Pada Selasa, 12 Maret 2019, penulis berkunjung ke Yayasan Al Fachriyah di Ciledug, Tangerang. Suasananya damai dan tentram dikelilingi pohon yang rindang. Suara pengajian dari masjid juga terdengar ramai. Ratusan jamaah memadati pesantren yang didirikan oleh almarhum Habib Novel bin Salim pada 1993 tersebut.
Ternyata malam itu bertepatan dengan haul Habib Ahmad bin Hasan al-‘Athhas yang wafat pada 6 Rajab 1341 H. Acara dipimpin langsung oleh pengasuh, Habib Jindan bin Novel dan adiknya Habib Ahmad bin Novel.
Selepas acara, bersama teman penulis Daud Bengkulah, kami bersilaturahim kepada Habib Ahmad. Alhamdulillah dari obrolan hangat tersebut penulis merasa dapat banyak berkah yang pada akhirnya beliau memberikan beberapa kopian manuskrip kitab karangan sang kakek, Habib Salim bin Jindan (1906-1969).
Salah satu manuskrip tersebut berjudul Tsamaratul Aqlam fi Masyahiril A’lam. Isinya mengulas sejarah serta tokoh-tokoh berpengaruh dari zaman ke zaman.
Kitab ini berjumlah 30 halaman. Setiap halaman diisi 27 baris. Seluruh tulisan berbahasa Arab, beraksara hijaiyah tanpa harakat. Teks masih bisa terbaca dengan jelas. Terdapat iluminasi pada halaman pertama sampul dan tiga halaman terakhir.
Bisa dipastikan, kitab ini belum selesai disusun oleh Habib Salim. Sebab di sampul depan disebutkan bahwa kitab ini merupakan jilid pertama. Di teks terakhir pun kalimat terpotong: Ibarahim bin…
Ahmad al-Dubayan (2018: 93) memberikan informasi bahwa kitab ini disusun pada 1386 H atau 1966 M dan judul kitab ini pernah disebutkan juga dalam kitab Habib Salim berjudul Tharfatul ‘Alim.
Dalam prolog, Habib Salim bin Jindan menulis:
أما بعد فيقول العبد الفقير إلى رحمة ربه الراجي شفاعة جده سالم بن أحمد المعروف بابن جندان العلوي الحسيني الإندونيسي غفر الله ذنوبه وستر عيوبه
“Setelah dari itu, maka berkata hamba yang butuh atas rahmat Tuhannya, yang berharap pertolongan datuknya, Salim putra Ahmad yang dikenal dengan Ibnu Jindan al-‘Alawi al-Husaini al-Indunisi, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan menutupi keburukannya.”
Dalam kitab tersebut, yang menarik ialah pernyataan beliau bahwa Islam masuk ke Nusantara—Habib Salim menyebutnya Pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan—pada abad ke-6 Hijriah.
Beliau menegaskan, adapun orang yang pertama kali membawa Islam disebutnya Sunan Ampel yang wafat pada 827 H. Beliau juga menuturkan lengkap nasab Sunan Ampel dari kalangan ‘Alawiyin, sebuah data yang mengagumkan. Berikut lengkapnya:
وفي القرن السادس الهجري دخل الإسلام إلى جزائر جاوه وسومطره وبورنيو وأول من جاء به مولانا الإمام العلامة الداعي الكبير الأمير رحمة الله بن إبراهيم شاه بن ثناء الدين الحسين شاه بن أحمد جلال بن عبد الله خان بن الأمير عبد الملك الملقب بعظمت خان بت علي بن علوي بن محمد بن علوي بن عبيد الله بن الإمام المهاجر أحمد النقيب بن الإمام عيسى الرومي ين الإمام محمد الأذرق بن الإمام علي العريضي بن الإمام جعفر الصادق بن الإمام محمد الباقر بن الإمام علي زين العابدين بن الإمام السبط الحسين الشهيد بن الإمام علي بن أبي طالب المعروف عند مسلمي جاوه بسهونن عمفيل المتوفى في سرباية في حدود عام ٨٢٧ هجرية المقبور غربي المسجد الجامع الكبير
Habib Salim menambahkan, Sunan Ampellah yang menyebarkan Islam kepada masyarakat Jawa pada zaman Raja Brawijaya kelima. Berkat Sunan Ampel banyak yang masuk Islam, termasuk anak raja tersebut yang kemudian berganti nama Abdul Fattah.
Raden Patah inilah raja Islam pertama yang menggantikan ayahnya setelah runtuhnya Majapahit. Kemudian mendirikan kerajaan di Demak, antara Semarang dan Kudus. Dia pulalah yang mendirikan perkumpulan para mugalligh dakwah Islamiyah dengan beranggotakan sembilan ulama yang kemudian masyarakat Jawa menyebutnya Walisongo.
Di halaman 21 beliau mengatakan bahwa sejarah Indonesia secara lengkap, geografinya, dan riwayat kesukuannya telah beliau tulis di kitabnya yang berjudul Ittihafun Nabil bi Akhbar min Jazairil Arkhabil sebanyak dua jilid.
Tak hanya itu, beliau juga secara khusus pernah mengungkapkan sejarah kota Surabaya yang dirangkum dalam sebuah kitab bertajuk al-Mafakhirul ‘Aliyah.
Selain dua kitab di atas, setidaknya ada juga tiga kitab Habib Salim yang masih berkaitan erat, yaitu I’lamul Baraya fi A’lami Indunusiya, al-Mazaya bi Indunisiya, dan Tarikhu Dukhulil Islam ila Jazirati Indunisiya.
Ada salah satu kritikan Habib Salim bin Jindan terkait ilmu sejarah. Kata beliau, sejarah kita tidak banyak diajarkan di sekolah, tapi kita hanya mengenal sejarah Charlemagne atau Karel yang Agung, Karl V, Kaisar Romawi Suci, Charles Louis-Napoléon Bonaparte, atau tokoh filsafat Yunani, Socrates, Plato, dan Aristoteles, tanpa mencari tahu sejarah negeri sendiri apalagi terjun terlibat menulis sejarah.
Padahal, lanjut Habib Salim, kita perlu menambah tokoh-tokoh sejarah lainnya agar masyarakat kita memiliki kedekatan dan ikatan (irtibat) dengan tokohnya sendiri.
Dari ulasan singkat ini, kita ketahui bahwa Habib Salim bin Jindan bukan hanya sosok ulama pada umumnya. Melainkan juga seorang yang benar-benar konsentrasi pada sejarah dan riwayat tokoh.
Maka tak heran beliau dijuluki al-muarrikh sejarawan, an-nasabah pakar nasab, al-muhaddits ahli hadis, al-musnid pemilik sanad, al-adib sastrawan, di samping tentunya orator ulung, dan penulis produktif. Rahimahumullahu ta’ala wanafa’ana bihim. Amin
Baik jika karya Allamah Habib Salim bisa dialih Ahad akan dan disebarluaskan, terlebih lagi jika kajian itu dikaji lagi lebih luas…