Yerusalem, Maret 2017. Wisatawan memenuhi western wall, Jerusalem’s old city, the temple mount, dan kawasan Haram El-Sharief lain. Saya tidak tahu agama dan asal negara wisatawan-wisatawan itu. Namun jika melihat wajah mereka, saya bisa pastikan mereka berasal dari China, India, Eropa (Eropa Barat dan Eropa Timur), serta negara-negara di Asia Tenggara.
Ini sebuah catatan perjalanan yang tertunda dibagikan. Ceritanya, pada 4-11 Maret 2017 saya mengikuti program PTR’s Excursion and Field Internship (studi lapangan) di Israel-Palestina. Program ini diselenggarakan oleh Amsterdam Center for Religion, Peace and Justice (ACRPJ) Vrije Universiteit Amsterdam.
Selama mengikuti progam, khususnya saat di Yerusalem, saya melihat kota ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun manca negara. Parkiran bus dan kendaraan lainya di sepanjang kota Yerusalem selalu padat. Beberapa ruas jalan dan tempat-tempat wisata favorit sesak dikunjungi pengunjung. Tidak ketinggalan restoran dan pusat perbelanjaan, tentu saja. Kuliner dan wisata belanja selalu menjadi magnet bagi wisatawan, di mana pun.
Selama kunjungan tersebut, saya berkesempatan belajar sekaligus meneliti langsung suasana konflik di tanah suci (holy land) bagi tiga agama, yakni Yahudi, Kristiani, dan Islam. Saya juga mengamati dan mempelajari daerah Yerusalem, yang status kepemilikan wilayahnya terus diperebutkan Israel maupun Palestina, sepanjang sejarah.
Nama Yerusalem berasal dari bahasa Ibrani, Yerushalayim. Dalam bahasa Arab, kota ini dikenal dengan istilah al-Quds. Selain merupakan kota suci bagi tiga agama, Yerusalem juga merupakan salah satu kota tertua di dunia yang masih terjaga hingga saat ini.
Bagi umat Yahudi, Yerusalem adalah kota suci. Tembok Ratapan, tempat suci untuk mereka beribadah pun ada di kota Yerusalem, di komplek Haram Ash-Sharief, tepatnya. Umat Yahudi juga meyakini pentingnya napak tilas istana kerajaan King David (Raja Daud) yang telah amat berjasa bagi agama dan keturunan mereka.
Umat Kristiani pun demikian, menganggap Yerusalem adalah kota suci. Di sana terdapat area gereja makam kudus yang selalu dikunjungi peziarah umat kristiani dari seluruh penjuru dunia. Mengunjungi tempat suci ketika sang juru penyelamat hidup, sudah barang tentu menjadi sebuh impian.
Bagi umat Islam, Yerusalem juga sangat penting. Ia adalah kota suci ketiga setelah Makkah dan Madinah. Yerusalem juga mempunyai romansa sakralitas keagamaan tersendiri. Di sanalah berdirinya sebuah masjid kokoh, al-Aqsa, yang merupakan kiblat pertama bagi umat Islam.
Bahkan, masjid al-Aqsa pun bukanlah sekedar masjid biasa dan bangunan kuno yang tak bermakna, karena sesungguhnya, ia adalah tempat di mana Nabi Muhammad SAW bersujud sesaat sebelum dirinya menghadap Allah di singgasana Arsy-nya saat prosesi Isra-Mikraj.
Hebron dan Betlehem
Belum cukup rasanya mengunjungi Yerusalem. Namun saya harus beringsut ke daerah lain, mengingat terbatasnya waktu. Wilayah Israel-Palestina memang surganya wisata religi bagi beragam agama, sehingga sangat sayang jika dilewatkan.
Saya menuju Hebron dan Betlehem. Di Hebron, kita akan mendapati masjid Ibrahim (Abraham Mosque) dan makam “Bapak tiga agama” itu beserta makam istri dan beberapa keturun Ibrahim.
Berdampingan dengan masjid Abraham, masih dalam satu komplek yang sama, saya menikmati satu bangunan besar dan kokoh, yakni Sinagog, atau tempat ibadah bagi umat yahudi. Sinagog Yahudi di Hebron merupakan salah satu yang paling besar di tanah Israel-Palestina, selain juga karena menyimpan rekam jejak historisitas bapak leluhur mereka, Ibrahim.
Dari Hebron, saya berpindah ke Kota Betlehem. Bagi umat Kristiani, kota ini menyimpan lembaran kisah suci di masa lampau tentang bagaimana sang juru penyelemat, Yesus, dilahirkan dan hidup di masa awal kehidupanya. Teman kristiani saya, Michael Willy, pernah mengutarakan, betapa mengunjungi tanah Yerusalem dan Betlehem di Israel-Palestina merupakan satu impian besar jutaan umat Kristiani di dunia, termasuk dirinya.
Bayangkan saja manakala tiga agama samawi yang cukup mempunyai banyak pengikutnya di dunia ini tumpah ruah berkunjung ke Yerusalem atau wilayah Israel-Palestina lainya untuk menunaikan perjalanan religi mereka. Pemandangan itu sama belaka dengan umat Islam yang berbondong-bondong mengunjungi Makkah-Madinah untuk menunaikan ibadah Haji dan umroh.
Betapa besar devisa yang didapat di Palestina–Yerusalem dan sekitarnya. Betapa hebat kemajuan sektor pariwisata di wilayah tersebut. Betapa dahsyatnya roda perputaran ekonomi di sana. Saya yakin, ekonomi negara akan tumbuh cepat, melesat. Pun, tingkat kesejahteraan masyarakatnya akan bisa membaik dari waktu ke waktu.
Maka itu, saya pun mafhum. Berebut rumah Tuhan di Yerusalem memang betul ditengarai faktor sentimen agama, terutama mereka yang tengah berkonflik. Akan tetapi, unsur rebutan devisa juga bukan urusan sepele yang patut diabaikan.