Harem. Seringkali diartikan selir. Dalam istilah fikih, kata amat dan jariyah lebih sering digunakan. Maknanya agak menyakitkan: budak wanita. Beberapa etnis Arab di Pasuruan yang saya temui kadang menyebut istri sebagai harem. Tentu saja makna yang dimaksud adalah: orang suci, akar katanya sama seperti Masjidil Haram.
Namun kitab fikih justru sering menyebut istri sebagai halilah, wanita halal. Padahal harem dan halilah memiliki asal kata yang kontras (halal dan haram!).
Sebelum melangkah lebih jauh tentang selir (budak wanita) dalam hukum Islam, perlu ditegaskan lebih dulu bahwa sebelum Islam datang perbudakan sudah ada. Jadi perbudakan ada lebih dulu, baru Islam datang. Sama seperti konsep suami-istri, sudah ada sebelum Islam datang. Sama seperti jual-beli. Sejak sebelum Islam datang, jual-beli sudah ada. Jadi Islam hanya mengatur beberapa hal.
Nah, begitu juga perseliran ini. Sejak ribuan tahun sebelumnya ia sudah ada. Ketika Islam datang, maka Islam hanya tinggal mengatur beberapa hal yang memang perlu diatur.
Di antaranya adalah tentang cara pengambilan selir. Sebelum Islam datang, pengambilan budak dilakukan secara serampangan. Seringkali orang merdeka dijadikan budak. Kisah Nabi Yusuf adalah di antara kisah yang masyhur. Namun setelah Islam datang, hal ini sangat dilarang oleh Nabi Muhammad saw:
ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة … رجل باع حراً ثمّ أكل ثمنه
“Ada tiga orang yang menjadi musuhku esok di hari kiamat .. (salah satunya adalah) seseorang yang memperbudak orang merdeka kemudian memakan uangnya.”
Maka jalan utama untuk mengambil seseorang sebagai budak menurut kaca mata fikih klasik adalah perang. Dalam fikih dikenal istilah istirqaq alias memperbudak. Jadi di zaman dahulu, jika antara kaum muslim dan kaum kafir berperang, lalu kaum muslim menang, kaum muslim diberi beberapa pilihan atas tawanan perang yang enggan berdamai dengan membayar jizyah: mann alias membebaskan secara cuma-cuma. Fida’ atau menebus dengan hal-hal yang dirasa manfaat. Qatl alias dibunuh (ini terjadi biasanya jika tawanan memberontak). Dan terakhir, istirqaq alias memperbudak. Jika tawanannya perempuan, maka ia akan menjadi harem atau dalam bahasa Alquran milkul yamin.
Nah, seorang gundik atau harem ini bisa disetubuhi oleh tuannya. Jika ia cantik atau punya keahlian khusus (jago masak misalnya) harem ini akan berharga sangat mahal. Sebuah kisah pernah saya baca di buku tarikh (sialnya saya lupa baca di kitab apa): suatu hari pasca menaklukkan Persia, seorang Arab Badui (A’raby) kebagian jarahan perang berupa budak wanita jelita putri raja yang yang takluk. Karena si Badui tak terlalu berhasrat seksual tinggi, akhirnya ia memutuskan menjual harem cantik itu. Ia berkata di tengah kerumunan, “Ayo budak cantik dijual, cuma seribu Dirham.” Orang-orang di sekitar heran dan bertanya, “Kenapa budak secantik itu dijual semurah itu (seribu Dirham)?” Si Badui menjawab: “Loh, memangnya ada angka yang lebih tinggi dari seribu?” Jadi saking bodohnya, ia mengira angka tertinggi itu seribu.
Namun karena Islam ini anti perbudakan, maka beberapa bentuk memperbudak dibuntu oleh Islam. Seperti misalnya dalam fikih kita mengenal mukatab alias gundik yang mencicil kemerdekaannya. Jadi jika ada budak hendak membeli kemerdekaannya, maka seorang majika sangat dianjurkan (sebagian ulama mengatakan wajib) untuk menerima transaksi ini.
Selanjutnya adalah ummu walad atau mustawladah alias harem yang mengandung anak si majikan. Jadi jika ada majikan menyetubuhi harem-nya, Islam memutuskan bahwa jika si majikan mati, maka si harem otomatis menjadi wanita merdeka dan sudah tidak menjadi budak lagi. Haram hukumnya jika diwariskan ke ahli warisnya. Dan anak yang dilahirkan harem tersebut menjadi anak yang merdeka.
Bahkan saking inginnya Islam menghapus perbudakan, fikih memiliki istilah budak muba’adh alias budak yang separuh dirinya merdeka. Artinya, meskipun ia budak, namun ia tetap bisa memiliki harta sebagaimana orang merdeka.
Selain itu, orang Arab klasik memiliki kebiasaan unik: yakni menamai harem-nya dengan nama yang bagus. Sementara anaknya diberi nama yang jelek. Contoh, orang Arab sering memberi nama harem-nya dengan dinar (koin emas), nu’m (kenyamanan), jannah (kebun, surga). Sementara anaknya diberi nama yang buruk. Misal: kalb (anjing), dzi’b (serigala). Hal ini karena orang Arab berprinsip:
تسمي أبناءنا لأعدائنا وعبيدنا لأنفسنا
“Kami menamai anak untuk musuh kami, dan kami menamai budak untuk diri kami.”
Jadi tak heran jika dalam kutub adabiyah sering kita temui kisah seorang majikan lebih lembut kepada harem-nya ketimbang kepada putranya.