Nabi Muhammad saw dikenal sebagai sosok pemimpin yang penyayang kepada umatnya, lebih-lebih pada keluarga beliau. Salah satu hal yang menarik untuk diceritakan adalah hubungan Nabi Muhammad dengan dua cucu beliau, yakni Hasan dan Husain.
Dua cucu menggemaskan itu memiliki tempat yang spesial di hati Nabi Muhammad saw Tak heran jika nasihat lama menyebutkan bahwa kasih sayang kakek atau nenek untuk cucu biasanya jauh lebih terlihat daripada kasih sayang orangtua ke anak. Asumsi dasar yang melatarbelakangi nasihat lama ini adalah perbedaan peran antara mbah (dalam bahasa Jawa) dan orangtua.
Peran Mbah kepada cucu lebih cenderung “hanya” ke aspek mengasihi, tanpa disertai beban “mendidik”. Sementara orangtua memiliki peran ganda, satu sisi menyayangi anak-anaknya dan di sisi lainnya memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik anak-anaknya. Tanggung jawab itulah yang membuat orangtua dianjurkan untuk “mencintai” sekaligus “membatasi”.
Kasih sayang Nabi Muhammad kepada Hasan dan Husain terefleksi dari seringnya Nabi menggendong mereka berdua di pundaknya.
Di dalam Majma’ al-Zawaid, dikisahkan ketika Umar bin Khattab melihat dua cucu kesayangan Nabi sedang berada di pundak beliau. Umar berkata, “Sebaik-baik tunggangan adalah tunggangan kalian berdua.”
Nabi Muhammad langsung membalasnya, “Dan sebaik-baik penunggang adalah mereka berdua.”
Saking sayangnya Nabi saw kepada Hasan dan Husain, beliau sampai rela dan bahagia menjadi “tunggangan” mereka berdua. Kasih sayang Nabi Muhammad kepada keluarga –khususnya kepada cucu beliau– bertolak belakang dengan dengan suasana rumah tangga bangsa Arab pada masa itu yang terkenal dengan tradisi kaku dan keras (karena lebih menonjolkan ihwal karisma di hadapan keluarganya). Dari sini, Nabi kita ini sangat manusiawi sekali, bahkan perbincangan ringan dengan sahabat Umur di atas sangat bernada lelucon yang “keterlaluan”.
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, disebutkan bahwa seorang pemimpin bani Tamim, Aqra’ bin Habis terheran-heran ketika datang menemui Rasulullah dan mengetahui beliau sedang menciumi dua cucu tercinta. Lalu Aqra’ berkata, “Kau menciumi anak-anak? Demi Allah, aku memiliki sepuluh orang anak dan tak satu pun dari mereka pernah kuciumi.”
Mendengar pengakuan Aqra’, Nabi Muhammad mengucapkan sebuah satire halus untuk mengkritik kebiasaan kaku orang Arab, “Siapa pun yang tak bisa menyayangi, maka ia tak akan disayangi.”
Nah, Nabi saw agaknya bisa menyentil orangtua masa kini yang merasa risih saat menciumi anak-anaknya atau justru sebaliknya.
Prediksi Nabi terhadap Hasan
Selain kasih sayang, Nabi Muhammad juga pernah memprediksi masa depan Hasan. Nizhar Abazhah, Guru Besar bidang Sirah Nabawiyyah di Akademi al-Fath al-Islami Syria, dalam Fi Bayt al-Rasul menyebutkan bahwa Kala Nabi Muhammad sedang berada di atas mimbar dan Hasan berada di sampingnya, Nabi Muhammad mewartakan peristiwa besar yang akan dilalui oleh Hasan di masa depan. Nabi Muhammad berkata:
“Anakku ini , Hasan, adalah seorang pemimpin. Melalui dia, semoga nanti Allah mendamaikan perseteruan dua kelompok muslim.”
Prediksi Nabi Muhammad benar-benar menjadi kenyataan. Sejarah menyebutkan bahwa Hasan berhasil membuat rekonsiliasi damai bersama Muawiyah bin Abu Sufyan lewat jalan menyerahkan takhta kekhalifahan.
Sejak saat itu, keadaan umat muslim menjadi lebih terkendali, kondusif, dan tenang. Tak ditemui lagi pertumpahan darah dari kalangan Ahlul Bait maupun para sahabat lain.
Kedisiplinan Nabi terhadap Hasan
Nabi memang sayang kepada Hasan, tetapi kedisiplinan harus tetap ditegakkan. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, diceritakan sebuah kisah mendidik antara Nabi Muhammad dan Hasan. Kala itu, Nabi Muhammad sedang membagikan kurma sedekah.
Tetiba Hasan mendekati beliau, mengambil sebutir kurma, dan hendak menelannya. Seketika Nabi Muhammad menahan Hasan dan mengambil lagi kurma itu dari rahang Hasan seraya berucap, “Tak tahukah engkau bahwa kita sebagai ahlul bait tidak halal memakan sedekah.”
Akhir kata, bagi kalian yang telah memiliki cucu, selamat menyambut hari-hari sendu. Wallahu A’lam