Ketika Khalifah Harun Al-Rasyid berkuasa, teritorial khilafah Abbasiyah membentang sangat luas dari Madinah sampai daratan Eropa. Untuk itu ia sangat berhati-hati memilih gubernur di bawah kendalinya. Tingkah laku para gubernur dikontrol lewat laporan rahasia semua direktur jawatan pos di daerah. Ia baru menunjuk seorang gubernur setelah mendapat masukan dari dewan tidak formal yang beranggotakan tujuh ulama terpandang tentang kandidat yang hendak ia pilih.
Harun sendiri pernah jadi gubernur Baghdad sebelum diangkat jadi khalifah. Dia paham betul bahwa masyarakat di ibukota Daulah Abbasiyyah ini sangat multikultural. Baghdad dipilih jadi ibukota oleh Abu Ja’far Al-Mansyur justru untuk mendekatkan pemerintahan Islam yang semula berpusat di al-Hasyimiyah, dekat Kufah, dengan bekas ibukota Persia, Ctesiphon. Al-Mansyur sengaja ingin mendekatkan Islam dengan pusat kerajaan Majusi di masa lalu untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang lentur, ajaran teologinya mengayomi multikulturalisme, nilai-nilainya universal, syariahnya pun kompatibel untuk segala zaman. Inilah yang menjelaskan mengapa banyak menteri dalam Daulah Abbasiyyah diangkat dari keluarga Barmak yang berasal dari Balkh, Persia.
Gubernur Baghdad di masa Harun konon bernama Sayyid Unasa Al-Yamani, keturunan Yaman Utara. Dia terkenal jago memintal kata-kata yang bisa menyihir para pendengarnya. Apalagi dia pernah belajar bahasa Romawi sekaligus mendalami ilmu alam di Byzantium. Dengan ilmu yang dikuasainya itu, Sayyid Unasa ingin sekali menunjukkan kepada khalifah dan kepada publik bahwa ia mampu mananggulangi banjir yang kerap menenggelamkan Baghdad, sambil menaman kangkung dan bayam di sepanjang Sungai Eufrat dan Sungai Tigris yang mengepung kota itu.
Teknik yang diperkenalkan Sayyid Unasa itu biasa disebut ‘’naturalizantur‘’ – sungai dan air dinaturalisasi sesuai habitat alamnya. Ia mengkritik kebijakan semua gubernur Baghdad sebelumnya bahwa untuk menghindari banjir di kota metropolitan itu, bantaran kedua sungai tadi harus diperlebar, dikeruk, lalu didandani dengan teknologi manusia. Teknik ini disebut ‘’ordinationem‘’ – bantaran kedua sungai itu dinormalisasi agar sesuai dengan ukuran awal di zaman Kumarbi ribuan tahun silam.
‘’Sesuai sunnatullah, air yang tumpah dari langit itu jangan dibuang ke laut, tapi harus dimasukkan ke tanah. Baghdad akan kekeringan jika air hujan dibiarkan mengalir ke laut,’’ jelas Sayyid Unasa di depan tujuh anggota dewan penasihat bidang pemerintahan Khalifah Harun sebelum ia ditunjuk khalifah menjadi gubernur Baghdad.
Lima dari tujuh anggota dewan itu terpukau melihat retorika bicara Sayyid Unasa yang fasih, terutama Syaikh Zulkarnain Ad-Dimasqy, Sayyid Abdul Razzaq Al-Samarqandy, dan Syekh Zakaria Ibnu Nur Al-Sunandary. Dua ulama lainnya hanya mengikuti arus besar. Hanya dua ulama yang tegas menolak gagasan itu: Sayyid Ibnu Taqdir Al-Aulady dan Abu Nuwas. Saking tergila-gila dengan retorika Sayyid Unasa, ketiga ulama itu bahkan sampai menggalang suara di komunitas mereka, mendesak agar Khalifah Harun menolak empat kandidat gubernur lain dan hanya menunjuk Sayyid Unasa.
Kepada Sayyid Unasa, Abu Nuwas bertanya hati-hati: ‘’Tuan, gagasan Anda tentang naturalizantur memang bagus, kapan lagi penduduk Baghdad tidak kebanjiran dan sekaligus bisa memanen kangkung dan bayam di kota besar seperti Baghdad ini. Tapi, apakah gagasan ini realistis?’’
‘’Mengapa tidak realistis?’’ sergah Sayyid Unasa dengan retorika meyakinkan. ‘’Inilah yang disebut manajemen spiritual dalam mengelola air. Anda harus yakin bahwa air hujan yang turun itu bisa kita ajak bicara dengan bahasa batin. Kita bisa memperlakukan mereka secara manusiawi dengan menyuruh mereka masuk ke bumi lalu menyegarkan tumbuh-tumbuhan yang kita tanam di sekitar sungai!’’
Sayyid Ibnu Taqdir Al-Aulady yang sepaham dengan Abu Nuwas langsung angkat tangan. ‘’Tolong Anda catat, air yang mampir ke Baghdad di musim hujan bukan cuma datang dari langit, tapi juga dari pegunungan Taurus di Turki dan Gunung Kanzuras. Volumenya sangat besar, bisa menggulung Baghdad jika kita tak hati-hati mengelolanya. Ribuan tahun air itu dibuang ke Teluk Persia lewat sungai Tigris dan Eufrat, baru sekarang saya dengar ada gagasan menangkap air bah di kolam-kolam dalam kota dengan teknik zikir.’’
Tapi, peringatan kedua anggota dewan itu selalu dipatahkan oleh retorika bicara Sayyid Unasa yang piawai. Argumentasinya selalu didukung oleh Sayyid Zulkarnain yang memang tidak setuju dengan dua kandidat lain akibat perbedaan agama dan suku. Kandidat paling potensial mengalahkan Sayyid Unasa sebenarnya adalah Maah Kamil Al-Farisiy, gubernur yang masih berkuasa di Baghdad saat itu. Ia keturunan Persia beragama Majusi. Kandidat kuat lainnya adalah Marheshwan bin Mousa, lelaki Yahudi asal Palestina yang saat itu menjabat direktur jawatan pos di Suriah.
Abu Nuwas sangat tak suka cara berpolitik Sayyid Zulkarnain yang mengangkat isu perbedaan agama dan suku ke ranah politik. Cara ini bukan hanya bertentangan dengan semangat Abu Ja’far Al-Mansyur yang sengaja mendekatkan Baghdad ke tengah komunitas Persia yang sebagian penduduknya masih beragama Majusi, tapi juga bertentangan dengan nilai-nilai universalisme Islam yang menghargai multikulturalisme. Jika perbedaan agama dan suku itu tidak diayomi oleh negara, Abu Nuwas khawatir lambat laun mereka kecewa pada Islam sebagai agama, bukan kecewa pada umatnya yang salah menafsirkan Islam, lalu mendorong mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme sebagai pelarian atas kekecewaan mereka pada negara.
Tapi, apa mau dikata, bukannya setuju dengan Abu Nuwas, Sayyid Zulkarnain malah mengajak empat ulama yang tergabung dalam dewan pemilih itu berkoar-koar di alun-alun mengajak penduduk Baghdad agar menekan khalifah untuk hanya memilih gubernur Muslim. Sayyid Unasa, yang pernah belajar ke Roma dan Byzantium, mestinya punya wawasan kebangsaan yang luas lalu menolak cara-cara politik Sayyid Zulkarnain. Tapi, demi kekuasaan, dan tidak peduli dengan masa depan politik Baghdad, ia malah merapat dan berbaik-baik dengan kelompok garis keras ini.
Demi menekan suhu politik yang semakin memanas, Khalifah Harun akhirnya menunjuk Sayyid Unasa sebagai gubernur Baghdad, meski sebenarnya dia lebih memilih Maah Kamil Al-Farisiy, gubernur Baghdad saat itu. Harun mempertimbangkan banyak faktor ketika pada akhirnya ia mengangkat Sayyid Unasa. Dia menginginkan suhu politik Baghdad stabil agar dia leluasa membangun Abbasiyyah. Lagi pula, diam-diam, dia ingin tahu juga seperti apakah konsep naturalisasi sungai yang dimaksud Sayyid Unasa?
Tiga tahun memimpin Baghdad, Sayyid Unasa hampir tak berbuat apa-apa dengan tujuh anak sungai Eufrat dan Tigris yang membelah kota metropolitan itu kecuali menanam kangkung dan bayam di pinggir kali. Anggaran untuk menanggulangi banjir Baghdad pun dia pangkas, demi satu keyakinan bahwa naturalisasi sungai tak butuh biaya besar. Dia bahkan pernah menutup dinding sungai yang kotor dengan kain penuh lukisan gunung dan taman bunga agar terkesan sungai itu sudah bersih. Mata bisa dikelabui, tapi hidung tak bisa dibohongi. Biar sudah ditutupi kain penuh lukisan kebun indah, air sungai itu tetap saja mengeluarkan aroma 70.000 anak jin yang tidak pernah mandi. Akhirnya kain penutup itu dicabut, sungai yang kotor kembali terlihat.
Di tahun ketiga kepemimpinan Sayyid Unasa, menjelang musim hujan tiba, banyak ilmuwan di Baghdad memprediksi pusat peradaban Islam itu akan diguyur hujan dengan intensitas tinggi. Diam-diam, ketika Sayyid Unasa menghadiri resepsi pernikahan putri Sayyid Zulkarnain, ulama ini membisiki gubernur idolanya itu untuk melanjutkan pembangunan tanggul di dekat rumahnya yang tidak selesai dikerjakan oleh Maah Kamil Al-Farisiy. Rupanya takut juga ulama itu dengan isu banjir yang bakal melanda Baghdad.
Tapi, di balik penampilannya yang ramah tamah, Sayyid Unasa sebenarnya keras kepala dan punya gengsi besar. Melanjutkan pembangunan tanggul yang telah dirintis Maah Kamil berarti membenarkan konsep normalisasi sungai. Ini tak boleh terjadi, pikirnya. Maka, dibiarkan saja permintaan Sayyid Zulkarnain itu meski dia pernah berjasa memperjuangkan Sayyid Unasa jadi gubernur.
Musim penghujan pun tiba. Baghdad dilanda banjir luar biasa, lebih hebat dibanding banjir pada periode-periode sebelumnya. Bukan cuma kangkung dan bayam yang mengambang, ribuan ekor onta dan pedati pun ikut hanyut. Bahkan banyak rumah dibawa arus deras Sungai Tigris dan Eufrat.
Untuk menghibur rakyat Baghdad, Sayyid Unasa berenang ke sana ke mari di kolam renang raksasa Baghdad. Dia menghampiri rakyat dengan wajah sendu dan sedih, tapi rakyat enggan menemuinya. Padahal, biasanya setiap gubernur datang ke suatu tempat, rakyat Baghdad pasti menyambut mereka dengan suka cita.
Atas perintah khalifah, Abu Nuwas mengawasi kota Baghdad dengan sampan, hingga sampailah ia di Kadrah, daerah tempat Sayyid Zulkarnain tinggal. Dia melihat ulama itu duduk di atas genteng dengan muka dipenuhi sampah kangkung. Rupanya banjir menggenangi rumahnya hingga setinggi genteng. Sesal kemudian tentu saja tak berguna. ”Ampuuuuun,” teriaknya dari atas genteng.
Marah dengan kondisi Baghdad seperti itu, Khalifah Harun memanggil Sayyid Unasa yang tengah berenang ke sana ke mari di air keruh. Dengan wajah tegang dia bertanya pada gubernur Baghdad yang datang ke istana memenuhi panggilan khalifah.
‘’Kamu bilang dengan program naturalisasi sungai Baghdad akan terlepas dari banjir. Kenapa sekarang kota saya tenggelam seperti ini?’’
‘’Tenang baginda,’’ jelas Sayyid Unasa sambil mempertunjukkan retorika bicara seperti biasanya. ‘’Masyarakat hanya tidak sabar. Baghdad sebenarnya tidak kebanjiran.’’
‘’Tidak kebanjiran? Lha itu!’’ Khalifah Harun menunjuk air yang menggenang di depan istana.
‘’Oh, itu bukan banjir, baginda. Saya sudah berbicara pada air itu. Mereka hanya sedang antre masuk ke bumi.’’ (RM)