Imam Mawardi
Penulis Kolom

Mahasiswa yang lahir di Lamongan. Sekarang sedang menempuh pendidikan S-1 di UIN Walisongo Semarang, jurusan Studi Agama-agama. Saya sekarang berdomisili di Semarang, di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo.

Tari Boran Lamongan; Makanan dan Kesenian dalam Sebuah Tarian

Tari Boran 1

Lamongan merupakan salah satu kota yang terkenal dengan wisata kulinernya, yakni soto. Namun, selain soto masih ada lagi hal menarik yang dimiliki oleh Lamongan, salah satunya adalah sego Boran (Jawa: nasi boran). Boran sendiri adalah bakul. Tempat nasi yang terbuat dari bambu kering yang dianyam, biasanya digunakan oleh si penjual untuk menjajakan nasinya. Boran ini yang kemudian dijadikan sebagai nama makanan tradisional Lamongan tersebut.

Nasi boran ini hanya ada di Lamongan dan belum ada di daerah-daerah lain. Oleh karena itu, sampai-sampai nasi boran ini diadopsi untuk menjadi sebuah tari tradisioanal Lamongan. Tari Sego Boran atau lebih sering disebut Tari Boran ini merupakan tari kelompok yang biasanya dipentasakan oleh 7 orang (bisa lebih) dengan membawa boran yang diletakkan diatas kepala atau digendong. Tarian yang dilakukan selama lima menit sambil diiringi dengan alunan musik gamelan, yakni gambang, dan gong, menjadi perpaduan yang pas dalam tari ini.

Tari boran menceritakan tentang perjuangan dari penjual nasi boran di Lamongan. Mulai dari proses pembuatan, menjajakannya hingga proses interaksinya dengan pelanggan dan sesama penjual. Gerakan dinamis tari boran dengan ritme yang cepat dan tempo yang padat mengisyaratkan semangat, kegigihan serta keuletan penjual nasi boran dan itu sangat bagus apabila diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Semangat dan kerja keras yang dialami oleh penjual nasi boran ini juga dirasakan oleh penari tari boran yang sangat semangat dan energik dalam melakukan gerakan tari. Dan menariknya lagi dari para penjual nasi boran ini, buka hingga 24 jam secara bergantian tanpa ada kesepakatan antar penjual terlebih dahulu sebelumnya.

Baca juga:  Anime dan Manga: Membawa Pesan Kehidupan dan Keislaman

Tari boran ini awalnya tercipta karena kebutuhan festival Jawa Timur di Malang pada tahun 2006. Tari Boran terinspirasi dari para penjual nasi boran, yaitu makanan tradisional khas dari Lamongan, Jawa Timur. Pada jaman dahulu para penjual nasi boran menjajakan dagangannya dengan cara menggunakan wakul atau wadah nasi yang terbuat dari bambu dan ditaruh diatas kepala mereka untuk membawanya.

Untuk menjajakannya mereka berjalan kaki dan menawarkan dagangannya kepada setiap orang yang dijumpainya. Di bawah panasnya terik matahari dan kerasnya kehidupan mereka berjuang untuk mencari rejeki. Dari perjuangan mereka itulah yang menginspirasi para seniman di Lamongan untuk menciptakan Tari Boran ini. Pada tari boran, kegigihan mereka ditampakkan ketika menjajakan makanan dengan memasang muka jelek dan sura nyaring, seperti misalnya pada syair “Sambal, sili, pletuk peyek gimbal empuk….”

Nasi boran ini terdiri dari ikan gabus, ayam atau ikan sili yang cukup langka, kemudian sambal, daging ayam, jeroan, ikan bandeng, telur dadar, telur asin, tahu, tempe, udang, ceker ayam, bandeng dan juga urap-urap sayur. Adapun yang menjadi pembeda nasi boran dengan nasi pecel adalah pletuk (kacang yang dihaluskan) dan gimbal empuknya (mirip seperti gorengan).

Nilai Filosofisnya

Pertama,  nilai religi yang terkadung dalam tembang “Kidung wengi sepi mongko lekase gati” yang dilantunkan oleh pemain gamelan sebelum tarian dimulai. Bait syair tersebut  memiliki makna sebuah doa atau harapan di saat malam semoga sepi dan dan hal-hal yang kurang baik baik yang menimpa mereka maupun yang akan datang agar segera hilang atau lekas pergi.

Baca juga:  Catatan Festival Film Indonesia 2023: Narasi Kultural, Ekosistem Film dan Konstruksi Identitas Keindonesiaan

Kedua, nilai kemanusiaan. Terdapat dalam bait syair “Sego Boran lek lawuhe peyek, ealah dodolane sepi yu, yu…, aku melu yu ojo ditinggal, lek Sri ono iwak peyek ta?”

Nilai yang dapat diambil pada bait ini adalah nilai perjuangan si penjual nasi boran dalam mencari nafkah, toleransi, dan gotong royong antar penjual nasi boran untuk saling tolong menolong dan tidak memikirkan diri sendiri saja.

Ketiga, nilai kerukunan. Di dalam syair “Sak pincuk gawe wong loro, sing rukun, seng rukun…,” dari lirik tersebut dapat ditafsirkan bahwa rezeki semua sudah ada yang mengatur, para penjual nasi Boran menjunjung tinggi kerukunan walau berjualan jenis makanan yang sama secara berdampingan.

Keempat, nilai keindahan. Setiap gerakan dari tari ini, memiliki sisi keindahan masing-masing. Tari Boran disini menggunakan beberapa gerakan seperti tari Remo, Kepang dor, dan tarian Jawa timuran, mencerminkan gerakan tari yang tegas tanpa meninggalkan sisi feminimnya.

Keindahan dari Tari Boran ini terletak pada gerakannya yang indah dan tersusun rapi, serta keserasian dengan alunan musik gamelan yang mengiringinya. Ditambah lagi dengan busana yang dipakai oleh penari dengan menggunakan pakaian adat yang sederhana nan indah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top