Sejak Masyumi kita belajar, selama orang Islam masih berpikir bagaimana meraih kemenangan pertama-tama untuk kelompok sempitnya–kemenangan eksklusif umat Islam–selama itu pula umat Islam akan kalah. Umat Islam memang mayoritas, tapi Indonesia tidak cuma milik orang Islam.
Hasil pemilu dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam cenderung menghendaki kemenangan yang inklusif, kemenangan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Itulah yang terjadi dalam negosiasi penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta. Itulah yang terjadi ketika Pancasila diputuskan menjadi dasar negara, bukan Islam atau syari’at Islam, meskipun Islam mayoritas.
Inilah yang dimaksud Gus Dur, bahwa perjuangan umat Islam harus sejalan dengan perjuangan kebangsaan. Bahkan beliau bergerak lebih jauh, selain harus sejalan dengan perjuangan kebangsaan, perjuangan keislaman harus sejalan dengan perjuangan kemanusiaan.
Pihak yang melihat bahwa umat Islam ada pada posisi kalah dalam pemilu 2014 dan 2019 gagal memahami watak mayoritas Islam Indonesia. Dengan kata lain, mereka keliru perspektif dalam melihat kenyataan dan kedudukan umat Islam di negeri ini. Pandangan begitu akan selalu berujung pada kekecewaan. Jika ke depan, pandangan itu yang masih mau dipertahankan, kekecewaan lebih besarlah hasilnya.
Bagi saya, karena mayoritas pemilih adalah umat Islam, pada pemilu 2014 dan 2019 ini umat Islam justru menang. Tapi kemenangan umat Islam yang inklusif, kemenangan yang tidak hendak dimilikinya sendiri. Kemenangan yang juga merangkul umat-umat lain. Inilah kemenangan umat Islam yang juga kemenangan milik segenap anak bangsa.
Saya kira, itu adalah juga suatu cara kita memahami “semangat Pancasila”.
Selamat Merayakan Hari Lahir Pancasila