Dalam sejarah filsafat Islam sudah tidak asing lagi dengan nama al-Ghazali, karena ia menjadi salah satu tokoh filsuf yang cukup berpengaruh dan pernah mendapatkan kritikan dari filsuf lain karena pemikirannya. Salah satu pemikirannya yang mendapat kritikan adalah, al-Ghazali menganggap tokoh filsuf lain kafir. Al-Ghazali menganggap mereka kafir karena baginya mereka terpengaruh oleh pemikiran filsafat oleh Yunani yang menyimpang mengenai metafisika dan ketuhanan dari sisi agama.
Al-Ghazali merupakan seorang teolog, sufi dan faqih yang menyerang keras adanya filsafat dengan menunjukkan kontradiksi pendapatnya, akan menjadi salah apabila teologi serta tasawuf dari al-Ghazali hanya dianggap sebagai sekedar doktrin praktis dan religius karena sebenarnya kedua hal itu memiliki kedalaman teoritis mengesankan. (Sayyed Hossein Nasr: 2003).
Pada pemikirannya al-Ghazali para filsuf saat itu dianggap menyimpang dari ajaran Islam karena ada tiga perkara yaitu: a. Perbedaan pandangan tentang keqadiman alam, b. Pandangan bahwa pengetahuan Tuhan itu tidak menjangkau al-juz’iat al hadithah min al-asykhas, partial yang merupakan ciptaan baru dari suatu komponen, c. Pandangannya tentang kebangkitan rohani dan jasad dan penghimpunannya kelak di akhirat. (Al-Ghazali: 1966). Dari beberapa pandangannya tersebut dibantah oleh Ibn Rusyd sekaligus menjadi pembelaan terhadap para filsuf dalam karyanya yang terkenal Tahafut al-Tahafut.
Al-Ghazali pada salah satu pemikirannya mengkafirkan para filsuf muslim dalam tiga hal yaitu keqadiman alam, Allah tidak mengetahui hal-hal yang kecil (Juz’iyat) dan pengingkaran pengingkaran kebangkitan dan pengumpulan jasad yang telah tiada pada hari kiamat. (Ahmad Fuad al-Ahwany: 1984). Pertama, dalam pemikiran dari al-Ghazali, ketika Tuhan menciptakan alam yang ada hanyalah Tuhan dan tidak ada sesuatu yang lain selain Tuhan. Ibn Rusyd membantah pemikiran dari al-Ghazali tersebut, dengan mengatakan bahwa ketika Tuhan menciptakan alam sudah ada sesuatu di samping Tuhan dari sesuatu yang telah ada dan diciptakan Tuhan, itulah Tuhan menciptakan alam.
Pembahasan pertama tentang keqadiman alam merupakan antara kaum teologi dan kaum filosof, memiliki perbedaan mengenai arti األحداث dan قديم . Bagi kaum teologi al-ihdas memiliki arti menciptakan dari tiada, sementara itu bagi kaum filsuf kata itu berarti menciptakan dari ada. Adam (tiada), kata Ibn Rusyd tidak bisa dirubah menjadi wujud (ada), karena yang terjadi adalah wujud berubah menjadi wujud dalam bentuk yang lainnya. (Ibn Rusyd: 1964).
Kedua, Allah tidak mengetahui hal-hal yang kecil (Juz’iyat), bagi al-Ghazali ini adalah salah karena Allah mengetahui segala sesuatu yang di langit dan yang di bumi, baik sebesar zarrah sekalipun adalah suatu hal yang telah digariskan dengan jelas dalam al-Qur’an, sehingga telah merupakan konsensus dalam kalangan umat Islam. Ibn Rusyd mengatakan bahwa al-Ghazali salah paham mengenai tuduhannya karena pada kaum filosof tidak pernah ada yang mengatakan hal seperti tersebut. Menurut ibn Rusyd Tuhan mengetahui sesuatu dengan dzat-Nya, karena pengetahuan Tuhan tidak bersifat juz’i ataupun kulli tetapi pengetahuan Tuhan tidak mungkin sama seperti yang dimiliki oleh manusia.
Ketiga, pengingkaran kebangkitan dan pengumpulan jasad yang telah tiada pada hari kiamat. Al-Ghazali dalam kitab Tahafut al-Falasifah menunjukkan kepada para filosof yang mengatakan bahwa di akhirat kelak manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani bukan dalam wujud jasmani. Ibn Rusyd membantah bahwa para filosof tidak menyebutkan mengenai masalah pembangkitan jasmani. Semua agama menurut ibn Rusyd mengakui adanya kehidupan kedua setelah di dunia tetapi berbeda-beda pendapat mengenai bentuknya.