Satu daerah bernama Wengker konon merentang dari Timur yakni Gunung Lawu hingga ke Barat, Gunung Wilis, bahkan ke Selatan sampai ke Kabupaten Pacitan kini. Pada sisi Utara, Wengker tak sampai melewati Madiun, yang sejak era pralaya memang sudah eksis sebagai ibu kota Wotan Mas, pemerintahan transisi dari Mataram Kuno ke Kahuripan (Jawa Timur).
Menurut prasasti Waringin Pitu, Wengker pernah tercatat sebagai satu dari 14 provinsi utama kerajaan Majapahit, yang pada waktu itu dibangun dan dipimpin oleh Wijayarajasa yang bergelar Priya Haji Sang Umunggu Wengker Bangun Hyang Upandra Nurun Narpari Wijayarajasanopamana Parama-Ajnottama.
Seperti legenda Menak Sopal (1498-1568), warok Suro Gentgo di Gunung Pegat juga adalah anak buah dari Ki Demang Suryangalam atau Ki Ageng Kutu (Wengker Selatan kini). Menak Sopal sekarang menjadi satu ikon Kota Trenggalek, yang dahulu adalah bawahan Wengker (gelar “menak” merupakan gelar kebangsawanan di zaman Majapahit). Adapun warok Suro Gentho secara administratif sekarang masuk wilayah Kabupaten Pacitan.
Secara geopolitik, dahulu pemerintahan Suryangalam bercorak mandala sebagaimana kerajaan Majapahit, meski hanya berkiblat empat dan lima sebagai pancer-nya. Delapan penjuru mata angin pada mandala Majapahit disederhanakan menjadi empat, yang di masing-masing wilayah itu dipimpin oleh seorang warok. Ki Demang Suryangalam sebagai punjer di Surukubeng, wilayah Desa Kutu Kecamatan Jetis sekarang; warok Gunaseca di Utara, Kecamatan Siman kini; warok Hanggalana di Barat, Kecamatan Sukorejo kini); warok Suro Gentho di Gunung Pegat, Kabupaten Pacitan kini; warok Singo Kobra di Timur (perbatasan Ponorogo-Trenggalek kini).
Menilik pada sejarah tersebut, maka secara ideologis dan kultural, wilayah kekuasaan Ki Demang Suryangalam merentang dari Kecamatan Siman ke Selatan, yang di hari ini dikenal sebagai daerah Ponorogo Selatan—yang secara politis pernah menjadi rival Ponorogo Utara di bawah pengaruh pendiri kabupaten Ponorogo sekarang: Bathara Katong.
Dengan corak warok yang identik dengan ke-jadug-an (baca: kesaktian) tersebut, konon wilayah Ponorogo Selatan tak mudah untuk di-“islam”-kan (Lenyapnya Sisi Politis Reyog, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). Berkembang mitos bahwa hanya kiai-kiai sakti yang mampu menundukkan wilayah Ponorogo Selatan. Dua di antaranya adalah Kyai Ageng Muhammad Besari di Desa Tegalsari Kecamatan Jetis (yang pernah sedikit saya singgung di buku saya, Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai, Kreasi Wacana, 2011) dan Syekh Yahuda di dusun Margodadi, desa Nogosari, kecamatan Ngadirojo, kabupaten Pacitan.
Menilik pada kisah islamisasi di kabupaten Ponorogo, ternyata memiliki dua era dan corak. Era dan corak Bathara Kathong (1482-1532) di Ponorogo Utara dan Kyai Ageng Muhammad Besari di Ponorogo Selatan. Eyang Yahuda sendiri memiliki pertalian nasab dengan Kyai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari yang meninggal pada tahun 1760—yang menurut perhitungan saya terlahir pada tahun 1714-15 di mana pada tahun 1742 mendirikan masjid Tegalsari dan pesantren Gebang Tinatar.
Berkembang sebuah nujuman di wilayah Ponorogo Selatan bahwa kelak dominasi Bathara Katong di Ponorogo Utara akan berakhir di tangan “Bupati Lancur” yang ternyata fakta sejarahnya merujuk pada Adipati Cakranagara I (1811-1902), dengan nama muda Raden Mas Lantjoer atau Raden Mas Koesen, yang merupakan anak keturunan Kiai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari dengan salah putri Ki Ageng Mantub di Desa Ngasinan, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo. Di masa kepemimpinan Adipati Cakranagara I inilah ibu kota kabupaten Ponorogo berpindah, dari kota lama (wilayah Setono kini), ke kota baru (kompleks kantor Pemkab sekarang).
Syekh Yahuda sendiri merupakan salah satu trah Tegalsari yang mensyiarkan Islam di wilayah Pacitan. Saya menyempatkan diri untuk menziarahinya dan memetik apa yang dapat diperoleh darinya. Dengan melihat karakteristik makamnya saya kira Syekh Yahuda ikut pula terlibat dalam perang Jawa yang dikobarkan Pangeran Dipanegara pada tahun 1825-1830. Dengan demikian, ia hidup sezaman dengan Kanjeng Kyai Kasan Besari (1799-1862), cucu dari Kyai Ageng Muhammad Besari.
Seperti yang pernah saya catat bahwa salah satu ciri khas makam para pengikut Dipanegara adalah khumul yang dapat diartikan bercorak sederhana (pendheman/mastur) dan tanpa ornamen mencolok laiknya makam para pembesar (Kawruh, Matahari dan Rembulan Kemanusiaan, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com).
Ada pendapat yang menyatakan bahwa Dipanegara merupakan penganut tarekat Syatthariyah. Tapi saya memiliki pendapat lain, bahwa tarekat seorang Dipanegara merupakan tarekat campuran antara Syattariyah dan Naqsyabandiyah yang kemudian mastur dengan sesebutan Akmaliyah. Ini mirip catatan Martin Van Bruinessen tentang tiga kiai serangkai di wilayah Banyumas yang merupakan anggota laskar Dipanegara, yang kemudian tertangkap dan dibuang Belanda (Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, 1995). Di masa lalu hanya orang-orang Akmaliyah yang memiliki ciri khas banyak wirid dan ke-jadug-annya karena merupakan tarekat campuran.
Syekh Ihsan Jampes Kediri penulis kitab Sirajut Thalibin yang terkenal itu dan KH. Chamim Jazuli adalah beberapa kyai yang merupakan keturunan Syekh Yahuda Pacitan sebelum bersambung ke Kyai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari, Ponorogo.
Adapula Mbah Mesir yang menurut Gus Dur (Gus Miek: Wajah Sebuah Kerinduan, 1993) merupakan pembawa tarekat Syadziliyah pertama kali di Trenggalek, juga memiliki pertalian nasab dengan Syekh Yahuda. Sementara nasab Gus Dur sendiri, melalui jalur Nyai Nafiqoh, bersambung ke Kyai Ageng Basyariyah (Bagus Harun di Sewulan, Madiun), santri kinasih Kyai Ageng Muhammad Besari yang merupakan putra dari Ki Ageng Nalajaya di Sumoroto, Ponorogo.
Tarekat Akmaliyah ini, yang setelah perang Jawa berakhir, dibawa dan di-babar-kan secara sesidheman (diam-diam) di lingkungan pesantren atau bertransformasi menjadi seperti kapitayan di kalangan akar-rumput. Pada rantai wasilah (sanad) tarekat Syattariyah di Jawa Timur, terdapat nama Raden Margono sebagai salah satu wasilah-nya—atau setingkat mursyid pada tarekat-tarekat lainnya—yang dalam berbagai catatan merujuk pada nama lain Sunan Kalijaga.
Tapi pada tarekat Akmaliyah, meskipun memiliki kemiripan corak dan aurad-nya, sanad-nya bersambung pada Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq dan bukannya Sayyidina Ali sebagaimana tarekat Syattariyah. Di tangan ulama-ulama nusantara percampuran tarekat sebenarnya adalah hal yang biasa, bukankah Syekh Ahmad Khatib al-Shambasi—pendiri tarekat qanaq–juga meracik dua macam tarekat dengan sanad yang berbeda, Qadiriyah (yang bersambung ke Sayyidina ‘Ali) dan Naqsyabandiyah (yang bersambung ke Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq)?
Konon ada satu kekhasan pada kiai yang menjadi penganut tarekat Akmaliyah: mendirikan pesantrennya di dekat sungai. Itulah kenapa banyak pesantren di hari ini didirikan di dekat sungai sebagaimana tata ruang kota yang diracik Kalijaga yang lestari sampai kini: bangunan sebagai pusat pemerintahan (praja), di mana di sebelah kanannya terdapat masjid Agung atau Jami’ dan di sebelah kirinya menjadi tempat aktivitas ekonomi yang semuanya sama-sama menghadap ke alun-alun.
Dari Kiai Ageng Muhammad Besari, yang kemudian diambil pula oleh Kyai Ageng Basyariyah, terdapat istilah jalur panengen (kanan) dan pangiwa (kiri). Panengen merujuk pada anak keturunannya yang menjadi para pensyi’ar agama, kyai, sufi, dan seterusnya. Adapun pangiwa merujuk pada anak keturunannya yang menjadi pejabat publik, orang pemerintahan, atau taruhlah orang-orang sekuler (yang tak berkecimpung dalam bidang agama).
Adipati Cakranagara I dan Haji Oemar Said Cokroaminoto adalah beberapa tokoh yang menjadi anak keturunan Kyai Ageng Muhammad Besari dari jalur pangiwa. Sementara Kyai Ihsan Jampes dan KH. Chamim Jazuli adalah beberapa nama yang berasal dari jalur panengen.
Karena perkembangan zaman beserta konteks sosial-politiknya, kedua jalur ini pernah pula berselisih paham yang akhirnya memudarkan kebesaran pesantren Gebang Tinatar dan Kyai Ageng Muhammad Besari tepat pada generasi ke-IV, pada masa kepemimpinan Kyai Kasan Chalifah yang meninggal pada tahun 1873.
Jalur panengen menyebar ke kota-kota lainnya di Jawa Timur dengan pesantren-pesantrennya. Dan jalur pangiwa menyebar pula menjadi tokoh-tokoh nasional, orang-orang pemerintahan dan sekuler lainnya, hingga sampai di Selangor dengan Zainal Abidin yang menjadi salah satu menantu sultannya.
Zainal Abidin sendiri merupakan salah satu putra dari Kyai Ageng Muhammad Besari yang mesti bertirakat dan mengasingkan diri karena dikaruniai rupa yang tak begitu elok sebagaimana saudara-saudaranya yang lain. (SI)