Pengarang kitab “Akhbarul Madinah” (Sejarah Kota Madinah), yaitu Ibnu Syabbah, seorang perawi hadis dan ahli sejarah yang hidup pada abad ke-3 Hijriah, menuturkan kisah yang menarik tentang Kanjeng Nabi Muhammad saw. Kisah ini, bagi saya, penting sekali karena bisa menjadi teladan bagi orang-orang yang hendak menjadi pemimpin.
Demikian kisah yang dituturkan Ibnu Syabbah:
Tahun-tahun pertama ketika Nabi baru datang di Madinah dan secara fisik masih cukup kuat, beliau punya kebiasaan menjenguk orang-orang yang sedang sakit keras dan menjelang maut — “ukhtudlira”, “dying”. Nabi akan menunggui, membacakan istighfar, memintakan ampunan bagi sang pasien, hingga yang terakhir ini meninggal. Kadang-kadang Nabi menunggu berjam-jam.
Kebiasaan semacam ini menimbulkan rasa kasihan pada sebagian sahabat. Mereka tidak tega melihat Nabi menunggu berjam-jam. Urusan beliau, sebagai kepala proto-negara Madinah dan pemimpin agama, tentulah banyak.
Akhirnya mereka bersepakat untuk tidak memberi-tahu Nabi jika ada seorang yang sedang sekarat. Mereka akan memberi tahu Nabi setelah yang bersangkutan meninggal.
Ketika Nabi diberitahu, beliau akan “cekat-ceket”, segera datang, menunggui jenazah hingga selesai di-“pulasara”, dikafani, lalu menyalatinya, dan kerap juga mengantarnya hingga ke pemakaman.
Melihat hal ini pun, para sahabat merasa kasihan. Nabi kadang harus menempuh jarak yang jauh untuk melayat seseorang. Ketika Nabi sudah mulai sepuh, dan badannya tak sekuat ketika masih muda, kebiasaan ini tentu memberatkan Kanjeng Nabi dan menimbulkan rasa kasihan pada sahabat-sahabatnya.
Lalu, sahabat membuat kesepakatan baru. Mereka tak akan memberi tahu Kanjeng Nabi jika ada orang meninggal. Merekalah yang akan membawa jenazah itu ke Madinah, ke sebuah tempat di dekat “ndalem” beliau. Di sana ada dua pohon kurma. Di sanalah biasanya Nabi manyalatkan jenazah-jenazah yang dibawa untuk “di-sowan-kan” kepada beliau.
Dengan demikian, Kanjeng Nabi tak perlu repot-repot untuk mendatangi rumah jenazah yang kadang letaknya jauh dari Madinah.
*****
Saat membaca kisah ini, saya langsung teringat seorang kiai dari daerah saya, Kiai Abdullah Salam, pamanda Kiai Sahal Mahfudh, dari Kajen, Pati. Mbah Dullah, begitu kami memanggil beliau di daerah Kajen, punya kebiasaan unik pada saat masih muda, yaitu mendatangi “walimah” atau resepsi pernikahan siapa pun yang mengundang beliau. Beliau tak sekedar datang, tetapi juga menikahkan.
Memang itulah tujuan orang-orang mengundang Mbah Dullah “rawuh”, datang, yaitu “tabarrukan”, ngalap berkah dari Mbah Dullah agar pernikahan putra-putri mereka mendapatkan keberkahan.
Saat beliau sudah sepuh dan tak mungkin lagi mendatangi walimah, orang-orang yang menginginkan agar putra-putri mereka dinikahkan oleh Mbah Dullah, untuk “tabarrukan”, membawa sepasang penganten ke “ndalem”, rumah beliau, dan beliau akan menikahkan di ruang-tamu yang tak cukup besar. Para tamu biasanya akan berjubel di ruang itu.
Yang unik: Kerap kali beliau lah yang menanggung seluruh kebutuhan konsumsi untuk para tamu yang datang menghadiri akad-nikah. Dan hal ini bukan berlangsung satu-dua kali saja, melainkan amat sering terjadi. Ruang tamu Mbah Dullah sering menjadi tempat pernikahan para pasangan yang hendak “tabarrukan”, ngalap berkah tadi.
Anda mungkin mengira bahwa kekuarga-keluarga yang membawa anak-anak mereka ke rumah Mbah Dullah untuk dinikahkan hanya sebatas mereka yang pernah menjadi santri atau kerabat dekat.
Sama sekali tidak. Yang minta dinikahkan oleh Mbah Dullah ini datang dari semua kalangan, baik yang dikenal oleh Mbah Dullah atau tidak, baik orang besar atau kecil, baik orang berpunya atau miskin. Semua dilayani oleh beliau, tanpa pilih kasih.
Teladan ini, di mata saya, mengharukan sekali. Ini contoh “a caring leader”, pemimpin yang peduli pada mereka yang menjadi pengikutnya. Apa yang dilakukan oleh Kanjeng Nabi dan diteladani oleh Mbah Dullah ini tampak sederhana, tetapi dampaknya sangat luar biasa. Teladan ini menciptakan perasaan “adem” pada para pengikut: bahwa pemimpin mereka peduli, bahwa mereka diperhatikan.
Dengan tindakan sederhana ini, Kanjeng Nabi, juga Mbah Dullah, menciptakan ikatan yang erat dengan umat yang menjadi pengikut, juga “trust”, kepercayaan. Ikatan ini tak bisa lahir karena ceramah saja, melainkan teladan yang langsung dilakukan oleh sang pemimpin.
“Eloquent speeches about common values, however, are not nearly enough,” kata James Kouzes dalam buku klasik mereka tentang bagaimana menjadi pemimpin, “The Leadership Challenge”. Artinya: khotbah yang berjela-jela tentang nilai yang baik, bagaimana pun, tak memadai. Tindakan seorang pemimpin jauh lebih “makjleb” dan menembus perasaan para pengikut.
Prinsip pertama tentang memimpin, menurut Kouzesz, adalah “model the way,” memberi contoh. Ki Hajar Dewantara merumuskannya dalam kalimat yang indah: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Empat belas abad yang lampau, Kanjeng Nabi telah meneladankan prinsip yang sekarang menjadi tampak “keren” karena ditulis dalam buku-buku manajemen yang kerap kita lihat di rak-rak toko buku bandara itu.
Sekian.
Catatan tambahan: Terima kasih kepada Mas Muhammad Muallif yang telah mengoreksi kutipan dari Ki Hajar Dewantara.