengan tempatnya. Ibarat pohon beringin, ia pas dipandang ketika tumbuh menjulang di alun-alun kota, dan tak pas atau asing dipandang ketika tumbuh di halaman gedung pentagon.
Muncullah istilah indigenous, yang oleh Martin Heidegger disepadankan dengan istilah “bodenstandigkeit”, yang ketika dilupakan akan menyebabkan dekadensi budaya dan kerapuhan masyarakat (Politik Tanpa Bermain Catur, https://jurnalfaktual.id). Dapat dibayangkan bagaimana sebuah masyarakat berdiri tanpa akar, tanpa kerangka, tanpa paku.
Masuk akal ketika pada dekade 80-an Abdurrahman Wahid mencetuskan istilah “pribumisasi Islam”, dan beberapa dekade kemudian banyak intelektual nahdliyin menggagas tipologi Islam nusantara. Semua ini muncul dalam rangka menggunakan paradigma autochthony.
Tampaklah gamblang alasan Semar dimaknai sebagai “ismarun” oleh walisongo. Ia adalah pakubumi, suatu paradigma yang membuat berbagai hal dapat menancap kuat di atas bumi. Ia tak mudah goyah dan bahkan rubuh ketika diterjang badai.