Dalam khazanah budaya Jawa terdapat gelar panggilan “Bagus” yang umumnya merujuk pada para anak ningrat dan kyai-kyai pesantren.
Gelar “Bagus” ketika masih muda ini biasanya cukup familiar yang terkadang karib dengan kenakalan yang melegenda.
Taruhlah Bagus Burham yang kelak menjadi seorang pujangga Jawa dengan gelar R.Ng. Ronggawarsita di keraton Surakarta.
Semasa masih dipanggil “Gus” kenakalannya di pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, cukuplah menjadi buah bibir khalayak bahkan hingga hari ini.
Malas belajar dan suka berjudi adalah beberapa kenakalan Bagus Burham yang sempat menjadikan beberapa wilayah di Ponorogo dan Madiun masuk catatan babad sebagai daerah perjudian bertaraf besar pada awal abad ke-19.
Namun, di samping Ronggawarsita, terdapat “Gus” dari keraton Surakarta lagi yang tak dikenal berdasarkan kenakalan-kenakalan masa mudanya.
“Gus” ini adalah Bagus Ngarpah yang pernah menerjemahkan sekaligus menafsirkan al-Qur’an dalam bahasa Jawa yang dikenal sebagai Kuran Jawi.
Dalam sebuah catatan, Bagus Ngarpah ini adalah seorang abdi dalem ngulama nagari di perkumpulan Waradarma.
Dalam menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur’an ini ia dibantu merapikan bahasa Jawanya oleh Ngabei Wirapustaka, seorang abdi dalem mantri Radyapustaka, Surakarta. Berikut ini terjemahan Jawa dari Surat Phatikhah.
Awit saking asma Allah, kang Mahamurah tur kang Maha–asih
Sakehing puji iku konjuk ing Allah kang mangerani ngalam kabeh.
Kang Mahamurah tur kang Maha–asih.
Kang ngratoni ing dina agama. (Dina agama tegese dina wewales, iya iku dina kiyamat, awit ing dina iku Allah nindaake wewales, angganjar wong mukmin sarta niksa wong kaphir. Jamal.).
Kawula nembah ing Tuwan, saha kawula nyuwun pitulung ing Tuwan.
Tuwan mugi nedahna wot leres (Uwot leres, tegese dalan kang bener, iya iku saraking agama Islam. Jamal.) dhumateng kawula.
Uwoting para tiyang ingkang sami Tuwan paring nikmat. (Nikmat, tegese sadhengah kang makolehi marang manungsa, nanging tumraping ana ing akherat, kang makolehi mau mung iman, iya iku pangandel marang Allah. Jamal.).
Dede tiyang ingkang sami kenging bebendu, lan dede tiyang ingkang sami kesasar.
Bagi khalayak Jawa yang kurang memahami bahasa Arab, namun sangat kental kejawaannya, berdasarkan Surat Phatikhah itu tentu tak akan musykil ketika seumpamanya “wot leres” dianggap memiliki persinggungan dengan “wot ogal–agil” dalam kisah pewayangan Jawa—sebagaimana “padang mahsyar” dengan “repat kepanasan.”
Artinya, dalam hal ini, bahasa Jawa atau secara keseluruhan budaya Jawa yang terwariskan seolah dapat menjadi titik-singgung dari berbagai hal yang berbeda.
Tak bermaksud untuk menyamakan, namun dengan bahasa Jawa berbagai hal yang tampaknya berbeda, yang sama-sama diungkapkan dengan bahasa Jawa, sepertinya adalah sebuah resonansi atas peristiwa yang keberadaannya mendasari resonansi itu sendiri.
Resonansi tentu bukanlah suatu suara dasar atau suara asli. Ia adalah semacam suara semu atau vibrasi.
Namun dari kesemuan inilah justru citra dan cerita yang berbeda terbangun.
Dengan demikian, perbedaan pada dasarnya adalah berbagai macam resonansi, yang di samping mampu berdiri sendiri, ternyata saling berjejalin atau memiliki titik-singgung.
Celakanya, titik-singgung inilah yang kemudian kerap dianggap sebagai hakikat.
Padahal, titik-singgung dari berbagai macam resonansi itu masihlah juga sekedar resonansi, sebatas vibrasi.
Maka, pernyataan bahwa segala sesuatu itu adalah sama pada akhirnya bukanlah pernyataan yang setepat pula pernyataan yang sebaliknya, bahwa segala sesuatu itu adalah berbeda.
Melalui Surat Phatikhah karya Bagus Ngarpah dapat diketahui bahwa pada titik ini kemampuan seorang manusia hanyalah “Kawula nembah ing Tuwan, saha kawula nyuwun pitulung ing Tuwan…Tuwan mugi nedahna wot leres dhumateng kawula.”