Sedang Membaca
Nyadran Jelang Ramadan, Bukan Kemusyrikan
Hamidulloh Ibda
Penulis Kolom

Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung, Alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati. Tinggal di Semang, Jawa Tengah

Nyadran Jelang Ramadan, Bukan Kemusyrikan

Menjelang bulan suci Ramadan, masyarakat Islam di Nusantara khususnya di Jawa Tengah dan Jogjakarta hampir semua melakukan tradisi nyadran atau sadranan. Kini, tradisi ini dilakukan untuk menyambut Ramadan, menjadi daya tarik wisata religi-budaya bagi sebagian orang yang kagum budaya Islam di Nusantara.

Nyadran bukan sekadar peristiwa agama-budaya, bahkan wisata, namun juga menjadi tiket untuk menuju kemesraan rohani antara manusia, leluhur, dan Allah menjelang bulan Ramadan. Mengapa?

Karena ia sudah sesuai rumus Islam. Kita dihimbau Nabi Muhammad lewat hadisnya untuk bergembira menyambut Ramadan. Nyadran, menjadi bagian wujud kegembiraan, ungkapan rasa syukur pada Tuhan, dan penghormatan pada leluhur dan alam. Sesederhana itu.

Stigma kafir dan syirik (menyekutukan Allah) masih melekat sampai sekarang pada nyadran yang digemborkan kelompok antitradisi. Mereka lebih menekankan pemurnian Islam yang ada di Nusantara ini. Tentu, jika agama dibentukan pada budaya dan tradisi akan blunder. Sebab, mana ada agama tanpa budaya? Sebab, agama dan kebudayaan itulah yang menjadikan umat Islam di Indonesia memiliki karakter dan identitas.

Janutama (2012) berpendapat, orang Jawa identik dengan klenik dan mistis. Maka sangat wajar jika dalam setiap ritualnya, mereka tak bisa lepas dengan kepercayaan pada gutoh tuhon, kekuatan para leluhur, penyuguhan sesaji dan lainnya.

Apakah ini syirik? Nanti dulu. Syirik dan tidak itu letaknya pada hati dan pikiran. Dan, orang itu syirik atau tidak, mana mungkin kita tahu? Maka dari itu, semua tradisi Islam yang berbau Jawa harus dirawat agar kita menjadi bangsa yang memiliki identitas dan kearifan lokal.

Religiositas Nyadran
Secara bahasa, nyadran sendiri diambil dari sraddha yaitu bahasa Sanskerta yang bermakna keyakinan. Khamim (2018) berpendapat nyadran berasal dari Bahasa Arab, shodron yanģ artinya dada. Tradisi nyadran mengajarkan manusia kon do ndodo, kon do rumongso, kon do iling Sangkan Paraning Dumadi. Filosofi ini, tak lain dari potongan dari ayat Alquran, dari surat Al-Baqarah ayat 156 yaitu inna lillahi wa inna ilaihi raj’un. Semua dari Allah, dan akan kembali pada Allah.

Dalam praktiknya, ada yang hanya membersihkan kubur atau besik kuburan, ada yang diiringi kenduri, pengajian, tahlilan, selawatan, sampai pada acara-acara formal. Nyadran juga mengandung ajaran birrul walidain (berbakti pada kedua orang tua) yang luar biasa.

Baca juga:  NU dan Perdebatan Seni Islam

Bagi orang tuanya yang masih pada hidup, sebelum Ramadan dan saat Lebaran kita disarankan untuk meminta maaf atau punjungan (berkunjung). Bagi yang kedua orangnya sudah meninggal, kita disarankan bersih kubur, ziarah, mendoakan, yang dalam tradisi di Jawa dirangkai dalam sadranan.

Secara praktik budaya, nyadran dimaknai sebagai serangkaian tradisi lokal yang dilakukan umat Islam-Jawa dengan berbagai kegiatan. Di Temanggung, Wonosobo, Magelang, Salatiga, Surakarta, dan sekitarnya, tradisi nyadran dilakukan tiap dusun dengan berziarah ke kuburan leluhur/orang tua dan doa bersama.

Biasanya, di Temanggung bersamaan dengan akhirussanah yang digelar sekolah/pondok pesantren. Ketika bulan Ruwah seperti ini, mereka selain menggelar doa bersama juga ada acara pengajian, kesenian lokal, dan sebagainya.

Tradisi tersebut laiknya hari Lebaran karena tiap rumah menyediakan makanan serba lengkap dan disuguhkan kepada tetangga dan saudara. Di sini, nyadran dilakukan serentak tiap dusun meski se kabupaten waktunya berbeda.

Di Pati, Grobogan, Rembang, Kudus, Jepara, tradisi nyadran disebut megengan, yaitu tradisi kenduri bersama di musala/masjid untuk menyambut Ramadan. Untuk praktik ziarahnya, ada yang sendiri-sendiri atau berjemaah ke kuburan saudara, leluhur pendiri desa atau ulama setempat.

Di Blora, tradisi nyadran dilakukan dengan besik kubur (membersihkan kuburan) keluarga. Meski tak serentak, di sana juga melakukan tasyakuran menjelang bulan Ramadan dengan melakukan tradisi gas deso atau manganan. Tradisi ini biasa disebut sedekah bumi. Praktiknya, mereka melakukan selamatan, kondangan, krayahan, kenduren, atau bancakan dengan membawa makanan ke kuburan yang diiringi dengan tahlil.

Meski tidak dalam serangkaian nyadran, karena kebanyakan di tiap kecamatan di Blora digelar pada bulan Rejeb dan Ruwah, maka orang tradisi gas deso ini juga bisa disebut bagian dari ritual nyadran. Mengapa?

Karena gas deso merupakan wujud syukur kepada Allah yang dilakukan dengan hormat para leluhur lewat tahlilan, doa bersama, membersihkan kuburan agar tidak kotor dan angker.

Di Semarang, nyadran dilakukan dengan ziarah ke makam leluhur. Ada juga tradisi dugderan yang berbentuk festival sebagai penanda dimulainya ibadah puasa Ramadan. Dugderan bagi warga Semarang tak ada yang berani mengafirkan, karena menjadi bagian dari fenomena religius.

Baca juga:  Inilah 6 Nasehat Syekh Ahmad Mahmod Syarif untuk Para Pencari Ilmu

Tak ada fenomena syirik atau kafir dalam tradisi ini. Sebab, selama ini banyak yang mengafirkan tradisi nyadran karena dianggap tradisi Hindu-Budha. Kita harus menelaah dan mengkaji secara komprehensif. Tradisi makan-makannya memang warisan budaya non-Islam.

Namun para ulama dan khususnya Walisongo dulu, menggantinya dengan cara Islam. Makan-makannya tetap, tapi tradisi ritual doanya diganti tahlilan, yasinan, dan manaqiban. Apa ini tidak islami? Jelas ini sudah sesuai prinsip Islam.

Bentuk nyadran di tiap daerah berbeda namun intinya sama dan sudah memenuhi prinsip Islam. Pertama, mereka melakukan tasyakuran kepada Allah lewat doa bersama, tahlilan, selawatan, pengajian, dan bahkan tahtimul quran, baik itu bilgaib atau binnador.

Kedua, penyucian diri dari aspek jasmani dan rohani untuk menyambut bulan suci Ramadan. Mereka bersyukur dan melakukan tasyakuran karena masih diberi umur, kesehatan, dan kekuatan untuk bertemu dengan Ramadan.

Ketiga, penghormatan pada leluhur dengan cara mengirimkan doa kepada mereka. Keempat, penghormatan pada alam dengan cara menyukuri hasil alam yang dipanen/didapat untuk menghidupi keluarga. Ada yang berupa sedekah bumi atau kabumi, dan sedekah laut atau kalaut, gas deso, dan lainnya.

Kelima, menjaga tradisi kerukunan antarsesama, karena dalam tradisi ini tak hanya umat Islam yang menikmati, melainkan semua kalangan. Keenam, menjaga humanisme dengan manusia, alam, leluhur, dan wahana mendekatkan diri pada Allah.

Kemesraan Rohani
Nyadran menjadi bukti kemesraan rohani manusia dengan Allah lewat para leluhurnya yang sudah meninggal dunia. Apalagi, nyadran ini dilakukan menjelang Ramadan di mana bulan ini menjadi bulan “banjir berkah” dan pahala.

Rasulullah saw bersabda “Man fariha bidukhuli Ramadan, harramallalhu jasadahu alan niiran” (barang siapa bergembira dengan kehadiran bulan Ramadan, Allah mengharamkan jasadnya disentuh api neraka).

Dari perintah Nabi Muhammad ini, nyadran menjadi salah satu wujudnya. Jika kita ingin masuk surga, tiketnya adalah menyambutnya dengan gembira. Apa cukup itu? Tentu tidak. Orang Islam di negeri ini melakukannya dengan tasyakuran salah satunya nyadran. Dalam tradisi nyadran yang dilihat jangan makanannya, budayanya, melainkan rasa tazim orang-orang yang masih hidup dengan orang yang sudah mati, alam, yang puncaknya ingin mendekatkan diri pada Allah.

Baca juga:  Belajar Kearifan Lokal Smong, Mitigasi Bencana Orang Simeulue

Tak ada nyadran bertujuan syirik, justru menjadi alat mendekatkan diri pada Tuhan. Lebih-lebih, tradisi ini diiringi tasyukuran pada Allah lewat merawat alamnya. Nyadran bisa berbentuk sedekah bumi, sedekah laut di berbagai daerah, gas deso, megengan dan lainnya.

Khusus di Temanggung, wujud penghormatan pada alam dan penghambaan pada Allah, ketika mereka mau tanam tembakau selalu menggelar ritual among tebal. Dalam praktiknya, para warga memohon pada Allah lewat doa bersama untuk mencapai hasil panen tembakau melimpah. Selain hormat pada alam, mereka juga menghamba pada Allah melalui tradisi itu karena menyerahkan semua hasil usaha taninya pada Allah.

Apakah nyadran hanya saat menjelang Ramadan? Tentu tidak. Hampir tiap Kamis sore sampai malam Jumat, umat Islam melakukan tradisi ziarah dan tahlilan yang juga bagian dari nyadran. Para kalangan militer seperti polisi dan TNI kita juga rajin menjaga tradisi ini dengan tabur bunga di makam pahlawan. Bisa saat momentum Hari Pahlawan, HUT RI, Hari Kartini, atau menjelang Ramadan.

Agama harus dinilai komprehensif, plural, toleran, dan rahmat bagi semua alam. Umat Islam diwajibkan berinovasi dan bisa menyesuaikan zaman dengan doktrin al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yaitu memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Syirik dan tidaknya, bukan pada perbuatan, melainkan pada pikiran dan hati. Kita tak bisa melihat hati orang pelaku nyadran. Ketika nyadran, mereka justru melafalkan ayat-ayat suci Alquran, selawat pada Rasullullah, kalimat tayibah, dan doa.

Nyadran menjadi tiket menggapai kemesraan rohani pada Tuhan, leluhur dan alam. Tanpa itu, kita hanya menjadi manusia yang sepi akan kemesraan jika tak dekat dengan alam, arwan leluhur dan juga Tuhan. Inti dari nyadran adalah penghambaan, mendekatkan, dan menyerahkan diri pada Allah. Apakah mendekatkan diri pada Allah itu syirik

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top