Oprah Winfrey di peringatan 100 tahun Mandela berbicara, “.. we are Mandela’s children. We choose unity over division, his legacy speaks to us… He said sometimes, it falls upon a generation to be great. You can be that great generation. Let your greatness blossom. Amen and happy birthday, Madiba..”
Menarik bahwa Oprah Winfrey menyebut kata “Madiba” di siaran televisi untuk memperingati “100 tahun Mandela” tersebut. Nama Madiba sendiri adalah nama “tradisional” Mandela, merupakan nama kerajaan karena Mandela adalah keturunan dari Ngubengcuka, salah satu raja Thembu. Sebagai keturunan bangsawan, rupanya Mandela cukup tawaduk. Pernah Mandela merasa sungkan karena teman-temannya yang dipenjara di Pulau Robben hanya dikunjungi 3 orang selama 15 tahun.
Menurut The Economists, selama di Pulau Robben, Mandela sering berbagi makanan dengan sesama kawannya, membantu sipir-sipir penjara dan secara intensif berdiskusi dengan bahasa Afrika. Mandela juga seolah memiliki “karomah” khusus, tak jarang dia dipanggil oleh Presiden P.W. Botha, “istirahat” sebentar dari penjara, untuk sekedar minum teh.
Setelah bebas pada 1990-an, Mandela memilih hidup santai di pinggiran kota daripada hidup mewah di Johannesburg. Pada saat liburan, Mandela kembali ke Qunu, di mana dia menghabiskan masa bahagia waktu kecilnya. Di Qunu, Mandela membangun rumah dengan desain seperti ruang tahanannya di penjara Victor Verster.
Di tahun-tahun inilah saya sekilas membaca tentang Nelson Mandela melalui surat kabar Kompas yang datang di sore hari di kampung saya, Jember, saat itu. Sampai akhirnya pada 1993, hadiah Nobel untuk Perdamaian diraih oleh Nelson Mandela bersama dengan Presiden Frederik Willem de Klerk, atas usaha bersamanya menghentikan rezim apartheid kulit-kulit putih dan peletakan pondasi bagi demokrasi di Afrika Selatan.
Mandela adalah “The Right Man on the Right Place at the Right Time” di penganugrahan Nobel ini. Runtuhnya komunisme, yang dipadukan dengan nasionalisme Afrika, sanksi internasional ke Afrika Selatan, tekanan ekonomi domestik, pergolakan di antara kulit-kulit putih dan simboliknya Nelson Mandela sendiri adalah pendukung utama Nelson Mandela meraih Nobel Perdamaian bersama dengan presiden yang kelak digantikannya.
Nelson Mandela sendiri pernah meramalkan bahwa dia akan menjadi Presiden pada saat usianya masih 33 tahun. Dia mengumumkan bahwa dialah yang akan menjadi presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan. Rupanya visi ini terasah sejak dari muda. Mandela sendiri awalnya hanya terkenal di negaranya sendiri. Tidak ada yang mengenalnya sampai di 1961, tahun sidang pertamanya. Dari sini Mandela bebas selama 1 tahun lebih, namun lalu dipenjara lagi selama 27 tahun. 17 tahun lebih, dia dipenjara di Pulau Robben, yang seperti Alcatraz di lepas pantai Cape.
Menurut catatan sejarah, Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al Makasari Al-Bantani, ulama besar asal Sulawesi Selatan, juga dibuang ke Pulau Robben oleh VOC. Nelson Mandela sendiri menyebut Syekh Yusuf sebagai salah seorang Putra Afrika Terbaik, yang dijadikan inspirasi oleh Nelson Mandela bagi perjuangan rakyat Afrika Selatan melawan apartheid. Mandela keluar penjara pada 11 Februari 1990, di usia 71 tahunan.
Yang bisa dipelajari dari Mandela selain dari kerendah-hatiannya walaupun dia adalah keturunan bangsawan, adalah kapasitasnya untuk melakukan kompromi dan rekonsiliasi. Strategi keberhasilannya sendiri bukan merebut kekuasaan dengan kekerasan namun membuat pemerintah mau bernegosiasi, walaupun sebenarnya sebagai panglima tertinggi di sayap bersenjata, Umkhonto we Sizwe, dia bisa lebih memilih untuk melawan dengan kekerasan.
Hal yang seperti ini sama dengan yang dilakukan Gus Dur, misalnya cara Gus Dur mengadakan safari ke daerah-daerah bersama Mba Tutut putri Presiden Soeharto, dengan salah satu cerita yang cukup terkenal tentang doa yang diberikan oleh Gus Dur ke seorang anak di Kebumen melalui mimpi, yakni “_Robbanaa Aatina Min Ladunka Rohmatan Wahayyi’ Lana Min Amrina Rosyada_”. Demikian juga cerita ketika Gus Dur lengser dari Presiden tanpa melawan, dengan prinsip “_tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian_”. Prinsip ini yang akhirnya menjadi pelunak pecinta Gus Dur yang bahkan menyebut dirinya sebagai “*pasukan berani mati*”.
Nelson Mandela banyak dipengaruhi oleh Marx. Dia banyak menulis mengenai Marxis. Gus Dur sendiri di buku biografi yang ditulis oleh Greg Barton, mengenal bahkan khatam buku Das Capital karya Karl Marx saat masih di SMP sekaligus saat menjadi santri Kiai Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta. Suhairi Ahmad menulis di santrigusdur.com, tentang esai Gus Dur yang terbit 13 Februari 1982 di kolom TEMPO, yang berjudul “Perubahan Struktural Tanpa Karl Marx.”
Dalam esai tersebut Gus Dur menjelaskan secara tersurat “Marx harus diikuti analisisnya terhadap keadaan, tetapi jangan begitu saja dituruti dalam kesimpulan. Dengan kata lain, marxisme harus dipahami sebagai kenyataan sejarah, tetapi belum tentu memiliki kebenaran transendental. Kita sendiri harus berani melakukan kritik atas marxisme, jika tidak ingin terjajah olehnya.”
Logika berpikir serupa Gus Dur gunakan untuk menanggapi tentang Islam. Kehadiran Islam pun jangan sampai menjajah. Ia harus berdialog dengan kebudayaan lokal yang eksis dan mengakar di masyarakat. Dialog kebudayaan ini yang dulu sempat dilakukan oleh para Wali Songo beserta murid-muridnya yang tersebar di berbagai pulau di Nusantara.
Melalui perjuangan-perjuangan Syekh Yusuf yang dilanjutkan oleh Nelson Mandela di Afrika Selatan, lalu Wali Songo yang dilanjutkan Gus Dur inilah, kedamaian di dunia ini bisa terwujud. Inilah teladan orang-orang yang berjuang; mengorbankan kenyamanan pribadi, tidak peduli dengan harta, tidak terlalu banyak tidur, ikhlas atas serangan-serangan ke dirinya serta keluarganya. Sifat kepahlawanan itulah, membut kita sekarang bisa hidup aman dan damai.