Sedang Membaca
Omisijan dan Kidungan Sang Sunan
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Omisijan dan Kidungan Sang Sunan

Dalam kebudayaan Jawa, atau dalam kebudayaan mana pun, umumnya bayi dianggap sebagai sesosok yang suci. Hal ini kentara dalam berbagai ritual dan konsep yang melatarinya ketika bayi itu lahir di dunia (babaran). Bagi kalangan muslim Jawa, idealnya bayi itu ketika lahir langsung disambut oleh adzan di telinga kanannya dan iqamat di telinga kirinya. Hal ini mesti dilakukan oleh Bapaknya dan sebisa mungkin tangan pertama yang menyentuhnya bukanlah orang yang penuh dengan dosa, sebab bayi itu dianggap hatinya masih terbuka. Seandainya tangan pertama yang menyentuhnya adalah seorang pendosa berat, maka bayi itu akan kaget bukan kepalang (kagol).

Konon, fungsi adzan dan iqamat adalah sebuah penahbisan bahwa bayi itu adalah seorang muslim dan bagian dari umat Nabi Muhammad. Di samping itu ada kepercayaan bahwa rengekan bayi ketika lahir di dunia adalah karena ditusuk-tusuk oleh iblis yang bernama Omisijan. Ketika adzan dan iqamat dikumandangkan pada telinga kanan dan kirinya serta dideraskan surat al-Qadr di telinga kanan dan surat al-Ikhlas sebanyak 3x pada telinga kiri si bayi iblis itu tak akan lagi berani mengganggu.

Dari ritual awal kelahiran bayi itu dapat dipahami bahwa kisah seorang anak manusia sejak dari buaian hingga liang lahat adalah kisah tarik-ulur antara “kebaikan” dan “kejahatan” pada aras batinnya yang kelak akan mewujud pada aras fisiknya pula. Maka di sini, fungsi agama dan spiritualitas adalah sebuah ikhtiar yang bersifat preventif, agar manusia itu kelak tak akan celaka yang dalam kosakata agama disebut sebagai “slamet.”

“Kebaikan,” “kejahatan,” dan “keselamatan” tersebut tentu bersifat sangat luas. Secara pragmatis, itu semua dapat dimaknai bahwa kehidupan seorang anak manusia idealnya tak akan merugi. Hal ini kentara melatari konsep dan praktek ruwatan di kebudayaan Jawa. Orang yang ketiban sial atau hidupnya susah dan hendak diruwat disebut sebagai orang yang sedang “nandhang sukerta.”

Sukerta ini ternyata dapat diruwat dengan cara menggelar wayang ruwatan dengan lakon Murwakala dimana pada dasarnya orang yang sial adalah karena konsep waktu yang dihidupinya tak runtut yang dibahasakan dengan ungkapan disantap oleh Bathara Kala sebagai representasi waktu (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, 2020).

Dengan demikian, dalam hal ini, kebudayaan tradisional pun pada dasarnya memiliki persinggungan dengan agama. Kepercayaan soal dimakan sang waktu tersirat pula dari surat al-‘Ashr dalam al-Qur’an. Atau dengan kata lain, konsep “keselamatan,” baik yang disuarakan kebudayaan-kebudayaan tradisional maupun agama-agama sebenarnya tak terletak di ujung sana, di akhir masa. Inilah kenapa konsep “keselamatan” tersebut saya bahasakan tak sekedar bersifat ideal, tapi juga pragmatis.

Baca juga:  Wayang, Medium Komunikasi dan Dakwah Lintas Kelas

Ritual-ritual yang menyertai kelahiran bayi dalam kebudayaan Jawa bertolak dari kepercayaan di atas. Seusai bayi itu lahir biasanya orang Jawa di masa lalu akan menggelar ritual “ngethok usus” atau memotong tali pusar si bayi dengan menggunakan “welat” atau kulit bambu wulung yang berwarna semu hitam dengan dilandasi oleh kunir. Darah yang keluar kemudian dioleskan pada bibir si bayi hingga memerah. Di sinilah kepercayaan akan “sedulur tunggal welat” mendapatkan konteksnya.

Saya teringat sebuah film lawas yang mengisahkan perjalanan hidup seorang Bruce Lee yang dibintangi oleh Jason Scott Lee. Dalam film itu digambarkan bahwa sejak kelahiran Bruce, yang bernama asli Lee Siauw Lung, seperti disertai oleh sesosok yang mengerikan lengkap dengan baju perangnya. Sosok itu akan selalu mengganggu perjalanan hidup Lee Siauw Lung yang berpotensi menjadi orang besar.

Hanya ayahnya yang paham akan hal itu dan sebisa mungkin menyelamatkan takdir sang anak. Secara tersirat, sosok mengerikan yang menyertai Bruce itu yang juga menyebabkannya tumbuh menjadi pemuda yang bengal dan menunjukkan gelagat untuk menjadi orang yang gagal. Seusai diserahkan pada seorang guru kung fu aliran Wing Chun, Yip Man, ayah Bruce—karena kebengalan anaknya yang sampai harus berurusan dengan Triad—terpaksa sekuat tenaga untuk menyelamatkaan Bruce dengan memindahkannya ke Amerika.

Yang menarik bagi saya dari film yang berjudul “Dragon: The Bruce Lee Story (1993)” itu adalah penggambaran bagaimana sang ayah bertanggungjawab lahir dan batin pada anaknya. Dan memang, dalam film itu jelas digambarkan apa yang menjadi masalah mendasar kehidupan seorang Bruce Lee yang tak banyak diketahui oleh publik—yang memang berkaitan dengan hal-hal yang dianggap gugon tuhon. Masalah ini rupanya adalah juga masalah yang bersifat warisan. Sebab, sosok mengerikan itu juga mengganggu anak Bruce, Brandon.

Tapi, dalam film itu, sebelum sosok itu menjadi kendala Brandon di waktu dewasa, Bruce sudah menghadapinya mati-matian dan, pada momen itu, sempat mengalahkannya dalam sebuah pertempuran “gaib.” Secara tersirat sosok yang mengerikan itu seperti menjadi sebuah batu sandungan bawaan keluarga Lee. Terbukti, Bruce Lee dan anaknya, Brandon, mati muda dan tak jelas benar penyebab kematian mereka.

Keuletan ayah Bruce dalam menyelamatkan anaknya, dengan memindahkannya ke Amerika, ternyata tak cukup berhasil—meski terbukti Bruce Lee menjadi orang besar di sana. Demikian pula ketangguhan Bruce sendiri dalam mengalahkan sang sosok mengerikan yang tengah mengancam anaknya tak berjalan sebagaimana yang diinginkan, Brandon tetap mati muda sebagaimana ayahnya.

Baca juga:  Semangat Toleransi dalam Sinema Lintas Ruang (2): Qu’est-ce qu’on a fait au Bon Dieu? Cara Prancis Menghakimi Stigma dalam Multikulturalisme

Dari berbagai kebudayaan yang ada tampak bahwa manusia memang merupakan sebuah medan tarik-ulur antara dua buah dunia yang saling bertentangan. Dengan kata lain, pada akhirnya manusia itu sendirilah yang memiliki kuasa untuk menentukan hidupnya sendiri (dhewek) yang sebagian sudah digambarkan oleh berbagai tradisi yang diwariskan. Ritual-ritual Jawa yang bercorak islami di atas, dan berbagai ikhtiar ayah Bruce sekaligus Bruce sendiri pada masa kecil Brandon, adalah bukti bahwa pada akhirnya manusia mestilah bertanggungjawab pada kehidupannya sendiri. Di sinilah tradisi yang bersifat turun-temurun menjadi ada dan dihidupi dimana seolah perjalanan hidup seorang anak manusia di dunia ini sudah tersirat.

Ada sebuah tembang dari Sunan Kalijaga ketika bayi kerap merengek dan tampak gelisah. Kebudayaan Jawa mengatakan bahwa bayi itu sedang terkena “sarap sawan.” Dari kepercayaan ini ternyata kelahiran seorang anak manusia di dunia ini bukanlah tanpa persoalan yang menyertainya. Maka, kisah Bruce Lee di atas sebenarnya merupakan kepercayaan umum tentang kesucian bayi yang seolah mengancam kemapanan sebuah “keburukan” atau “kejahatan” yang memang sudah pula menyertai dunia.

Dalam tembang yang bermetrum Kinanthi warisan Sunan Kalijaga dikatakan bahwa bayi itu adalah kekasih Tuhan (kekasihira Hyang Widhi) yang selalu dijaga oleh malaikat (rineksa ing malaekat), diamong oleh bidadari (den emong ing widadari), dipayungi oleh Hyang Suksma (pinayungan ing Hyang Suksma) dan dikipasi oleh para nabi (kinebutan para nabi).

Dari penggambaran ini jelas bahwa dalam kebudayaan Jawa manusia dimengerti sebagai makhluk yang terlahir suci. Dan ternyata, dari tembang Kinanthi warisan Sunan Kalijaga itu, bukanlah lingkungan atau pergaulan semata yang menyebabkan manusia menjadi buruk ataupun bejat. Sejak rengekan pertamanya di dunia pun bayi itu sudah ditunggu dan diganggu oleh Omisijan yang kelak akan mencelakakannya atau membuat rugi hidupnya.

Ketika pun bayi itu tumbuh dan mendewasa unsur-unsur yang disifati sebagai jahat itu akan tetap juga mengganggunya sampai kelak si bayi menuruti kemauan mereka. Karena itu, secara filosofis, fenomena sarap sawan adalah sebuah bukti bahwa otonomi diri seorang anak manusia (dhewek) memang diakui dalam kebudayaan Jawa, meskipun bukanlah tanpa batas sebagaimana tuntutan kaum eksistensialis di Barat ataupun sebaliknya mutlak terkonstruksikan oleh realitas sosial maupun kebudayaan yang melingkupinya.

Baca juga:  Ummu Kultsum, Perempuan yang Dinanti-nanti

Secara spiritual dan kebudayaan, Sunan Kalijaga menganjurkan untuk sedini mungkin menjaga si bayi dari potensi-potensi yang mengarah pada keburukan ataupun kebejatan. Para orangtua mestilah mendayagunakan energi-energi yang positif sifatnya.

Ana kinjeng tangis mabur/ Mencok aneng sela ardi/ Myarsa tangise ki jabang/ Gya prapta amarepeki/ Arsa nyuwun kang lelara/ Ngalingi sarwi njampeni

Punapa ta jampinipun/ Godhong pasrah ing Hyang Widhi/ Berambang lembahing manah/ Temu teminah ing ati/ Adas uyah siring nala/ Mung salawat puji dhikir

Tegese dhikir puniku/ Manut marang Kanjeng Nabi/ Mukhamadinil mustapa/ Kalawan maknaning dhikir/ Eling mring Pangeranira/ Kang Agung Kang Maha Suci

Mangkana ta donganipun/ Alahuma Adam sarpin/ Kaeruhu wal kamolah/ Wajibuhu ngalaihi/ Warabuhu kayatolah/ Cep menenga aja nangis

Barangkali, banyak orang di pedesaan Jawa akan mengartikan godhong pasrah itu sebagai daun sirih dan berambang sebagai bawang merah yang memang sampai saat ini masih dipakai dan dilakukan untuk menyembuhkan si bayi yang terkena sarap sawan. Hal seperti ini, secara ilmiah, memang ada pula benarnya meskipun secara substansial tembang Kinanthi Sunan Kalijaga itu lebih mengartikannya sebagai sebentuk laku pasrah dan pemaaf (pada si bayi).

Dalam kebudayaan Jawa diyakini bahwa setiap bayi memiliki sang pamomong sendiri dimana dalam doa yang diwariskan oleh Sunan Kalijaga disebut sebagai Adam Sarpin yang konon dipercaya membuat manusia bersifat luhur sejak pembawaan, mengatasi jin dan malaikat dimana oleh al-Qur’an dibahasakan sebagai khalifah fi al-ardhi.  

Secara pragmatis, dalam perspektif psikologi humanisme, kepercayaan dan tradisi-tradisi yang bersifat warisan ini adalah terkait dengan dorongan spiritual-budaya pada kemampuan seorang anak manusia untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Dalam hal ini tak salah sebenarnya ketika banyak orang memaknai seorang yang dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang yang sukses secara penampakan, dengan ukuran harta benda ataupun status sosial dimana di kalangan pedesaan kerap disebut sebagai “wong gedhe” atau orang berpangkat.

Tapi wejangan Sunan Kalijaga ternyata tak semata berhenti di fase penampakan seperti ini. Karena jelas tak ada jaminan kemenangan “kebaikan” pada orang berpangkat. Bukankah dalam bahasa agama yang membedakan satu manusia dengan manusia lainnya adalah pada sisi ketakwaannya dan bukannya harta benda ataupun status sosialnya? Tentu, hal semacam ini memang sangat gampang dikatakan meskipun sulit untuk dilaksanakan. Tapi satu hal yang pasti, dengan tanpa harus bersikap semuci-suci, tak ada ruginya ketika orang memilih kebaikan atau menjadi orang baik.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top