Bermula dari Media Sosial
“Assalamu alaikum my sister.”
Sesederhana itu. Bermula dari menjawab seorang asing di media sosial, Muthana, gadis berusia 17 tahun itu akhirnya terjebak perangkap yang dipasang oleh tentara ISIS yang sedang mencari mangsa. Ia tak menyadari bahwa berbagai postingannya terkait hijrah dalam bahasa Inggris menarik minat Bilal, sang ‘jihadis’, untuk menyapanya. Tak perlu menunggu lama, keduanya kemudian saling berbalas chat dan bertukar kabar dari hari ke hari. Awalnya, mereka hanya sekadar mengobrol ringan tentang hobi dan makanan. Di lain waktu, mereka berbagi foto kucing peliharaan yang menggemaskan. Tak pernah ada kecurigaan dalam benak Muthana. Percakapan mereka begitu mengalir indah, tak pernah sekalipun ada sak wasangka.
Namun, siapa sangka bahwa itu hanya jebakan semata? Berawal dari iseng, Muthana kini memendam rasa suka. Apalagi tentara ISIS yang mengaku bernama Bilal tersebut tak pernah secara terbuka mengungkapkan apa yang terjadi di Suriah sana. Yang ia perlihatkan laksana ‘surga’: rumah mewah, dapur yang elegan dimana Bilal memasak banyak makanan khas Timur Tengah nan lezat, sesekali Bilal memperlihatkan langit senja, seakan sengaja mempertontonkan betapa romantisnya ia.
Dibuai kata-kata manis yang dibumbui janji-janji kehidupan yang lebih baik, Muthana pun tergoda. Kata Bilal, ia hanya perlu mendampingi laki-laki itu berjuang untuk mewujudkan cita-cita tertinggi Islam. Di sana, ia tak perlu banyak bekerja keras, semua tersedia. Dalam obrolannya, Bilal tak segan-segan menceramahi Muthana bahwa apa yang ia pelajari di bangku kuliah adalah hal sia-sia. Tak akan diperhitungkan di alam akhirat, katanya. Harapan baru akan kehidupan islami bersamanya terus menerus digaungkan Bilal.
Dengan memperlihatkan bendera dan gambaran sistem pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Al Quran, ucapan Bilal membuat Muthana tunduk. Kelak, ketika Muthana menyusulnya, ia akan tinggal di Islamic state tempat Bilal berada, wilayah yang ia klaim sebagai negeri syariah, berbeda dengan negeri-negeri dengan mayoritas penduduk muslim. Bagaikan terbius sihir, Muthana percaya begitu saja. Keinginan untuk dipersunting Bilal dan membangun mahligai pernikahan bersama membuatnya buta mata. Muthana yang dimabuk asmara pun segera memesan tiket untuk terbang menyusul Bilal di Suriah, uang SPP yang seharusnya dibayarkan untuk melunasi kuliah tahun pertamanya ia belikan tiket termurah demi menjemput sang kekasih hati.
Kepergian Muthana tak terdeteksi orangtuanya hingga suatu ketika pihak kampus melaporkan bahwa ia sudah sekian lama absen dari bangku kuliah. Diliputi panik luar biasa, orangtua kelimpungan mencari anak semata wayangnya. Pun ketika berhasil menghubunginya, alih-alih meminta maaf, Muthana justru meminta ayah ibunya untuk bertaubat karena mereka telah mengambil jalan yang sesat. Sedangkan ia mengklaim, di Suriah sana, sedang berjuang untuk mengembalikan kejayaan Islam seperti dahulu kala. Berbeda dengan Muthana yang dibakar semangat jihad salah kaprah, orangtuanya langsung lemas tak berdaya, mereka tak habis pikir mengenai apa yang sudah dibuat oleh anak perempuannya.
Perempuan Kini Target Utama
Berdasarkan kesaksian mantan narapidana terorisme (napiter) Haris Amir Falah, meningkatnya rekrutmen teroris perempuan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa organisasi-organisasi radikal kini melihat bahwa perempuan juga bisa diandalkan dalam melakukan serangan teror. Bahkan, dianggap lebih militan untuk menjalankan aksi. Terlebih, jika ia telah memiliki suami yang sudah sama-sama bervisi mati dalam ‘amaliah’, perencanaan dan pengendalian oleh pimpinan akan jauh lebih efektif.
Untuk kasus ISIS sendiri, para tentara mereka bahkan sengaja menjalankan strategi rekrutmen melalui Facebook dan Telegram dengan alasan bahwa kedua platform tersebut jauh lebih fleksibel dalam menggaet jihadis baru, utamanya bagi anak-anak muda yang belum berkesempatan mempelajari Islam secara komprehensif di bangku sekolah. Selain remaja muslim yang sedang mencari jati diri, target mereka lainnya meliputi mualaf-mualaf baru di negara-negara barat. Pengetahuan mereka yang minim tentang dasar-dasar islam kemudian membuka peluang bagi ISIS untuk meracuni mereka dengan paham radikal yang menjerumuskan.
Namun dalam banyak kasus, perekrut ‘jihadis’ baru ini tak serta merta mengajak targetnya untuk berperang. Sebagian besar perempuan yang mereka incar justru ‘dibuai’ dengan percakapan ringan sehari-hari mengenai hobi, aktivitas yang dijalani, dan hal-hal berbau asmara. Bahkan janji-janji manis tentang surga dengan jalan menikahi jihadis kerap dilontarkan sebagai daya pikat untuk menarik perempuan muda. Mereka juga tak selalu memperlihatkan medan perang dan pertumpahan darah.
Seperti halnya yang dialami Muthana, Bilal bahkan tak pernah sekalipun memperlihatkan bagaimana ia menghabisi nyawa orang di Suriah sana. Ia hanya sesekali saja memperlihatkan senjata, itu pun hanya untuk memperlihatkan sisi maskulinitasnya dengan ekspektasi Muthana akan melihanya sebagai sosok pemberani, berbadan kekar yang memenuhi kriteria laki-laki idaman yang diimpi-impikan. Lewat rayuan mautnya yang diselingi dalil asal comot, Bilal berhasil menaklukkan hati Muthana dan kini berhasil menggaetnya untuk datang ke Suriah. Berawal dari sapaan dan diskusi tentang hijrah, Muthana yang polos serta haus perhatian kini harus tenggelam oleh doktrin jihad maut yang dipropagandakan ISIS lewat media sosial.