Nama KHR. As’ad Syamsul Arifin atau biasa disapa Kiai As’ad sangat identik sebagai sosok patriotik. Segenap hidupnya ia dedikasikan untuk agama dan negara. Hampir tak pernah absen ia turut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sebagai komandan Hizbullah, pengasuh Pesantren Salafiah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo itu, ia memimpin perlawanan di daerah Tapal Kuda. Mulai dari Situbondo, Bondowoso, Jember hingga ke Banyuwangi.
Meski begitu patriotik dan heroik, sosok yang pada 2016 ditetapkan sebagai pahlawanan nasional itu, ternyata pernah dikriminalisasi oleh negara. Ia dijebloskan dalam penjara. Tak banyak yang menulis soal ini. Bahkan, dalam dua buku biografinya yang telah terbit. Yaitu, “KHR. As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuanganya (PP. Salafiyah Syafi’iyah, 1994)” dan “Biografi Perjuangan KHR. As’ad Syamsul Arifin 1897-1990 (IJP, 2016)”.
Berita tentang penangkapan Kiai As’ad tersebut, muncul dalam majalah “Berita LINO” Nomor 5 tahun ke II (1 Djumadil Ula 1372/ 17 Djanuari 1953). Ada sebuah berita yang dikirim oleh kontributor berinisial “Dz”, judulnya: K.H. AS’AD DIMERDEKAKAN.
Sebagaimana yang tertera dijudulnya, berita tersebut mengulas tentang kebebasan KH. As’ad Syamsul Arifin dari jeruji penjara. Kontributor yang tak lain masih memiliki hubungan keluarga tersebut, menyampaikan terima kasih atas berbagai upaya guna membebaskan pengasuh PP. Salafiyah Syafi’iyah Situbondo itu.
“… terima kasih se-besar2nja kpd. sdr 2 kita kaum Muslimin jang telah berichtijar setjara lahir dan bathin untuk kebebasan beliau itu. Terutama kepada PPBNO jg. telah berusaha keras berhubungan dg. jang berwadjib untuk meminta dibebaskanja beliau itu,” demikian tulisnya.
Kiai As’ad sendiri meringkuk di sebuah tahanan di Malang bersama para ulama lainnya. Kurang lebih selama 14 bulan santri Kiai Kholil Bangkalan itu, mendekam di bui sebelum dilepas pada 20 Desember 1952.
Menariknya, dalam berita tersebut, ditulis bahwa Kiai As’ad dipenjara akibat kasus “SOB”. Kasus apakah SOB tersebut?
Jika menilik sejarah Republik Indonesia, SOB merupakan akronim dari “Staat van Oorlog en Beleg”, yaitu Undang-Undang Negara dalam Keadaan Bahaya. Tak ada keterangan lebih lanjut mengenai pasal apa yang dilanggar oleh Kiai As’ad dalam undang-undang tersebut.
Jika melihat waktu penangkapan yang terjadi pada 1951, dapat diduga hal ini berkaitan dengan munculnya Undang-Undang Darurat yang dikeluarkan pada tahun yang sama. Yaitu, UU Darurat No. 12 Tahun 1951 mengubah Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen (Stbl. 1948 Nomor 17) dan UU Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 tahun 1948.
UU Darurat tersebut dikeluarkan pada 1 September 1951 dan berlaku tiga hari kemudian. Di dalam UU itu, ada pasal yang mengatur tentang kepemilikan senjata api. Barangsiapa yang memiliki, mempergunakan, mengangkut, menyimpan dan lain sebagainya dari senjata api akan diancam pidana selama-lama 20 tahun penjara.
Dari pasal tersebut, bisa jadi menjadi pintu masuk untuk menjerat Kiai As’ad ke penjara. Ia dianggap memiliki senjata api ilegal oleh otoritas saat itu, lantas ia dikriminalisasi. Mengingat Kiai As’ad yang pernah menjadi komandan Hizbullah, besar kemungkinan masih menyimpan senjata api bekas perjuangan masa revolusi. Hal inilah yang lantas diartikan kepemilikan senjata api ilegal. Hal yang sama juga pernah dialami oleh beberapa ulama di Banyuwangi. Seperti yang menimpa pada putra sulung Kiai Abdullah Faqih Cemoro, Banyuwangi pada rentang waktu yang sama.
Meski mengalami kriminalisasi demikian hingga mendekam satu tahun lebih, ada satu hal penting yang patut diteladani dari sosok Kiai As’ad. Ia tak menaruh dendam sedikitpun pada negara. Ia tetap mewakafkan dirinya saat negara membutuhkannya. Seperti pada 1957 saat KH. Idham Chalid atas nama Wakil Perdana Menteri, meminta Kiai As’ad menjadi anggota KPK (Kiai-Kiai Pembantu Keamanan) saat gencar-gencarnya pemberontakan DI/ TII. Ia tetap menjalankan amanah tersebut.
Ketulusan Kiai As’ad berjuang untuk bangsanya juga tercermin pada 1965. Ia sangat getol melawan PKI yang pada saat itu terlibat dalam upaya kudeta. Pada masa Orde Baru, Kiai As’ad juga merupakan pelopor ulama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Pengabdian tersebut terus berlanjut hingga Allah SWT memanggilnya pada 4 Agustus 1990.
Mungkin demikian bedanya ulama yang sesungguhnya dengan ulama syu’ (buruk). Meskipun dikriminalisasi, ia tetap memberikan yang terbaik untuk negara. Tak perlu koar-koar, apalagi sampai menjadi buronan.