Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
1989
—–
Puisi di atas adalah karya sastrawan dan penyair Sapardi Djoko Damono. Salah satu penyair idola saya. Mantan dekan saya.
Puisi-puisi karyanya saya suka. Indah, tapi magis, menurut saya. Buku puisinya bertajuk “Hujan Bulan Juni” sudah dicetak berkali-kali dengan penerbit berbeda pula. Saya punya buku terbitan perdananya, yang diterbitkan Grasindo pada 1994.
Kumpulan puisi ini memuat 102 puisi karya Sapardi yang ditulis tahun 1964 hingga 1994. Beberapa puisi dalam kumpulan ini merupakan penerbitan ulang dari puisi-puisi yang pernah terbit dalam buku Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1984).
Tepat di Hari Puisi Nasional, 2018 silam, “Hujan Bulan Juni” menjadi buku puisi terbaik ASEAN. Hujan Bulan Juni sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jepang, Arab, dan Mandarin.
Sudah beberapa buku puisi, juga novel, dilahirkan beliau. Puisinya juga dimusikalisasi oleh beberapa seniman dan musisi. Indah hasil komposisinya.
Belum lama, di era pandemi ini, Bulan Bulan Juni Fest atau Festival Hujan Bulan Juni, digagas dan digelar secara daring. Acara yang didedikasikan untuk merayakan puisi, sastra, dan kepenyairan Sapardi Djoko Damono. Saya pun mengikuti acaranya beberapa kali.
Aktivitas dari sang penyair idola yang lahir di Solo, 20 Maret 1940 ini saya ikuti terus. Kebanyakan hanya dari media sosial. Meski dulu sering pula berinteraksi dengan beliau.
Tak ayal, air mata menetes saat mendapat kabar Pak Sapardi Djoko Damono meninggal.
Beliau orang baik. Santun.
Insyaallah husnul khotimah. Lahul fatihah.