Sedang Membaca
Nasionalisme Konservatif dalam Politik Indonesia
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Nasionalisme Konservatif dalam Politik Indonesia

Img 20200629 Wa0012

Dalam beberapa hari terakhir kita menyaksikan dua orang menteri dalam kabinet pemerintahan Jokowi ditangkap oleh KPK. Kebetulan keduanya berasal dari partai yang dianggap nasionalis, yaitu Gerindra dan PDIP. Yang menarik, setelah kejadian ini terjadi, kenapa tidak ada orang yang teriak “makanya jangan bawa-bawa nasionalisme ke dalam politik”?

Bayangkan jika yang ditangkap itu adalah pejabat negara yang berlatar belakang PKS misalnya. Pasti setelah itu orang-orang akan ribut. “Makanya jangan bawa-bawa agama ke dalam politik,” kurang lebih inilah kata-kata yang sering terdengar.

Saya tidak sedang menyerang Gerindra dan PDIP pada satu sisi dan mendukung PKS pada sisi yang lain, tetapi sedang menunjukkan adanya bias sekuler dalam pemahaman kita tentang politik. Pemahaman ini diajarkan di sekolah modern sejak tingkat dasar hingga universitas. Dalam pelajaran kewarganegaraan atau sejenisnya, politik selalu digambarkan sebagai arena yang seharusnya—paling tidak sebaiknya—steril dari agama. Bahkan di Indonesia yang dalam praktik bukan negara sekuler sama sekali, pemahaman bahwa politik seharusnya atau sebaiknya steril dari agama telah diyakini oleh sejumlah kalangan yang mengaku “nasionalis”.

Pertanyaannya, siapakah kalangan yang mengaku nasionalis tersebut? Di tahun-tahun ketika agama sering diidentikkan dengan fundamentalisme, radikalisme, dan bahkan terorisme, pertanyaan ini seakan terlupakan. Namun lebih dari itu, seolah-olah nasionalisme sebagaimana yang dibayangkan oleh kalangan yang mengaku nasionalis adalah obat alternatif terhadap penyakit agama yang fundamentalis, radikal, dan teroris itu. Benarkah demikian?

Baca juga:  Guru Madrasah Berinovasi Mendidik Generasi (3): Merawat Kemuliaan Guru, Menjaga Marwah Lembaga Pendidikan Islam

Kalau membaca buku Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State (2015) karya David Bourchier, kita akan mendapatkan pengetahuan yang berbeda.

Kata Bourchier, alih-alih meliberalisasikan, nasionalisme Indonesia pada dasarnya lahir dari suatu ideologi konservatif yang primordialistik. Sumbernya adalah ajaran organisisme romantik Eropa yang berkembang di kalangan sarjana hukum Belanda—sosok utamanya adalah Cornelis van Vollenhoven—yang kemudian tersebar di kalangan priayi terpelajar Indonesia generasi awal. Gagasan negara integralistik Soepomo berasal dari sini.

Dalam perkembangannya, nasionalisme yang konservatif tersebut dimantapkan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto melalui program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Sejatinya kalangan yang hari ini mengaku nasionalis itu adalah produk program ini. Oleh karena itu, tidak heran juga kalau beberapa waktu terakhir mereka menghendaki model pengajaran Pancasila seperti dulu dilakukan pada masa Orde Baru dilaksanakan kembali. Dalam bayangan mereka, itu adalah obat alternatif terhadap penyakit agama yang fundamentalis, radikal, dan teroris.

Karena bias sekuler yang sangat kuat dalam pemahaman kita tentang politik, nasionalisme yang konservatif ini luput dari perhatian. Padahal, bahkan secara umum di tingkat global, fenomena konservatisme kaum nasionalis ini merupakan tantangan besar.

Di sejumlah negara Barat, mereka menampilkan dirinya sebagai kaum Islamfobia dan xenofobia. Mereka menolak kehadiran imigran dan pengungsi serta pencari suaka, khususnya dari negara-negara muslim, di negaranya.

Baca juga:  Menanti Kabul Baru

Dalam pikiran kelompok nasionalis konservatif, Islam politik adalah gejala yang terlarang sama sekali. Bagi mereka, agama tidak boleh dibawa ke dalam politik. Agama harus disembunyikan di ruang privat. Dari sini kata-kata “makanya jangan bawa-bawa agama ke dalam politik” berasal. Pertanyaan kemudian, apa masalahnya dengan pikiran kelompok ini?

Dengan menggunakan perspektif ekonomi-politik yang lebih kritis, kita bisa menilai bahwa sesungguhnya pikiran kelompok nasionalis konservatif lahir dari kepentingan kelas tertentu. Bagaimanapun, di Indonesia, secara sosial ekonomi mereka adalah kelas yang teruntungkan, setidaknya pernah berada di posisi itu. Pikiran-pikiran mereka adalah bagian dari pencarian legitimasi terhadap posisinya itu.

Kelompok nasionalis konservatif selalu menyandarkan pandangannya pada analisis kultural. Politik diandaikan sebagai arena yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang dengan kultur tertentu: modern, terpelajar, dan, tentu saja, sekuler. Namun anehnya, sarat seperti ini tidak berlaku bagi orang miskin: mereka boleh masuk ke dalam politik asalkan modern, terpelajar, dan, tentu saja, sekuler. Dengan kata lain, bagi kelompok nasionalis konservatif, kemiskinan bukan masalah. Masalah dalam politik adalah kultur. Titik!

Oleh karena itu, dalam mengomentari fenomena Islam politik, mereka jarang atau bahkan tidak pernah melihatnya dari sudut pandang struktural. Pokoknya orang-orang yang masuk FPI itu, misalnya, adalah orang-orang yang kulturnya terbelakang. Kenyataan bahwa FPI bagi sebagian orang adalah sarana untuk menunjukkan protes terhadap situasi sosial ekonomi yang sedemikian timpang jarang atau bahkan tidak pernah menjadi pertimbangan. Meski demikian, jalan kekerasan yang sering mereka gunakan untuk menunjukkan sikap protesnya sama sekali tidak bisa dibenarkan.

Baca juga:  Filosofi Mengisi Gelas dengan Air Kran: Lima Panduan Santri Mencari Ilmu

Kembali ke ilustrasi di awal, kalau ada menteri dari partai yang dianggap nasionalis melakukan korupsi, maka kaum nasionalis konservatif tidak akan berpikir bahwa jangan-jangan ada yang salah dengan nasionalisme selama ini. Hal yang sama berlaku bagi kaum agama konservartif. Pikiran mereka tidak akan terbuka pada pertanyaan bahwa jangan-jangan ada yang salah dengan agama selama ini. Pokoknya baik nasionalisme maupun agama sudah pasti benar adanya. Kalau sudah bilang pokoknya, kalau sudah tidak ada lagi refleksi bahwa jangan-jangan pikiran kita hanya mewakili kepentingan sosial-ekonomi kita, maka sesungguhnya politik sudah tidak ada lagi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top