Sedang Membaca
Pesantren Pada Masa Kolonial (3): Santri dan Perjuangan Islam dalam Jaman Bergerak
Adrian Perkasa
Penulis Kolom

Dosen Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dan PhD candidate di Universiteit Leiden.

Pesantren Pada Masa Kolonial (3): Santri dan Perjuangan Islam dalam Jaman Bergerak

Whatsapp Image 2021 10 19 At 23.50.33

Masa Pergerakan Nasional dalam khazanah historiografi Indonesia ditandai dengan munculnya berbagai organisasi modern yang dianggap memiliki andil besar dalam perjalanan sejarah bangsa. Kemunculan organisasi-organisasi seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lainnya tidak bisa dilepaskan dari semakin berkembangnya pendidikan Barat atau modern di tanah jajahan. Pendirian organisasi Boedi Oetomo bahkan berlangsung di gedung sekolah dokter Jawa atau STOVIA pada tahun 1908.

Selain pendidikan modern, karakteristik lainnya dalam jaman bergerak ini adalah berlangsungnya perdebatan antar gagasan, ideologi, dan cita-cita baik dalam bentuk lisan atau tatap muka langsung maupun tulisan dalam berbagai media cetak. Nyaris semua organisasi atau gerakan memiliki jurnal atau publikasi resmi untuk menyebarkan gagasannya. Tidak heran kemudian beberapa ahli seperti Benedict Anderson berargumen bahwa lahirnya sebuah bangsa, termasuk Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebutnya sebagai perkembangan print capitalism atau kapitalisme cetak.

Melihat kedua faktor yang paling berpengaruh dalam pergerakan nasional, yakni pendidikan modern dan media cetak tersebut, tentu bukanlah suatu hal yang mengherankan apabila kaum santri bisa dibilang lebih ‘terlambat’ berpartisipasi dalam masa pergerakan jika dibandingkan dengan golongan lain misalnya kelompok priyayi. Seperti yang bisa disimak kembali di tulisan-tulisan sebelumnya bagaimana mayoritas umat Islam pada masa itu enggan memasukkan anak-anaknya ke sekolah modern karena dianggap merupakan institusi pendidikan kafir. Demikian pula akses sekolah modern sendiri juga yang hanya terbatas untuk kalangan tertentu saja seperti yang dikisahkan oleh Achmad Djajadiningrat sebelumnya.

Sepak terjang kaum santri dalam masa pergerakan baru nampak di Surakarta yang merupakan salah satu pusat penting bagi berbagai organisasi yang memiliki berbagai perbedaan visi terkait kebangsaan. Seperti yang dicatat oleh seorang jurnalis yang tergabung dalam Sarekat Islam yakni Mas Marco Kartodikromo, terdapat seorang figur yang menonjol dari pesantren yang ada di Solo yakni Haji Mohammad Misbach. Berasal dari Kampung Kauman yang merupakan perkampungan kaum santri di pusat kota tersebut, Haji Misbach tampil sebagai pemuka agama Islam yang mendapat banyak simpati dari beragam kalangan. Dalam surat kabar Hidoep, Mas Marco menggambarkan awal mula Haji Misbach berkecimpung dalam dunia pergerakan sekaligus karakter pribadinya sebagai berikut:

Baca juga:  Nabi Muhammad Kecil Ziarah Sang Ayah

“Pada waktu itu (1914) H.M. Misbach adalah seorang Islam yang berniat menyiarkan keislaman secara jaman sekarang yakni membikin surat kabar Islam, sekolahan Islam, berkumpul merembuk Agama Islam dan hidup berorganisasi. Dalam tahun berikutnya, H.M. Misbach menerbitkan surat kabar bulanan Medan Moeslimin dimana pada saat itulah langkah permulaan H.M. Misbach masuk ke dalam pergerakan dan memegangi bendera Islam. Dimana-mana tempat dia membikin propaganda Islam dan suka beramah tamah kepada semua orang.

Dalam pandangannya, tidak ada beda antara seorang pencuri biasa dengan seorang yang dikata berpangkat, begitu juga antara rebana dan klenengan (gamelan), antara bu haji yang berkerudung dan orang perempuan yang menjadi kupu-kupu malam, antara orang-orang yang bersorban cara Arab dan berkain kepala cara Jawa. Oleh sebab itu, dia lebih gemar memakai kain kepala daripada memakai peci Turki atau bersorban seperti pakaian kebanyakan orang yang disebut ‘Haji’.

Bahan jika diperlukan Misbach berkumpul dengan anak-anak muda mendengarkan klenengan yang disertai suara tandak nembang yang amat merdu. Dalam kalangan anak muda, dia menjadi teman mereka melancong. Begitu juga di dalam kalangan wayang orang, Misbach lebih dihormati daripada sutradaranya. Oleh sebab itu di berbagai golongan rakyat, Misbach mempunyai kawan untuk melakukan pergerakannya. Tetapi di dalam kalangannya orang-orang yang mengaku Islam dan lebih mementingkan mengumpulkan harta benda daripada kesusahan rakyat, Misbach seperti harimau dalam kalangan binatang-binatang kecil. Karena dia tidak takut lagi mencela kelakuan orang-orang sesamanya yang mengaku Islam tetapi selalu mengisap darah teman sesamanya.”

Nama Haji Misbach semakin moncer dalam suatu komite yang bernama komite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad. Pemantik munculnya komite ini adalah terbitnya artikel yang ditulis oleh Djojodikoro yang berjudul Percakapan antara Marto dan Djojo dalam surat kabar Djawi Hiswara. Dalam artikelnya, Djojodikoro menulis bahwa Gusti Kanjeng Nabi Rasul minum AVH gin, minum opium, dan kadang suka mengisap opium. Segera saja umat muslim saat itu segera merespon tulisan tersebut.

Baca juga:  Saren Jawa: Kampung Produsen Naskah Kuno

Organisasi muslim terbesar ketika itu, Sarekat Islam melalui beberapa tokohnya merespon tulisan tersebut dalam berbagai media. Seperti misalnya Abikusno Tjokrosujoso yang merupakan saudara dari pimpinan Sarekat Islam Tjokroaminoto menganggap bahwa tulisan Djojodikoro tadi merupakan penghinaan besar terhadap Nabi Muhammad SAW dan menyerukan ajakan pembelaan Islam. Tidak ketinggalan, Tjokroaminoto-lah yang kemudian menggagas berdirinya organ Tentara Kanjeng Nabi Muhammad untuk menuntut pemerintah agar memberikan hukuman terhadap penulis maupun redaktur dari Djawi Hiswara.

Surat Kabat Medan

Surat Kabar Medan Moeslimin dan Foto H.M. Misbach

 

Komite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad ini tidak hanya didominasi oleh kalangan Sarekat Islam saja. Banyak kelompok santri yang bersimpati terhadap komite yang didirikan dalam rangka mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan kaum muslim. Sebagaimana yang terlihat dari keberhasilan komite ini dalam mengadakan rapat-rapat umum maupun demonstrasi di berbagai tempat di seluruh Jawa maupun Sumatera pada tahun 1918. Dalam dokumen-dokumen pemerintah kolonial disebutkan tidak kurang dari 150.000 orang mendukung komite dan lebih dari sepuluh ribu gulden terkumpul untuk menyokong kegiatan komite.

Di Solo, Haji Misbach tampil sebagai tokoh paling menonjol dalam komite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad. Surat kabarnya yakni Medan Moeslimin segera menerbitkan kembali artikel Abikusno Tjokrosujoso. Haji Misbach sendiri menulis pamphlet propaganda yang menyerang Djojodikoro dan tim redaksi Djawi Hiswara. Ia juga mengorganisir rapat umum dan aksi protes di Surakarta guna meminta pemerintah menghukum kedua pihak tersebut.

Pada aksi tersebut dilaporkan lebih dari 20.000 orang yang hadir dan dianggap merupakan salah satu aksi umat muslim terbesar di kota tersebut. Rupanya agenda dalam rapat umum itu tidak hanya membahas tuntutan terhadap pemerintah melainkan juga dorongan untuk melawan kegiatan para misionaris Kristen khususnya di bidang pendidikan. Pembicaraan tersebut muncul karena semakin banyak sekolah-sekolah Kristen maupun Katolik yang tumbuh atas inisiatif kegiatan missi maupun zending.

Baca juga:  Saling Kritik antar Ulama: Ibnu Malik dengan Ahli Nahwu Maliki dan Ibnu Khallikan

 

Rapat Si

Salah Satu Rapat Umum Sarekat Islam di Jawa

 

Munculnya surat kabar Medan Moeslimin sendiri juga dilandasi kegelisahan Haji Misbach terhadap perkembangan surat kabar milik misionaris Mardi Rahardjo. Seperti yang ditulis oleh Haji Misbach dalam surat kabar tersebut sebagai berikut:

“Medan Moeslimin itu suat alat kita kaum muslimin, guna meyakinkan tentang keluasan agama Islam. Akan tetapi kendati kita tahu agama kita adalah suatu senjata kemanusiaan, namun tidak kita jalankan dengan baik, bisa dibilang akan menjadi suatu kesia-siaan belaka. Kita sendiri tau bahwa penyamun agama Islam semakin giat merajalela di tanah kita Hindia. Pemerintah juga tidak mempedulikan tentang seruan kita kaum muslimin untuk nasib agama kita di Hindia.

Pemerintah Hindia Belanda telah mengakui bahwa kelompok bumiputera memeluk agama Islam, tetapi pemerintah juga membuka negeri ini seolah-olah sebagai pasar bebas, baik perkara ekonomi maupun agama. Jadi pemerintah tidak mau melarang adanya suatu agama asing yang disebarkan di dalam tanah air orang Islam sebab katanya pemerintah itu netral, tidak memihak tentang agama, jadi agama lain tersebut dapat dengan mudah menggunakan segala tipu dayanya kepada kaum Islam. Oleh karena itu saya berharap bangsa kita kaum muslimin mesti berpikir sendiri untuk mengatasinya dan tidak perlu meminta-minta perhatian pemerintah.”

Rupanya kegelisahan Haji Misbach maupun kalangan santri pada umumnya di masa pergerakan terus berlangsung meski komite Tentara Kanjeng Nabi Muhammad tidak berusia panjang. Kegiatan-kegiatan kelompok Kristen khususnya di bidang pendidikan modern menjadi terus menjadi sorotan yang rupanya tidak hanya dari kelompok santri saja melainkan juga dari para tokoh yang selama ini tampak tidak begitu akrab dengan pergerakan Islam. Tulisan berikutnya akan membahas persoalan ini dan tawaran alternatif terhadap pendidikan nasional modern di Indonesia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top