M. Amruddin Latif
Penulis Kolom

Santri Pondok Tremas Pacitan dan Krapyak Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Studi Islam.

Belajar dari Kehancuran: Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan Majapahit

dinasti fatimiyah

Dalam teori siklusnya, Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa setiap peradaban akan mengalami tiga fase, yakni: perjuangan, kemajuan, dan kehancuran. Teori tersebut bisa ditarik pada konteks karier manusia, perusahaan, organisasi, bahkan negara. Dalam tulisan ini, kita terapkan teori tersebut atas siklus tiga imperium besar yang pernah berkuasa di bumi ini, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan Majapahit.

Sebagaimana sebuah peradaban lainnya, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, dan Majapahit juga mengalami tiga fase sebagaimana yang disebut oleh Ibnu Khaldun. Kali ini kita fokuskan pada sejarah kehancuran tiga kerajaan tersebut, beserta sabab musababnya, sebagai ibrah untuk kehidupan kita di masa mendatang.

Pertama, Dinasti Umayyah. Sebuah peradaban Islam pertama yang menerapkan sistem pemerintahan monarki, dengan Damaskus sebagai ibukotanya. Didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Umayyah mengalami puncak kemajuan di bawah kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.Setelah berkuasa selama kurang lebih 90 tahun, dinasti ini hancur pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad pada tahun 750 M.

Selain faktor eksternal, akibat pemberontakan yang diinisiasi oleh keluarga Bani Abbas yang dibantu Abu Muslim al-Khurasani, Dinasti Umayyah mengalami kemunduran akibat gaya hidup feodalisme dan konsumerisme khalifah dan pembesar-pembesar negara. Faktor lain yang dianggap sebagai biang utama kehancuran dinasti ini adalah klasifikasi sosial, dimana kaum Mawali (non Arab) memiliki status lebih rendah daripada mereka yang berasal dari Arab. Perlakuan diskriminatif ini, menyebabkan kaum Mawali bergabung dengan gerakan underground Bani Abbas dan melakukan konfrontasi yang berujung pada keruntuhan Umayyah.

Baca juga:  Buri Wolio: Pembahasalokalan Islam ala Ulama-Ulama Buton

Kedua, Dinasti Abbasiyah. Merupakan Renaisans Aufklarungnya dunia Islam. Pernah menguasai dunia selama 5 abad, kerajaan yang didirikan oleh Abdul Abbas as-Saffah ini mengalami puncak kejayaan di era Khalifah Harun ar-Rasyid. Kemajuan di berbagai bidang, terutama dalam keilmuan, membuat Dinasti Abbasiyah menjadi pusat peradaban dunia. Ribuan ulama lahir dengan karyanya yang monumental, membuat dinasti ini menjadi inspirasi seluruh manusia di era itu.

Figur khalifah yang lemah dianggap sebagai biang kehancuran Dinasti Abbasiyah. Khalifah-khalifah pasca al-Makmun tidak memiliki kapasitas yang mumpuni sebagaimana para pendahulunya. Kenyamanan dan kemapanan hidup para pangeran berakibat pada kelengahan. Para calon raja ini tidak memiliki semangat juang sebagaimana moyangnya, karena dari kecil tidak pernah ditempa oleh kepedihan. Kepekaan sosial mereka juga lemah, mereka tidak paham akan makna penderitaan, karena terbiasa hidup dalam kemewahan.

Kondisi tersebut di atas sungguh mengecewakan rakyatnya, banyak dinasti-dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Artinya, pemasukan negara mengalami penurunan drastis, karena semakin sedikit yang membayar upeti. Kondisi kerajaan yang sudah lemah ini diperparah oleh oknum-oknum penjilat yang penuh kepentingan. Dalam keadaan la yamutu wa la yahya, Dinasti Abbasiyah tak berdaya ketika pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan meluluhlantahkan Baghhad. Golden Age tinggal sejarah.

Baca juga:  Otoritas Kaum Sufi di Masa Dinasti Seljuk

Ketiga, Majapahit. Kerajaan yang kekuasaannya begitu luas ini berhasil menancapkan wibawanya dalam sejarah Nusantara. Duet antara Maharaja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, dianggap sebagai pemerintahan terbaik yang pernah dimiliki negeri ini. Sumpah Palapa begitu melegenda, sumpah ini berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil Nusantara. Majapahit menerapkan persemakmuran, bukan penjajahan.

Sebagaimana siklus peradaban, secara pelan kerajaan yang didirikan Raden Wijaya ini juga mengalami kehancuran. Kemunduran Majapahit bermula ketika Prabu Wikramawardhana terlibat perang saudara dengan Bhre Wirabhumi, saudara iparnya, yang di kenal dengan Perang Paregreg. Perang ini selain melemahkan kerajaan itu sendiri, kepercayaan rakyat perlahan mulai pudar. Armada Majapahit yang berjaya di zamannya telah lumpuh dan tak mampu menjangkau wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa. Wilayah kekuasaan Majapahit perlahan melepaskan diri dengan mendirikan kadipaten-kadipaten baru. Majapahit tinggal puing-puing.

Dari Sejarah untuk Masa Depan

Adalah sunnatullah, bahwa tidak ada yang abadi selain Allah. Kefaanaan makhluk adalah suatu keniscayaan. Meskipun demikian, kita bisa belajar dari sejarah, tentang apa saja yang menjadi penyebab dari sebuah kehancuran. Takdir akan keusaian sesuatu memang telah ditulis oleh-Nya, namun kita sebagai manusia wajib untuk memberikan yang terbaik bagi kehidupan. Sejarah dicatat agar kita dapat mengambil ibrah dari peristiwa yang baik, dan tidak terperosok di lubang keburukan yang sama. Karena memang siklus kehidupan terjadi berulang-ulang.

Baca juga:  Menelusur Kapitayan, Agama Purba Nusantara

Dari keruntuhan Umayyah kita belajar tentang keadilan. Diskriminasi terhadap sesama hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial dan memancing pemberontakan. Karena pada hakikatnya, manusia tidak pernah tahan terhadap kedzaliman. Pada Abbasiyah kita merenungi kedewasaan. Bahwa hidup tanpa tantangan hanya akan meninabobokkan. Kesuksesan orang-orang besar diawali oleh berbagai tempaan, derajat kemuliaan harus diongkosi dengan masyaqat dan perjuangan.

Selanjutnya, ambisi kekuasaan hanya mengantarkan manusia pada kehinaan. Kerajaan sedigdaya Majapahit runtuh karena konflik perebutan tahta. Kekuasaan memang menggoda, tapi berubah menjadi malapetaka manakala diperoleh dengan menghalalkan segala cara. Dunia pernah memiliki sejarah kelam, nyawa ribuan prajurit melayang, anak menjadi yatim, wanita menjadi janda, dan infrastruktur menjadi rusak, hanya gara-gara kegilaan satu orang yang penuh ambisi kekuasaan.

Indonesia hari ini masih terjebak hal yang sama, pemilihan umum yang digelar baik tingkat daerah sampai nasional syarat akan keculasan. Demokrasi masih menjadi jargon yang berada di menara gading. Konflik-konflik hari ini sering terjadi demi sebuah jabatan. Adanya demarkasi pendukung paslon A dan paslon B terus menganga bahkan ketika pemilu telah selesai. Jika persatuan tak lebih diutamakan ketimbang kekuasaan, bisa saja negeri kita juga mengalami kehancuran.

“Jika memburu kekuasaan hanya benar-benar demi kekuasaan itu sendiri, sebaiknya harap diingat bahwa tidak ada raja besar seberkuasa apapun yang tidak mengalami kehancuran.” –Cak Nun-. Wallahu A’lam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
7
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top